BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
perumahan dan permukiman, perumahan diartikan sebagai kelompok
rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian
yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana. Secara fisik
perumahan merupakan sebuah lingkungan yang terdiri dari kumpulan unit-unit
rumah tinggal dimana dimungkinkan terjadinya interaksi sosial diantara
penghuninya, serta dilengkapi prasarana sosial, ekonomi,
budaya, dan pelayanan yang merupakan subsistem dari kota secara
keseluruhan. Lingkungan ini biasanya mempunyai aturan-aturan,
kebiasaan-kebiasaan serta sistem nilai yang berlaku bagi warganya.
Masalah perumahan adalah masalah yang kompleks, yang bukan semata-mata aspek fisik membangun rumah, tetapi terkait sektor yang amat luas dalam pengadaannya, seperti pertanahan, industri bahan bangunan, lingkungan hidup dan aspek sosial ekonomi budaya masyarakat, dalam upaya membangun aspek-aspek kehidupan masyarakat yang harmonis. Oleh karena itu, pembangunan perumahan secara keseluruhan tidak dapat dilepaskan dari keseluruhan pembangunan permukiman dan bagian penting dalam membangun kehidupan masyarakat yang effisien dan produktif.
Masalah perumahan adalah masalah yang kompleks, yang bukan semata-mata aspek fisik membangun rumah, tetapi terkait sektor yang amat luas dalam pengadaannya, seperti pertanahan, industri bahan bangunan, lingkungan hidup dan aspek sosial ekonomi budaya masyarakat, dalam upaya membangun aspek-aspek kehidupan masyarakat yang harmonis. Oleh karena itu, pembangunan perumahan secara keseluruhan tidak dapat dilepaskan dari keseluruhan pembangunan permukiman dan bagian penting dalam membangun kehidupan masyarakat yang effisien dan produktif.
Upaya
pembangunan perumahan dan permukiman yang telah dilaksanakan selama ini,
bersifat sangat sektoral dan hanya berupa proyek-proyek yang sifatnya parsial
dan tidak berkelanjutan. Selain itu, upaya pembangunan perumahan yang dilakukan
di daerah-daerah sangat terbatas sekali karena keterbatasan kemampuan sumber
daya manusia, sumber pembiayaan maupun pengembangan pilihan-pilihan teknologi
dan upaya pemberdayaan masyarakat setempat yang kurang menjadi program utama.
Pemenuhan
kebutuhan rumah dari sudut demand dan
supply hanya terbatas pembiayaannya
untuk bentuk-bentuk pasar formal bagi golongan menengah ke atas yang jumlahnya
hanya mencapai maksimal 20% dan terbatas sekali bentuk-bentuk kredit dan
bantuan subsidi untuk golongan menengah ke bawah. Pemenuhan kebutuhan karena
kekurangan jumlah rumah yang harus dipenuhi adalah sejumlah 8 juta rumah pada
posisi tahun 2008 dan pertambahan akibat pertumbuhan penduduk setiap tahun yang
membutuhkan 800 ribu rumah. Sehingga, sekitar 80% kebutuhan rumah yang tidak
dapat dipenuhi oleh pemerintah
dilakukan sendiri
oleh masyarakat sesuai dengan kemamampuannya yang jauh dari mutu bangunan dan
mutu lingkungan perumahan dan permukiman yang memadai. Oleh karena itu,
bentuk-bentuk dan peran masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan perumahan dan
permukiman perlu diberdayakan.
Sebagai salah satu negara berkembang, Indonesia masih menghadapi
permasalahan besar dalam menatata perkembangan dan pertumbuhan perumahan dan
permukiman di kota-kotanya. Fenomena perkembangan kota yang terlihat jelas
adalah bahwa pertumbuhan kota yang pesat terkesan meluas terdesak oleh
kebutuhan masyarakat,1
menjadi kurang serasi dan terkesan kurang terencana. Kehidupan kota besar di
Indonesia, semakin tidak nyaman akibat dari meningkatnya kepadatan penduduk,
kurangnya wilayah hijau dan ruang-ruang terbuka,2 dan meningkatnya jumlah
kendaraan bermotor dengan cepat.
1
Pada tahun 1980 penduduk perkotaan berjumlah
sekitar 32,85 juta atau 22,27% dari
jumlah
penduduk nasional). Tahun 1990 jumlah penduduk perkotaan menjadi sekitar 55,43
juta atau 30,9% dari jumlah penduduk nasional. Tahun 1995 jumlah penduduk
perkotaan menjadi sekitar 71.88 juta atau 36,91% dari jumlah penduduk
nasional). Tahun 2005 jumlah penduduk perkotaan diperkirakan mencapai hampir
110 juta orang, dengan pertumbuhan tahunan sekitar 3 juta orang. Sensus
penduduk tahun 2000
mencatat
total jumlah penduduk adalah 206.264.595 jiwa (www.bps.go.id/sector/population/table1.shtml). Tingkat urbanisasi mencapai 40% (tahun 2000), dan
diperkirakan akan menjadi 60% pada tahun 2025 (sekitar 160 juta orang) (Bank
Dunia, 2003). Laju pertumbuhan penduduk perkotaan pada kurun waktu 1990-2000
tercatat setinggi 4,4%/tahun, sementara pertumbuhan penduduk keseluruhan hanya
1,6%/tahun. Perkembangan kota-kota yang pesat ini disebabkan oleh perpindahan
penduduk dari desa ke kota, perpindahan dari kota lain yang lebih kecil,
pemekaran wilayah atau perubahan status desa menjadi kelurahan.
2
Singapura dan Kuala Lumpur yang semula kumuh
dapat berubah menjadi kota yang lapang dan hijau, seiring dengan semakin
meningkatnya kesejahteraan penduduknya. Demikian pula dengan Kota Guangzhow,
sebuah kota tua yang semula amat padat dan kumuh, telah berubah menjadi kota
yang longgar dengan flat-flat tinggi lengkap dengan sarana olah raga terbuka
yang memadai. Investasi dibidang perumahan vertical di Guangzhow dirangsang
oleh pemberian insentif pajak serta tariff listrik dan air minum yang lebih
murah. Sarana olah raga, sekolah dan kebutuhan-kebutuhan hidup lain tersedia,
membuat biaya transportasi menjadi murah. Keterlambatan kita mensosialisasikan
hunian vertikal—meski Undang-unda ng Tentang Rumah Susun, terbit terlebih
dahulu di bandingkan dengan Undang-undang Tentang Perumahan dan
Permukiman—menyebabkan kota-kota besar lain di wila yah Indonesia berkembang
melebar, menjadi tidak effisien serta mengurangi daya dukung lingkungan secara
signifikan.
Sesungguhnya,
sektor perumahan dan permukiman telah menjadi salah satu sektor penting dalam
perekonomian nasional.3
Peran penting sektor perumahan dan permukiman dalam perekonomian nasional
terkait dengan efek multiplier yang
dapat diciptakan, baik terhadap penciptaan lapangan kerja maupun terhadap
pendapatan nasional, yang ditimbulkan oleh setiap investasi yang dilakukan di
sektor perumahan. Efek investasi di sektor perumahan atas penciptaan lapangan
kerja di Indonesia adalah setiap milyar rupiah yang diinvestasikan di bidang
perumahan dapat menghasilkan sekitar 105 orang-tahun pekerjaan secara langsung,
sedangkan multiplier pekerjaan secara tidak langsung, 3,5 kali.
Kebutuhan
rumah selalu meningkat seiring dengan tingkat pertumbuhan penduduk. Jumlah
keluarga yang belum memiliki rumah (backlog)
masih cukup besar pada tahun 2003 saja diperkirakan sekitar 6 juta unit dengan
dasar data BPS tahun 2000 adalah sebanyak 4,3 juta unit. Pertumbuhan rumah bagi
keluarga baru mencapai 800.000 unit pertahun. Namun demikian, karena sisi
kemampuan ekonomi masyarakat masih sangat terbatas, karena sekitar 70% rumah
tangga perkotaan masuk dalam kategori berpendapatan rendah dengan pendapatan
kurang dari Rp.1,5 juta perbulan.
Penyelenggaraan
perumahan dan permukiman di Indonesia, sesungguhnya tidak terlepas dari
dinamika yang berkembang di dalam kehidupan masyarakat, dan kebijakan
pemerintah di dalam mengelola persoalan perumahan dan permukiman. Fakta
tersebut, dapat dilihat dari adanya kesenjangan pelayanan, karena terbatasnya
peluang untuk
3
Perhatian terhadap sektor perumahan teleh
dimulai sejak zaman pra kemerdekaan,
karena
pada tahun 1926 Pemerintah Hindia Belanda memprakarsai pendirian Perusahaan
Pembangunan Perumahan Rakyat (N.V Volkshuisvesting)
di 13 kotapraja dan kabupaten dan dilakukan kegiatan penyuluhan perumahan
rakyat dan perbaikan kampung (kampong
verbetering) dalam rangka penanggulangan penyakit pes. Dan pada tahun 1934
juga diterbitkan Peraturan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Burgelijke Woning Regeling/ BWR)
memperoleh
pelayanan dan kesempatan berperan di bidang perumahan dan permukiman, khususnya
bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Disamping itu, kebijakan yang
ada dapat memicu konflik kepentingan sebagai akibat implementasi kebijakan yang
belum sepenuhnya memberikan perhatian dan keberpihakan kepada kepentingan
masyarakat secara keseluruhan. Sehingga perlu
dikembangkan kepranataan dan instrumen
penyelenggaraan perumahan
dan permukiman
yang berorientasi kepada kepentingan
seluruh lapisan
masyarakat.
Sementara itu, tuntutan otonomisasi mengehendaki
penyelenggaraan perumahan dan permukiman menerapkan pola
pembangunan
dilaksanakan secara desentralisasi. Hal itu sebetulnya sangat sejalan dengan
karateristik persoalan perumahan dan permukiman yang memang khas kontekstual,
serta kondisi pengembangan potensi kemampuan masyarakat di dalam merespon
persoalan di bidang perumahan dan permukiman yang semakin memadai. Disamping
sangat sesuai dengan tuntutan kebijakan pembangunan nasional dan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang menekankan pada semangat pelaksanaan otonomi
daerah secara nyata dan bertanggung jawab.
Isu
lain yang menyangkut perumahan dan permukiman adalah masalah lingkungan pada
kawasan permukiman dan perumahan, yang umumnya muncul sebagai akibat dari
tingkat urbanisasi dan industrialisasi yang tinggi, serta dampak pemanfaatan
sumber daya dan teknologi yang
kurang terkendali. Kelangkaan prasarana dan sarana dasar,
ketidakmampuan
memelihara dan memperbaiki lingkungan permukiman, baik secara fungsional,
maupun visual wujud lingkungan, merupakan isu utama bagi upaya menciptakan
lingkungan yang sehat, aman, harmonis dan berkelanjutan. Hal ini juga semakin
menjadi masalah, mengingat masih belum diterapkannya secara optimal standar
teknis minimal perumahan dan permukiman yang berbasis indeks pembangunan
berkelanjutan di setiap daerah. Demikian pula dengan manajemen
(kepemimpinan)
dalam tata kelola pemerintahan di seluruh tingkatan, berpengaruh terhadap kinerja
aparat dalam implementasi kebijakan, khususnya dalam pemanfaatan lahan untuk
perumahan dan permukiman.
Bagaimanapun,
pembangunan rumah yang sehat harus diikuti dengan pembangunan lingkungan
perumahan melalui penyediaan prasarana dan sarana dasar (PSD) yang memadai,
khususnya air minum, sanitasi lingkungan, jalan dan listrik. Pemenuhan
prasarana dasar tersebut diyakini besar kontribusinya dalam meningkatkan
kesehatan lingkungan dan dalam menunjang pertumbuhan ekonomi. Namun, pada
kenyataannya belum semua masyarakat dapat menikmati kelengkapan pelayanan dasar
ini. Hanya 39% masyarakat perkotaan yang mendapatkan pelayanan air bersih.
Kondisi ini disebabkan oleh kemampuan penyediaan pelayanan air bersih yang
masih mengandalkan kemampuan pemerintah yang terbatas, sementara pertumbuhan
permintaan jauh lebih besar.
Tantangan
yang dihadapi oleh sanitasi lingkungan juga tidak kalah berat. Hampir sebagian
besar masyarakat membuang limbahnya dengan sistem sanitasi setempat (seperti
septik tank dan jamban). Pembangunan saran limbah air limbah terpusat masih
sangat minimum, baru menjangkau 0,5% penduduk perkotaan. Disamping membutuhkan
dana yang besar, pembangunan sistem air limbah terpusat ini menghadapi kendala
ketersediaan lahan khususnya di kota-kota metro dan besar yang sejak awal tidak
disiapkan pengembangan sistem ini.
Oleh
karena itu, perlu dibangun orientasi baru kebijakan perumahan dan permukiman
untuk mempercepat pemenuhan kebutuhan rumah dengan dukungan prasarana dasar
yang memadai bagi seluruh lapisan masyarakat, khususnya pembangunan kawasan
perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Pembangunan perumahan sehat
ini menjadi semakin penting dengan semakin meningkatnya masyarakat yang
terjangkit penyakit ISPA, demam berdarah, flu burung, dan polio, yang
diakibatkan oleh buruknya sanitasi lingkungan perumahan dan
permukiman.
Pembangunan perumahan dengan lingkungan yang sehat akan mampu meningkatkan
kesehatan masyarakat yang pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas
nasional.
Persoalan
lain yang penting untuk diperhatikan adalah masalah ruang yang dilihat sebagai
tempat berlangsungnya interaksi sosial, yang mencakup manusia dengan seluruh
kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya dengan ekosistemnya, seperti sumberdaya
alam dan sumberdaya buatan berlangsung. Ruang perlu ditata agar dapat
memelihara keseimbangan lingkungan dan memberikan dukungan yang nyaman terhadap
manusia serta mahluk hidup lainnya dalam melakukan kegiatan dan memelihara
kelangsungan hidupnya secara optimal.
Undang-Undang
No.26/2007 tentang Penataan Ruang mengisyaratkan, agar setiap daerah kota
menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah Kota sebagai pedoman dalam pemanfaatan
ruang bagi setiap kegiatan pembangunan. Rencana Tata Ruang (RTR) merupakan
rencana pemanfaatan ruang dalam suatu kawasan yang disusun untuk menjaga
keserasian pembangunan antar sektor dalam rangka penyusunan dan pengendalian
program-program pembangunan perkotaan jangka panjang.
Fungsi
RTR adalah untuk menjaga konsistensi perkembangan kawasan baik perkotaan
ataupun perdesaan dengan strategi nasional dan arahan RTRW Provinsi dalam
jangka panjang, menciptakan keserasian perkembangan kota dengan wilayah
sekitarnya, serta menciptakan keterpaduan pembangunan sektoral dan daerah.
Muatan RTR meliputi tujuan, rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang Kawasan
Perkotaan, dan upaya-upaya pengelolaan kawasan lindung, kawasan budidaya,
kawasan fungsional perkotaan, dan kawasan tertentu, serta pedoman pengendalian
pembangunan Kawasan.
Dalam
pelaksanaannya, RTR yang selayaknya menghasilkan suatu kondisi yang ideal,
ternyata masih sulit terwujud. Salah satu penyebabnya adalah masalah yang
terkait dengan ruang daratan, yaitu tanah yang sebagian besar telah dikuasai,
dimiliki, digunakan, dan
dimanfaatkan baik
oleh perorangan, masyarakat, badan hukum, maupun pemerintah. Hal ini berakibat
pada langkanya lahan dan mahalnya harga tanah, sehingga banyak pengembang yang
memilih membeli lahan di daerah sub urban
yang biasanya merupakan alih fungsi dari lahan pertanian. Hal ini selain berpotensi
menimbulkan permasalahan baru, seperti transportasi, ketidaksiapan
infrastruktur, ketidaksesuaian dengan RTRW, juga berpotensi mengganggu program
swasembada pangan Nasional.
Hal
ini memerlukan konsolidasi tanah, yaitu kebijakan pertanahan mengenai penataan
kembali penguasaan, pemilikan, dan penggunaan tanah agar sesuai dengan RTRW,
serta usaha-usaha pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan yang bertujuan
meningkatkan kualitas lingkungan hidup/pemeliharaan sumber daya alam, dengan
melibatkan partisipasi masyarakat secara langsung, baik di kawasan perkotaan
maupun perdesaan. Konsolidasi tanah ini bertujuannya untuk mencapai pemanfaatan
tanah secara optimal, melalui peningkatan efisiensi dan produktifitas
penggunaan tanah dengan sasaran untuk mewujudkan suatu tatanan penguasaan dan
penggunaan tanah yang tertib dan teratur, dalam arti untuk pengembangan kawasan
baru maupun pembangunan kawasan kota (urban
renewal).
Dalam
kaitan pembangunan kawasan perumahan dan permukiman, konsolidasi tanah
diperlukan agar dapat memenuhi kebutuhan akan adanya (a) lingkungan permukiman
yang teratur, tertib, dan sehat; (b) kesempatan kepada pemilik tanah untuk
menikmati secara langsung keuntungan konsolidasi tanah, baik kenaikan harga
tanah maupun kenikmatan lainnya karena terciptanya lingkungan yang teratur; (c)
terhindar dari ekses-ekses yang sering timbul dalam penyediaan tanah secara
konvensional; (d) percepatan laju pembangunan wilayah permukiman; dan (e)
tertib administrasi pertanahan serta menghemat pengeluaran dana Pemerintah
untuk biaya pembangunan prasarana, fasilitas umum, ganti rugi, dan operasional.
2. Identifikasi
Masalah
Permasalahan
utama di bidang Perumahan Rakyat adalah besarnya backlog perumahan nasional yang telah mencapai angka lebih dari 8
juta unit rumah, lemahnya daya beli masyarakat (yang meningkatkan
ketergantungan pada subsidi), minimnya dukungan perbankan, keterbatasan
dukungan APBN, kurangnya koordinasi lintas sektoral dan lintas wilayah dalam
menyiapkan infrastruktur pendukung, panjangnya birokrasi terkait perijinan
perumahan.
Demikian
pula dengan lemahnya daya beli masyarakat tercermin pada masih rendahnya
pendapatan per kapita nasional (US$ 2.271,2 atau Rp 21,7 juta per kapita – data
tahun 2008 BPS). Pendapatan tersebut masih harus dibagi dengan kebutuhan
lainnya seperti pangan, sandang, transportasi, pendidikan anak, kesehatan dan
lain sebagainya. Hal ini diperparah dengan tingginya jumlah pekerja sektor
informal yang biasanya tidak memiliki pendapatan tetap maupun hanya memiliki pendapatan
di bawah standar. Akibatnya, ketergantungan masyarakat terhadap subsidi KPR
dari Pemerintah menjadi tinggi. Sementara, alokasi subsidi yang dianggarkan
pada tahun 2009 hanya Rp 2,5 Trilyun dan 2010 sebesar Rp 3,099 Trilyun atau
hanya sekitar 0,25% dari total nilai APBN. Idealnya dialokasikan nilai subsidi
tersebut paling tidak 1% dari total nilai Anggaran Nasional.
Dengan
demikian, permasalahan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembangunan perumahan
dan permukiman, terutama menyangkut penerapan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992
tentang Perumahan dan Permukiman, dapat dirinci sebagai berikut:
1.
Hanya mengatur aspek-aspek teknis dan kurang memperhatikan aspek
administratif.
2.
Asas kesejahteraan belum tercermin dan diperlukan definisi kesejahteraan
dalam konteks perumahan dan permukiman.
3.
Tidak jelasnya tugas dan kewenangan Pemerintah Daerah dalam
penyelenggaraan Perumahan dan Permukiman.
4.
Peran
serta masyarakat belum diatur secara konkrit.
5.
Sanksi pidana hanya ditujukan kepada pelaku dan penyelenggara, belum ada
pengaturan mengenai penggunaan dan pengelolaan, serta pengawasan dan
pengendalian.
3. Tujuan dan
Kegunaan
Tujuan dari penyusunan Naskah Akademis ini
adalah:
1. Untuk melakukan penyempurnaan
terhadap Undang-undang Perumahan dan Permukiman yang mengatur tentang segala
aspek subtansi perumahan dan permukiman.
2. Sebagai landasan ilmiah yang
dapat memberikan arah dan menetapkan ruang lingkup bagi penyusunan RUU tentang
Perumahan dan Permukiman
Adapun Kegunaan penyusunan Naskah Akademis ini
adalah:
1. Memberikan kerangka perumusan
ketentuan atau pasal-pasal dari RUU tentang Perumahan dan Permukiman.
2. Sebagai bahan masukan dalam
pembahasan RUU tentang Perumahan dan Permukiman antara DPR dan Pemerintah.
4.
Metode Pendekatan
Metode
Pendekatan dalam penyusunan naskah akademik ini dilakukan dengan metode yuridis
normatif dan yuridis empiris. Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi
dokumen atau literatur (data sekunder), dengan cara mengumpulkan informasi
melalui peraturan perundang-undangan, data-data tertulis, buku-buku, hasil
seminar, hasil penelitian, pengkajian dan tulisan atau referensi lain, serta
penelusuran data, dan informasi melalui website, yang berkaitan dengan
perumahan dan permukiman.
Adapun
metode yuridis empirik dilakukan dengan pengkajian dan menelaah data primer
yang diperoleh secara langsung dari masyarakat melalui pengamatan (observasi),
wawancara, mendengar
pendapat para
nara sumber/ahli. Data primer antara lain diperoleh melalui pengumpulan data di
lapangan di Provinsi Sulawesi Utara dan Provinsi Bali.
Data
sekunder yang sudah diperoleh dianalisis secara kualitatif dan selanjutnya data
primer diperlukan dalam rangka penunjang untuk mengkonfirmasi data sekunder.
E. Alur
Pikir Naskah Akademik
Landasan
FiIosofis
Tinjauan
Yuridis
·
Isu yang
muncul sebagai dasar pertimbangan penyusunan Perubahan RUU
·
Pertumbuhan
permukiman kumuh yang tidak terkendali
· Desentralisasi
·
Globalisasi
Penjelasan tentang Kebijakan
pembangunan permahan dan
permukiman selama ini
Urgensi
Penyusunan RUU
Landasan
Teori dan Konsep
NASKAH
AKADEMIS DAN
RUU PERUMAHAN DAN Landasan Sosiologis
PERMUKIMAN
Definisi
atau batasan Pengertian
|
|
|
|
Asas
dan Prinsip
|
|
|
|
|
|
|
|
Materi Muatan Undang-undang
Perumahan dan Permukiman
BAB II
URGENSI PERUBAHAN
A. Umum
Rumah
merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang akan terus ada dan berkembang
sesuai dengan tahapan atau siklus kehidupan manusia. Selain sebagai pelindung
terhadap gangguan alam maupun cuaca serta makhluk lainnya, rumah juga memiliki
fungsi sosial sebagai pusat pendidikan keluarga, persemaian budaya, nilai
kehidupan, penyiapan generasi muda, dan sebagai manifestasi jati diri. Dalam
kerangka hubungan ekologis antara manusia dan lingkungan pemukimannya, maka
terlihat bahwa kualitas sumber daya manusia di masa yang akan datang sangat
dipengaruhi oleh kualitas perumahan dan pemukiman dimana manusia menempatinya.
Perumahan dan permukiman merupakan salah satu faktor strategis dalam upaya
membangun manusia seutuhnya, yang memiliki kesadaran untuk selalu menjalin
hubungan antara sesama manusia, lingkungan tempat tinggal, berperan sebagai
pendukung terselenggaranya pendidikan keluarga, dan senantiasa bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
Rumah
sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia idealnya dapat dimiliki oleh setiap
keluarga dengan kondisi yang layak. Namun hal ini sulit diwujudkan, terlebih
bagi Indonesia yang jumlah penduduknya merupakan salah satu yang terbesar di
dunia, Pemenuhan kebutuhan akan rumah bagi masyarakat tidaklah mudah, terutama
mereka yang tinggal di daerah padat penduduk diperkotaan. Upaya pengadaan
perumahan tidak harus diwujudkan dalam pemilikan rumah, akan tetapi
sekurang-kurangnya dapat diwujudkan dalam mendapatkan kesempatan mempergunakan
rumah antara lain dengan cara sewa. Pengadaan perumahan khususnya di daerah
padat penduduk perlu memperhatikan
keterbatasan
lahan sehingga prasarana pembangunan rumah susun dapat menjadi salah satu
alternatif.
Perbaikan
mutu hidup masyarakat yang diwujudkan melalui pembangunan nasional harus
diikuti dan disertai secara seimbang dengan perbaikan mutu perumahan. Perbaikan
bukan saja, dalam pengertian kuantitatif, tetapi juga kualitatif dengan
memungkinkan terselenggaranya perumahan yang sesuai dengan hakekat dan
fungsinya.
Pembangunan
perumahan dan pemukiman menghadapi tantangan yang semakin kompleks dan belum
seluruhnya terakomodasi dalam pengembangan kawasan. Isu strategis yang kini
dihadapi oleh pembangunan perumahan dan pemukiman adalah meningkatnya kebutuhan
lahan bagi perumahan dan pemukiman diperkotaan yang cenderung mahal. Hal ini
disebabkan antara lain karena peningkatan fungsi kawasan, kebutuhan rumah
per-tahun bagi rumah tangga baru yang akan memasuki pasar perumahan,
pencanangan program pemerintah 1000 menara rumah susun sederhana, perumahan
kumuh diperkotaan, dan implementasi konsep lingkungan hunian berimbang yang
aturannya telah dikeluarkannya sejak tahun 1992 tetapi belum dimantapkan.
Pembangunan
di bidang perumahan dan permukiman yang bertumpu pada masyarakat memberikan hak
dan kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk berperan serta. Sejalan
dengan peran serta masyarakat di dalam pembangunan perumahan dan permukiman
pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk melakukan pembinaan
dalam wujud pengaturan dan pembimbingan, pendidikan dan pelatihan, pemberian
bantuan dan kemudahan, penelitian dan pengembangan yang meliputi berbagai aspek
yang terkait antara lain tata ruang, pertanahan, prasarana lingkungan, industri
bahan dan komponen, jasa konstruksi dan rancang bangun, pembiayaan,
kelembagaan, sumber daya manusia, serta peraturan perundang-undangan yang
mendukung.
Pembangunan
perumahan dan permukiman harus mampu memperluas kesempatan usaha dan lapangan
kerja serta mendorong berkembangnya industri bahan bangunan murah yang memenuhi
syarat teknis dan kesehatan serta terbuat dari bahan dalam negeri. Kualitas
tenaga pembangunan perumahan dan permukiman perlu ditingkatkan dan
kelembagaannya perlu dimantapkan.
Penciptaan
lingkungan perumahan dan permukiman yang layak, bersih, sehat, dan aman perlu
ditingkatkan melalui regulasi yang menjamin penyediaan dan pengelolaan air
bersih, fasilitas sosial dan ibadah, fasilitas ekonomi dan transportasi,
fasilitas rekreasi dan olahraga, serta prasarana lingkungan termasuk fasilitas
air limbah, disertai upaya peningkatan kesadaran dan tanggungjawab warga
masyarakat agar makin banyak masyarakat yang mendiami rumah sehat dalam
lingkungan yang sehat.
B. Khusus
1. Meskipun pembangunan
perumahan dan permukiman di Indonesia dinilai telah mencapai keberhasilan
melalui kebijakan pembangunan perumahan massal yang dikenal sebagai pola
pasokan yang diawali dengan penugasan kepada Perum Perumnas untuk menyediakan
perumahan sederhana pada tahun 1974, dan kemudian dikembangkan oleh para
pengembang swasta yang hanya melayani masyarakat golongan menengah ke atas,
namun masih sekitar 85% perumahan baru dibangun oleh sektor informal setiap
tahunnya.
2. Sistem penyelenggaraan di
bidang perumahan dan permukiman dinilai masih belum cukup optimal, baik di
tingkat pusat, wilayah, maupun lokal ditinjau dari segi sumber daya manusia,
organisasi, tata laksana, dan dukungan sarana serta prasarana.
3. Pelayanan dan akses terhadap
hak atas tanah untuk perumahan, khususnya bagi kelompok masyarakat miskin dan
berpenghasilan
rendah. Kemampuan
pemerintah daerah juga masih relatif terbatas untuk dapat melaksanakan secara
efektif penyelenggaraan administrasi pertanahan yang dapat menjamin
ketersediaan lahan, khususnya mengembangkan pasar lahan secara efisien dan
pemanfaatan lahan yang berkelanjutan.
4. Efisiensi pasar perumahan,
seperti ditunjukkan melalui kondisi dan proses perizinan pembangunan perumahan
dan sertifikasi hak atas tanah yang masih memprihatinkan, relatif mahal, dan
kurang transparan, belum adanya standarisasi dokumen KPR, seleksi nasabah,
penilaian kredit, dan dokumen terkait lainnya, serta proses sita jaminan yang
masih berlarut-larut, ikut mempengaruhi ketidakpastian pasar perumahan. Untuk
lebih menjamin pasar perumahan yang efisien, perlu dihindari intervensi yang
mengganggu penyediaan dan menyebabkan distorsi permintaan perumahan, termasuk
pasar sewa perumahan dengan mengingat kebutuhan khusus dari kelompok masyarakat
yang rentan.
5. Tingginya kebutuhan perumahan
yang layak dan terjangkau masih belum dapat diimbangi, karena terbatasnya
kemampuan penyediaan, baik oleh masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah. Secara
nasional kebutuhan perumahan masih relatif besar, sebagai gambaran status
kebutuhan perumahan berdasarkan hasi Survey Sosial Ekonomi Nasional tahun 2004,
terdapat 55 juta keluarga dari jumlah penduduk indonesia sebesar 217 juta jiwa
5,9 juta keluarga belum memiliki rumah, sementara setiap tahun terjadi
penambahan kebutuhan rumah akibat penambahan keluarga baru rata-rata sekitar
820.000 unit rumah. Selain itu masih terdapat 3,1 juta keluarga atau 12,5 juta
tidak layak. Sementara itu terdapat pula 17,2 juta jiwa yang tinggal di 10.065
lokasi dengan luasan mencapai 54.000 Ha (Renstra Kementerian Negara Perumahan
Rakyat Tahun 2005-2009).
6. Ketidakmampuan masyarakat
berpenghasilan rendah untuk mendapatkan rumah yang layak dan terjangkau serta
memenuhi standar lingkungan permukiman yang respontif (sehat, aman, harmonis
dan berkelanjutan). Hal ini disebabkan, karena terbatasnya akses terhadap
sumber daya kunci termasuk informasi, terutama yang berkaitan dengan pertanahan
dan pembiayaan perumahan.
7. Belum
tersedianya dana jangka
panjang bagi pembiayaan
perumahan yang menyebabkan terjadinya ketidaksesuaian
pendanaan dalam
pengadaan perumahan. Di samping itu, sistem dan mekanisme subsidi perumahan
bagi kelompok masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah masih perlu
diupayakan, baik melalui mekanisme pasar formal maupun melalui mekanisme
perumahan yang bertumpu pada keswadayaan masyarakat. Mobilisasi sumber-sumber
pembiayaan perumahan perlu diefektifkan dengan mengintegrasikan pembiayaan
perumahan kedalam sistem pembiayaan yang lebih luas dan memanfaatkan
instrumen yang
ada atau mengembangkan yang lebih memperhatikan kebutuhan pembiayaan bagi
penduduk yang mempunyai keterbatasan akses kredit kepada perbankan.
8. Secara fungsional, sebagian
besar kualitas perumahan dan permukiman masih terbatas dan belum memenuhi
standar pelayanan yang memadai sesuai skala kawasan yang ditetapkan, baik
sebagai kawasan perumahan maupun sebagai kawasan permukiman yang berkelanjutan.
Masih banyak kawasan yang belum cukup dilengkapi dengan prasarana dan sarana
pendukung,
seperti saluran
pembuangan air hujan ruang terbuka hijau, lapangan olah raga, tempat usaha dan
perdagangan, fasilitas sosial dan fasilitas umum, disamping masih adanya
terbatasnya utilitas umum terutama air bersih.
9. Secara fisik lingkungan,
masih banyak ditemui kawasan perumahan dan permukiman yang telah melebihi daya
tampung dan daya dukungnya, menghadapi dampak saling keterkaitkannya dengan
kawasan lain disekelilingnya, serta masalah keterpaduannya dengan sistem
prasarana dan sarana, baik perkotaan maupun perdesaan. Dampak dari menurunnya
daya dukung lingkungan diantaranya adalah meningkatnya lingkungan permukiman
kumuh pertahunnya. Adanya perubahan fungsi lahan untuk mengakomodasi kebutuhan
perumahan dan permukiman serta proses urbanisasi juga berdampak terhadap
lingkungan, termasuk segi keragaman hayati, dan timbulnya kesenjangan dan yang
tidak selalu di antisipasi.
10. Secara visual wujud
lingkungan, juga terdapat kecenderungan yang kurang positif bahwa sebagian
kawasan perumahan dan permukiman telah bergeser menjadi tidak teratur, kurang
berjatidiri, kurang memperhatikan nilai- nilai kontekstual yang baik, dan
benar. Selain itu, kawasan yang baru di bangun juga tidak secara berkelanjutan
di jaga penataannya, sehingga secara potensial dapat menjadi kawasan kumuh
baru. Perumahan dan permukiman yang spesifik, unik, tradisional dan bersejarah
juga mungkin rawan keberlanjutannya, padahal merupakan asset budaya bangsa yang
perlu di jaga kelestariannya.
C.
Pengaturan Saat Ini
Kendatipun
Pemerintah saat ini telah melakukan pengaturan terhadap perumahan dan permukiman
melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, dan
khusus mengenai pengelolaan rumah susun dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
1985. Dalam praktiknya, kedua Undang-Undang ini kurang memenuhi tujuan dari
pembentukkannya untuk peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat serta
mewujudkan perumahan dan permukiman
yang layak dalam
lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur, disamping itu juga belum
adanya ketentuan mengenai tugas dan kewenangan Pemerintah Daerah dalam
penyelenggara perumahan dan permukiman.
Berbagai
apermasalahan yang muncul selama 18 (delapan belas) tahun berlakunya
undang-undang tentang perumahan dan permukiman, diantaranya adalah :
a. Meningkatnya kebutuhan lahan bagi pembangunan perumahan seiring
dengan meningkatnya jumlah penduduk;
b. Semakin terbatasnya luas lahan, dan mahalnya harga tanah, terutama di
wilayah perkotaan;
c. Semakin maraknya permukiman kumuh di daerah perkotaan, tidak diikuti
dengan kebijakan dan pengaturan untuk memperbaiki kawasan kumuh, khususnya di
lingkungan perkotaan.
d. Pemanfaatan lahan perumahan dan
permukiman belum memberikan rasa keadilan kepada penduduk berpenghasilan rendah
sehingga selalu tersingkirke luar kota dan jauh dari tempat kerja.
e. Pemanfaatan ruang untuk perumahan dan permukiman belum serasi dengan
pengembangan kawasan fungsional lainnya atau dengan program sektor/fasilitas
pendukung lainnya.
f. Ketidakseimbangan
pembangunan desa – kota serta meningkatnya urbanisasi yang mengakibatkan
permukiman kumuh dan berkembangnya masalah sosial di kawasan perkotaan.
g. Kebutuhan lahan untuk permukiman semakin meningkat seiring dengan
terus meningkatnya jumlah penduduk. Tingginya laju pertumbuhan penduduk ini
akan menimbulkan kebutuhan lahan perumahan dan permukiman yang sangat besar,
sementara kemampuan Pemerintah sangat terbatas.
h. Pembangunan perumahan dan permukiman saat
ini belum mampu memberdayakan peran masyarakat agar mampu memenuhi kebutuhan
perumahannya sendiri yang sehat, aman, serasi, dan produktif tanpa merusak
lingkungan hidup dan merugikan masyarakat luas.
i. Belum jelasnya tugas dan
kewenangan Pemerintah Daerah, baik itu pada tingkat propinsi, maupun
kabupaten/kota dalam penyelenggaraan peruahan dan permukiman, yang berakibat
pada lemahnya komitmen pemerintah dalam pengembangan kawasan perumahan dan
permukiman;
j. Belum memadainya penyediaan
prasarana dan sarana dasar bagi perumahan dan permukiman;
k. Belum terintegrasinya
pengembangan perumahan dan permukiman dengan sistem jaringan prasana perkotaan;
l. Pembangunan perumahan dan
permukiman banyak diperuntukkan bagi golongan menengah ke atas;
m. Orientasi kebijakan dan
pembangunan perumahan dan permukiman selama ini lebih terfokus pada penyediaan
perumahan baru dan serta penyediaan pra-sarana dasar pada lingkungan permukiman
secara selektif, tetapi kurang memperhatikan perbaikan dan pembinaan terhadap
perkim yang sudah ada;
n. Dalam hal penyediaan/pasokan
perumahan baru, yang secara resminya ditujukan terutama bagi masyarakat
berpenghasilan rendah, pada kenyataannya seringkali tidak tepat sasaran;
o. Lemahnya pengawasan dan
pengendalian proses alih fungsi lahan dalam penyelenggaraan perumahan dan
permukiman; dan
Dengan demikian,
Undang-Undang No 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Permukiman dinilai tidak
mampu lagi mengakomodasi
segala permasalahan yang
berkembang baik saat ini maupun yang akan datang, sehingga perlu dilakukan
penyempurnaan.
1. Adanya Perubahan UUD 1945,
khususnya Pasal 28H ayat (1), UU baru, dan sejumlah UU terkait yang telah diubah,
sehingga sejumlah substansi pengaturan di dalam UU Perkim yang harus
disinkronisasi dan diharmoniskan dengan UU terkait lainnya, seperti: UU 32/2004
tentang Pemerintahan Daerah, UU 26/2007
tentang Penataan
Ruang, UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU
28/2002 tentang Bangunan dan Gedung.
2. Berlakunya kebijakan otonomi
daerah, menuntut pemerintah daerah berperan lebih aktif dalam penyelenggaraan
perumahan dan permukiman.
3. Memberikan
dasar hukum bagi
pemerintah daerah dalam
melaksanakan tugas dan
kewenangannya untuk penyelenggaraan perumahan dan permukiman.
4. Mengantisipasi perkembangan
konsep kawasan perumahan dan permukiman, yakni banyak kawasan hunian yang
berbaur dengan kawasan perniagaan, bisnis, perkantoran, mall, dan lain
sebagainya terutama di kota-kota besar, sehingga konsep mengenai lingkungan
tempat tinggal sudah mulai bergeser, tidak hanya terfokus pada fungsi tempat
tinggal, tetapi juga telah bergeser ke fungsi lainnya.
5. Peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan perumahan dan permukiman belum diatur secara jelas.
D. Kondisi
Yang Diharapkan
Undang-undang
tentang perumahan dan permukiman ini diharapkan dapat menjadi affirmative action Negara yang
memberikan jaminan dan memprioritaskan pengadaan perumahan dan permukiman
yang layak bagi
masyarakat miskin berpenghasilan rendah, yang sampai saat ini terpinggirkankan
oleh meluasnya penguasaan perumahan dan permukiman oleh pengembang besar. Salah
satu bentuk affirmative action ini adalah adanya kebijakan
pemberian kemudahan dan/atau bantuan
kepada masyarakat berpenghasilan menengah bawah (MBM), termasuk masyarakat
berpenghasilan rendah (MBR) untuk memiliki rumah layak huni. Kemudahan dan/atau
bantuan yang dapat diberikan oleh Pemerintah melalui penyediaan program
fasilitas likuiditas yaitu berupa pemberian pinjaman kepada lembaga keuangan
bank dengan tingkat suku bunga sangat lunak. Program tersebut diharapkan dapat
menurunkan tingkat suku bunga KPR, khususnya KPRSH Bersubsidi.4
Tujuan
pemberian subsidi perumahan pada dasarnya untuk meringankan beban angsuran
debitur, karena subsidi yang diberikan oleh Pemerintah kepada masyarakat
berpenghasilan menengah termasuk masyarakat berpenghasilan rendah umumnya
berupa subsidi selisih bunga, artinya Pemerintah menanggung angsuran sebagian
bunga KPR yang ditetapkan oleh bank. Namun demikian tujuan tersebut tidak
sesuai sebagaimana yang diharapkan, selama ini debitur hanya mendapat bantuan
dalam beberapa tahun pertama atau tidak sepanjang tenor pinjaman. Oleh karena
itu, dalam upaya membantu lebih banyak lagi masyarakat berpenghasilan menengah
termasuk masyarakat
4
Rezim tingkat suku bunga tinggi disebabkan
karena adanya ketidaksesuaian (mismatch)
antara masa tenor pinjaman dengan tenor pendanaan Bank, karena tenor pinjaman
KPR umumnya membutuhkan waktu panjang. Sedangkan sumber dana Bank yang umumnya
diperoleh dari dana pihak ketiga (masyarakat) yang sebagian besar didapat dari
dana tabungan dan deposito. Apabila sumber dana jangka pendek digunakan untuk
membiayai pinjaman dengan tenor panjang tentunya mempunyai tingkat risiko yang
tinggi. Oleh karena itu, untuk menjaga agar masyarakat tetap menyimpan dananya
dalam bank tersebut, pihak bank tentunya akan menawarkan tingkat suku bunga
tabungan atau deposito yang menarik (tinggi). Hal itulah yang menjadi penyebab
tingginya cost of capital bank dan
secara langsung beban tersebut akan ditanggung oleh debitur yang meminjam dana
ke bank tersebut, termasuk debitur KPR. Kondisi ini memberatkan debitur, karena
selama jangka waktu yang panjang akan dibebani oleh kewajiban untuk membayar
angsuran KPR yang besar.
berpenghasilan
rendah untuk memiliki rumah, Pemerintah merasa perlu melakukan intervensi untuk
menurunkan tingkat suku bunga KPRSH Bersubsidi dan mengingat intervensi yang
dilakukan selama ini kurang berjalan efektif maka diperlukan cara lain untuk
menurunkan tingkat suku bunga KPRSH Bersubsidi. Pemerintah menyadari
permasalahan yang dihadapi oleh Bank penerbit KPR adalah karena tingginya Cost of Fund yang secara tidak langsung
disebabkan oleh adanya mismatch antara masa tenor sumber pendanaan Bank dengan
masa tenor pinjaman KPR.
Sehingga,
diperlukan intervensi kepada Lembaga Keuangan Bank (LKB) berupa pemberian
pinjaman sangat lunak (fasilitas likuiditas) dengan tenor yang disesuaikan
dengan umur pinjaman. Agar fasilitas likuiditas tersebut sesuai dengan
tujuannya, maka fasilitas tersebut hanya dapat dimanfaatkan bagi pembiayaan
perumahan, baik untuk membiayai kredit konstruksi maupun KPR. Untuk mengelola
fasilitas likuiditas ini, perlu dipertimbangkan sebuah lembaga yang sudah ada
atau lembaga baru yang mengurusi pembiayaan perumahan dan permukiman yang
dibentuk oleh Pemerintah. Dalam keadaan mendesak apabila diperlukan Pemerintah
dapat membentuk Special Purpose Vehicle
(SPV) atau lembaga lainnya yang diberi tugas dan kewenangan mengatur
penggalangan, pemupukan dan pemanfaatan dana baik yang bersumber dari APBN,
APBD, Bapertarum, YKPP, ASABRI, Jamsostek, Hibah/Bantuan luar negeri atau dana
lainnya yang sah.
Disamping
itu, melalui affirmative action ini
juga diharapkan akan terjadi efisiensi dan efektivitas dalam pembangunan
perumahan serta permukiman, baik di kawasan perkotaan maupun perdesaan.
Pelaksanaannya harus dilakukan secara terpadu (sektornya, pembiayaannya, maupun
pelakunya) berdasarkan suatu program jangka menengah lima tahunan yang disusun
secara transparan dengan mengikutsertakan berbagai pihak yang terlibat
(pemerintah, badan usaha,
dan masyarakat) berdasarkan
suatu rencana tata ruang yang telah ditetapkan.
Perubahan terhadap
undang-undang ini diharapkan dapat menjadi dasar bagi :
1. Tersedianya rencana
pembangunan perumahan dan permukiman yang aspiratif dan akomodatif, yang dapat
diacu bersama oleh pelaku dan penyelenggara pembangunan, yang dituangkan dalam
suatu Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman;
2. Tersedianya skenario
pembangunan perumahan dan permukiman yang memungkinkan terselenggaranya
pembangunan secara tertib dan terorganisasi, serta terbuka peluang bagi
masyarakat untuk berperan serta dalam seluruh prosesnya;
3. Terakomodasinya kebutuhan
akan perumahan dan permukiman yang dijamin oleh kepastian hukum, terutama bagi
kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, disamping untuk mengatasi meluasnya
daerah kumuh khususnya di perkotaan (City
Slump), juga memberikan jaminan agar dapat dilakukan revitalisasi perumahan
dan permukiman yang telah ada dengan menyediakan sarana dan prasarana dasar
perumahan dan permukiman oleh pemerintah;
4. Terciptanya pembangunan
perumahan dan permukiman yang lebih berkeadilan, dengan menciptakan skema baru
dalam pemberian subsidi Kredit Pemilikan Rumah yang lebih berpihak kepada
Masyarakat Berpenghasilan Rendah maupun Masyarakat Berpenghasilan tidak tetap..
5. Terciptanya kondisi yang
dapat mendorong peningkatan peran swasta dalam penyediaan rumah murah bagi
masyarakat berpenghasilan rendah, melalui skema pembiayaan kepemilikan rumah
yang terjangkau.
BAB III
LANDASAN PEMIKIRAN
A. Landasan
Filosofis
Kebutuhan
akan rumah sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia akan terus ada dan
berkembang sesuai dengan perkembangan peradaban. Perbaikan mutu perumahan yang
diwujudkan melalui pembangunan nasional harus ditujukan untuk meningkatkan mutu
kehidupan. Perbaikan tersebut bukan saja dalam pengertian kuantitatif, tetapi
juga kualitatif dengan memungkinkan terselenggaranya perumahan yang sesuai
dengan hakekat dan fungsinya.
Perumahan
dan permukiman mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak
serta kepribadian bangsa, dan perlu dibina, serta dikembangkan demi
kelangsungan dan peningkatan kehidupan dan penghidupan masyarakat. Perumahan
dan permukiman tidak dapat dilihat sebagai sarana kebutuhan kehidupan
semata-mata, tetapi lebih dari itu merupakan proses bermukim manusia dalam
menciptakan ruang kehidupan untuk memasyarakatkan dirinya, dan menampakkan jati
diri. Oleh karena itu, perumahan dan pemukiman merupakan salah satu upaya
membangun manusia Indonesia seutuhnya, yang memiliki kesadaran untuk selalu
menjalin hubungan antar sesama manusia, lingkungan tempat tinggalnya dan
senantiasa bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Penyelenggaraan
perumahan dan permukiman diarahkan untuk mengusahakan dan mendorong terwujudnya
kondisi setiap orang atau keluarga di Indonesia yang mampu bertanggung jawab di
dalam memenuhi kebutuhan perumahannya yang layak dan terjangkau di dalam
lingkungan permukiman yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan guna
mendukung terwujudnya masyarakat serta lingkungan yang berjati diri, mandiri,
dan produktif.
Mengacu
kepada hakekat bahwa keberadaan rumah akan sangat menentukan kualitas
masyarakat dan lingkungannya di masa depan, serta prinsip pemenuhan kebutuhan
akan perumahan adalah merupakan tanggung jawab masyarakat sendiri, maka
penempatan masyarakat sebagai pelaku utama dengan strategi pemberdayaan
merupakan upaya yang sangat strategis. Sehingga harus melakukan pemberdayaan
masyarakat dan para pelaku kunci lainnya di dalam penyelenggaraan perumahan dan
permukiman dengan mengoptimalkan pendayagunaan sumber daya pendukung
penyelenggaraan perumahan dan permukiman.
Sementara
pemerintah harus lebih berperan sebagai fasilitator dan pendorong dalam upaya
pemberdayaan bagi berlangsungnya seluruh rangkaian proses penyelenggaraan
perumahan dan permukiman demi terwujudnya keswadayaan masyarakat yang mampu
memenuhi kebutuhan perumahan yang layak dan terjangkau secara mandiri sebagai
salah satu upaya pemenuhan kebutuhan dasar manusia dalam rangka pengembangan
jati diri, dan mendorong terwujudnya kualitas lingkungan permukiman yang sehat,
aman, harmonis dan berkelanjutan, baik di perkotaan maupun di perdesaan
B. Landasan
Sosiologis
Rumah
sebagai kebutuhan dasar manusia setelah pangan dan sandang, selain berfungsi
sebagai pelindung terhadap gangguan alam, cuaca dan lain-lain, juga memiliki
peran sosial budaya sebagai pusat pendidikan keluarga, persemaian nilai-nilai
budaya dan pembentukan jati diri masyarakat atau bangsa.
Secara
sosiologis rumah dilihat sebagai tempat suatu keluarga membentuk jati diri
keluarga, dengan adanya rumah, keluarga menjadi mempunyai kebanggaan dan
mempunyai jati diri. Berangkat dari keadaan itu dapat diharapkan suatu keluarga
menjadi keluarga yang lebih sejahtera. Dalam padangan sosiologis oleh karenanya
rumah dan permukiman seringkali dianggap dapat memberikan citra pada
pemiliknya.
Tinggal di
kawasan permukiman yang tertata dan mahal dapat menunjukkan status sosial
tertentu.
Persoalan
perumahan dan permukiman muncul dan akan bertambah buruk dapat disebabkan oleh
beberapa faktor, namun alasan yang paling mendasar adalah bahwa perumahan
diproduksi, dibiayai, dimiliki, dijalankan, dan dijual dengan tujuan untuk
melayani kepentingan modal privat. Adanya rumah sebagai komoditas sektor privat
menyebabkan pembangunan perumahan dan permukiman akan didominasi oleh stakeholder yang menggunakan berbagai
cara dalam mengolah perumahan sebagai komoditas utamanya untuk meraih
keuntungan. Para stakeholder tersebut
mencakup pengembang real estate, kontraktor, produsen bahan
bangunan, hipotik, dan penyedia perumahan
lain seperti pemberi kredit rumah, investor, spekulan, tuan tanah, dan pemilik
rumah itu sendiri. Konsekuensi yang harus ditanggung oleh konsumen antara lain
tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk memiliki atau menempati rumah
Secara
praktis, konsep yang sudah berkembang sebagai asas pelaksanaan pembangunan
perumahan dan permukiman yang secara prinsip bertujuan memberdayakan komponen
sosial masyarakat, usaha dan ekonomi, serta lingkungan, tetap dapat
ditumbuhkembangkan sebagai pendekatan pembangunan perumahan dan permukiman yang
berkelanjutan di tingkat lokal. Pendekatan ini dilakukan dengan memadukan
kegiatan-kegiatan penyiapan dan pemberdayaan masyarakat, serta kegiatan
pemberdayaan kegiatan usaha ekonomi komunitas dengan kegiatan pendayagunaan
prasarana dan sarana dasar perumahan dan permukiman sebagai satu kesatuan
sistem yang tidak terpisahkan.
Persoalan
penyediaan perumahan sebenarnya lebih merupakan masalah lokal dan kebutuhan
individual. Ini dapat ditunjukkan dengan besarnya peran swadaya masyarakat di
dalam pengadaan perumahannya. Karenanya perlu pembatasan campur tangan
pemerintah
dalam penanganan persoalan
lokal melalui penyelenggaraan perumahan dan permukiman yang terdesentralisasi.
C. Landasan
Yuridis
Sebagai
bagian dari masyarakat Internasional yang turut menandatangani Deklarasi Rio de
Janeiro, Indonesia selalu aktif dalam kegiatan-kegiatan yang diprakarsai oleh United Nations Centre for Human Settlements (UNCHS Habitat). Jiwa dan semangat yang tertuang dalam Agenda 21 maupun Deklarasi Habitat II
bahwa rumah merupakan kebutuhan dasar manusia dan menjadi hak bagi semua orang
untuk menempati hunian yang layak dan terjangkau (adequate and affordable shelter
for all).
Dalam Agenda 21 ditekankan pentingnya rumah sebagai hak asasi manusia,
hal ini telah pula ditekankan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Pasal 28H ayat (1) menyatakan “Setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup
baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Selanjutnya
dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 40 dinyatakan bahwa
“Setiap
orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang
layak”.
Sesuai
dengan amanat Undang Undang Dasar Tahun 1945 tersebut telah diterbitkan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1955 tentang Rumah Susun dan Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, dimana tujuan kedua Undang-Undang
tersebut adalah sebagai dasar pengaturan bagi pemenuhan kebutuhan dasar manusia
akan rumah, baik dalam bentuk rumah tinggal maupun rumah susun.
Selain
dari landasan yuridis dari peraturan perundang-undangan di atas, untuk
harmonisasi dalam penyusunan rancangan undang-undang ini harus juga melihat
undang- undang yang terkait, sebagai berikut:
2
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.
3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan
Dengan Rumah.
4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen.
5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun
1999 tentang Jasa Konstruksi.
6. Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Azasi Manusia.
7. Undang-Undang Nomor 42 Tahun
1999 tentang Jaminan Fidusia.
8. Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2002 tentang Bangunan Gedung.
9. Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2003 tentang Sumber Daya Air.
10. Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah di ubah dengan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008.
11. Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
12. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan.
13. Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang.
14. Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pencantuman
undang-undang yang terkait dengan Perumahan dan Permukiman dimaksudkan untuk
mengetahui kaitan antara norma-
norma yang akan
diatur didalam Rancangan Undang-Undang Permukiman dan Perumahan dengan berbagai
ketentuan undang-undang lain yang mengatur hal yang sama atau berkaitan, agar
tercipta sinkronisasi dan harmonisasi bebagai aturan sehingga tidak terjadi
benturan (tumpang tindih) dalam pengaturannya, baik undang-undang yang terkait
baik secara langsung maupun tidak langsung dengan penyelenggaraan kegiatan
perumahan dan permukiman.
D. Asas dan Prinsip 1. Asas
Penyelenggaraan
perumahan dan permukiman harus dilaksanakan sebagai satu kesatuan sistem, yang
pelaksanaannya dapat dilakukan dengan memanfaatkan berbagai pendekatan yang
relevan secara efektif, dan yang implementasinya dapat disesuaikan berdasarkan
kondisi lokal yang ada. Asas dalam undang-undang ini adalah :
a.
Pembangunan berkelanjutan
Pembangunan
perumahan dan permukiman, yang memanfaatkan ruang terbesar dari kawasan baik di
perkotaan maupun di perdesaan, merupakan kegiatan yang bersifat menerus.
Karenanya pengelolaan pembangunan perumahan dan permukiman harus senantiasa
memperhatikan ketersediaan sumber daya pendukung serta dampak akibat
pembangunan tersebut. Dukungan sumber daya yang memadai, baik yang utama maupun
penunjang diperlukan agar pembangunan dapat dilakukan secara berkelanjutan,
disamping dampak pembangunan perumahan dan permukiman terhadap kelestarian
lingkungan serta keseimbangan daya dukung lingkungannya yang harus senantiasa
dipertimbangkan. Kesadaran tersebut harus dimulai sejak tahap perencanaan dan
perancangan, pembangunan, sampai dengan tahap pengelolaan dan pengembangannya,
agar arah perkembangannya tetap
selaras dengan
prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan secara ekonomi, sosial, dan
lingkungan.
Dalam
kerangka itu, penyelenggaraan perumahan dan permukiman ingin menggarisbawahi
bahwa permasalahannya selain menyangkut fisik perumahan dan permukiman juga
terkait dengan penataan ruang. Di dalamnya termasuk pengadaan prasarana dan
sarana lingkungan, serta utilitas umum untuk menunjang kegiatan sosial ekonomi
masyarakat. Hal ini diperlukan agar dapat mendorong terwujudnya keseimbangan
antara pembangunan di perkotaan dan perdesaan, serta perkembangan yang terjadi
dapat tumbuh secara selaras dan saling mendukung.
Dengan
keseimbangan tersebut diharapkan perkembangan ruang-ruang permukiman responsif
yang ada akan dapat ikut mengendalikan terjadinya migrasi penduduk.
Skematik
Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan ekonomi
yang berkelanjutan
PERUMAHAN DAN
PERMUKIMAN
Pengelolaan Lingkungan
Pembangunan
|
Hidup
|
|
sosial
|
||
|
b.
Penyelenggaraan secara multisektoral
Pembangunan
perumahan dan permukiman mencakup banyak kegiatan, antara lain pengalokasian
ruang, penyediaan lahan, kelembagaan, kegiatan teknisteknologis, pembiayaan,
dan sistem informasi. Disamping secara holistik, penyelenggaraan perumahan dan
permukiman harus dilakukan secara multisektoral karena memerlukan koordinasi
dengan berbagai bidang lain yang terkait dengan kegiatan pembangunan perumahan
dan permukiman dan tidak dapat ditangani oleh satu sektor saja.
c.
Desentralisasi
Dalam
kerangka desentralisasi, penyelenggaraan perumahan dan permukiman tidak dapat
terlepas dari agenda pelaksanaan tata pemerintahan yang baik di tingkat lokal,
yaitu yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip partisipasi, transparansi,
akuntabilitas, profesionalisme, kesetaraan, daya tanggap, wawasan kedepan,
pengawasan, penegakan hukum, serta efisiensi dan efektivitas.
Sistem
penyelenggaraan di bidang perumahan dan permukiman yang tertata rapi, baik di
tingkat pusat, wilayah maupun lokal, baik ditinjau dari segi sumber daya
manusia, organisasi, tata laksana, maupun dukungan prasarana serta sarananya.
Prinsip desentralisasi juga memberikan tugas dan wewenang antara pemerintah
pusat dalam hal kebijakan, dan pemerintah daerah dalam hal teknis penanganan
dan sistem penyelenggaraan dibidang perumahan dan permukiman.
Dalam
kaitan itu, melalui undang-undang ini diharapkan (a) desentralisasi yang
efektif dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemeliharaan prasarana perumahan
dan permukiman, (b) pemantapan wewenang dan tanggungjawab pemerintah daerah
dalam pembiayaan prasarana perumahan dan permukiman, dan (c) peningkatan
kemampuan pemerintah daerah dalam melaksanakan tanggungjawabnya.
d.
Pembangunan Berwawasan Kesehatan Lingkungan
Persoalan
kesehatan lingkungan perumahan
dan permukiman
sangat
mempengaruhi kualitas kesehatan masyarakat yang menghuninya. Selain secara
fisik perumahan harus memenuhi syarat rumah sehat (kesehatan), perilaku hidup
sehat dari masyarakat sangat penting dan strategis untuk terus didorong dan
ditumbuhkembangkan dalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman. aktualisasi
pembangunan yang berwawasan kesehatan sangat diperlukan dalam upaya penanganan
permukiman kumuh, dan pencegahan terjadinya lingkungan yang tidak sehat serta
menghambat penciptaan lingkungan permukiman yang responsif.
2. Prinsip
Disamping
asas yang menjadi dasar penyelenggaraan perumahan dan permukiman, kebijakan
perumahan dan permukiman diselenggarakan dengan tiga prinsip pokok, yaitu
a. Kesetaraan Mendapatkan Peluang Dan Akses
Salah
satu masalah di dalam perkembangan dan pembangunan perumahan dan permukiman
selama ini adalah ketidakadilan, konflik dan marjinalisasi/ pengucilan yang
dirasakan kelompok oleh sebagian besar masyarakat yang rentan dan kurang
berdaya. Sehingga, upaya yang perlu dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini adalah
dengan memberdayakan kelompok masyarakat tersebut dengan mengembangkan
proses-proses dan mekanisme yang bersifat adil dan setara untuk mendapatkan
berbagai peluang dan akses di dalam pembangunan dan perkembangan PP, dan
diberikannya hakhak yang setara untuk mendapatkannya.
b.
Keseimbangan Pertumbuhan Makro Dan Mikro
Migrasi
menunjukkan adanya perbedaan atau kesenjangan peluang antar tempat tinggal.
Jika pertumbuhan dan pertambahan penduduk ingin diseimbangkan di antara
berbagai jenis permukiman dan daerah serta pulau, maka yang perlu dilakukan
adalah menciptakan kondisi agar semua tempat sama baiknya dalam memberikan
peluang kepada penduduknya untuk hidup sejahtera.
Hal
yang diperlukan untuk mencapai keseimbangan tata-ruang dan sekaligus mencapai
keadilan di dalamnya adalah menciptakan keadilan tata ruang melalui penguatan
ruang lokal, di mana masyarakat lokal memiliki identitas teritorial dan
eksistensi dalam aspek ekonomi, sosial dan budaya; dan akuntabilitas penataan
ruang, melalui rujukan-rujukan tata ruang yang terbuka atau transparan.
c.
Reorientasi Pembangunan Dan Perkembangan Permukiman
Pengadaan
perumahan harus dapat menjawab tumbuhnya permintaan atau tuntutan yang semakin
beraneka ragam; tidak hanya terbatas pada menjawab menurut kebutuhan kategori
kelompok pendapatan. Perumahan baru bagi masyarakat berpendapatan rendah
semestinya tidak diorientasikan kepada tipe kecil, melainkan kepada upaya agar
kebutuhan ruang kelompok ini dapat terpenuhi.
Kepranataan
yang ada juga tidak secara signifikan mengakomodasi kebutuhan perkembangan
lingkungan permukiman yang ada (the
existing stock) sebagai potensi
penting bagi pemenuhan kebutuhan perumahan
dan sarana bagi proses transformasi sosial maupun rumah-rumah individual.
BAB IV
LANDASAN TEORI DAN KONSEP
A. Pengertian Perumahan dan Permukiman
Rumah
adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana
pembinaan keluarga, sedangkan pengertian perumahan merupakan kelompok rumah
yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang
dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan.
Adapun
hal terkait lainnya dengan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di
luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang
berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat
kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Dalam kerangka hubungan
ekologis antara manusia dan lingkungan permukimannya, maka terlihat bahwa
kualitas sumber daya manusia di masa yang akan datang sangat dipengaruhi oleh
kualitas perumahan dan permukiman dimana masyarakat tinggal menempatinya.
Perumahan
berarti pula upaya untuk merumahkan atau menjamin terpenuhinya kebutuhan
perumahan. Housing without houses, sebagai
istilah yang sering dipakai dalam studi perumahan memiliki penafsiran sebagai
urusan perumahan yang tidak selalu berarti rumah-rumah. Sedangkan housing the people juga memiliki arti
yang kurang lebih sama, yaitu sebagai proses upaya panjang dari suatu bangsa
untuk merumahkan seluruh warga masyarakatnya secara layak. Di dalam
perjalanannya sejak didirikannya Kementerian (Muda) Perumahan Rakyat pertama
kali pada tahun 1978, urusan perumahan dinamai sebagai Perumahan Rakyat.
Perumahan rakyat di sini berarti bahwa negara memiliki tanggung jawab untuk
merumahkan seluruh rakyat Indonsia secara layak. Hal ini
merupakan
pemenuhan hak dasar warga masyarakat akan rumah yang layak sekaligus sebagai
pelaksanaan amanat Konstitusi UUD 1945 pasal 28 H. Di dalam implementasinya,
pemerintah berkewajiban menyelenggarakan urusan perumahan rakyat dengan tujuan
untuk merumahkan seluruh rakyat secara layak.
B. Agenda Global Sektor Perumahan dan Permukiman
Semangat
yang tertuang dalam Agenda 21 maupun Deklarasi Habitat II, The Global Strategy for Shelter menekankan bahwa masalah hunian
merupakan kebutuhan dasar manusia dan sebagai hak bagi semua orang untuk
menempati hunian yang layak dan terjangkau (Shelter
for All). Disamping itu, dalam Agenda
21 maupun Deklarasi Habitat II tersebut
juga menyatakan perlunya pembangunan perumahan dan permukiman sebagai bagian
dari proses pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable
Development) dan mengedepankan strategi perberdayaan (Enabling Strategy) dalam penyelenggaraan pembangunan perumahan dan
permukiman.
Indonesia
juga telah ikut menandatangani Deklarasi Cities
Without Slums Initiative yang
mengamanatkan pentingnya upaya perwujudan
daerah perkotaan yang bebas dari permukiman kumuh. Deklarasi tersebut perlu
ditindaklanjuti dengan langkah kongkrit dalam mewujudkan daerah perkotaan yang
bebas dari permukiman kumuh yang mengedepankan strategi pemberdayaan melalui
pelibatan seluruh unsur stakeholders
dengan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama. Upaya penanganan permukiman
kumuh ini adalah dalam rangka mewujudkan lingkungan permukiman yang sehat,
aman, harmonis dan berkelanjutan serta terwujud masyarakat yang mandiri,
produktif dan berjatidiri.
C.
Pendekatan Penyelenggaraan
Perumahan dan Permukiman Penyelenggaraan perumahan dan permukiman harus dilaksanakan
sebagai satu
kesatuan sistem, yang pelaksanaannya secara berkelanjutan dan dapat
memanfaatkan berbagai pendekatan yang relevan dan implementasinya dapat
disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat.
Pembangunan
berkelanjutan dalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman dilaksanakan
dengan pencapaian tujuan pembangunan lingkungan, pembangunan sosial dan
pembangunan ekonomi. Secara praktis, konsep Pembangunan berkelanjutan, yang
sudah berkembang sebagai asas pelaksanaan pembangunan perumahan dan permukiman,
secara prinsip bertujuan memberdayakan masyarakat, secara sosial dan
ekonomi serta lingkungan. Pendekatan ini
dilakukan dengan memadukan
kegiatan-kegiatan penyiapan dan pemberdayaan masyarakat,
pemberdayaan kegiatan
usaha ekonomi, serta pendayagunaan prasarana dan sarana dasar perumahan dan
permukiman sebagai satu kesatuan sistem yang tak terpisahkan.
Pembangunan
perumahan dan permukiman, yang memanfaatkan ruang terbesar dari kawasan
perkotaan, merupakan kegiatan yang bersifat berkelanjutan. Oleh karena itu,
pengelolaan pembangunan perumahan
dan permukiman
senantiasa memperhatikan ketersediaan daya
dukung
serta dampak
terhadap kelestarian lingkungan. Kesadaran tersebut harus dimulai sejak tahap
perencanaan, perancangan dan pelaksanaan
pembangunan,
sampai dengan tahap pengelolaan dan pengembangannya, agar tetap selaras dengan
prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan secara ekonomi, sosial dan
lingkungan.
Dalam
kerangka itu penyelenggaraan perumahan dan permukiman termasuk tata ruang,
pengadaan prasarana dan sarana lingkungan, serta utilitas umum untuk menunjang
kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Hal ini diperlukan agar dapat mendorong
terwujudnya keseimbangan pembangunan perkotaan dan perdesaan, agar dapat tumbuh
secara selaras dan saling mendukung. Dengan keseimbangan tersebut dapat
diharapkan
perkembangan ruang-ruang permukiman yang responsif turut mengendalikan
terjadinya migrasi penduduk. Oleh karenanya, diperlukan pengembangan
perencanaan dan perancangan, serta pembangunan perumahan dan permukiman yang
kontributif terhadap pencapaian penataan ruang yang disusun secara transparan
dan partisipatif serta memberdayakan masyarakat sebagai pelaku utama.
Penyelenggaraan
perumahan dan permukiman juga dengan pengembangan sistem insentif. Sebab
persoalan perumahan dan permukiman merupakan persoalan strategis, namun belum
mendapat perhatian yang cukup berarti dari berbagai kalangan. Karenanya, untuk
memacu laju pembangunan perumahan dan permukiman, di dalam penyelenggaraannya
dikembangkan sistem insentif, untuk mampu mendorong berbagai pelaku
pembangunan, baik lembaga formal maupun lembaga informal untuk terlibat secara
aktif. Upaya yang dikembangkan antara lain, melalui kegiatan program stimulan,
perintisan, dukungan pembiayaan, dan bantuan teknis bagi pelaku pembangunan
yang responsif dalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman, termasuk
kegiatan pendampingan dalam penyiapan dan pemberdayaan masyarakat.
D. Keterkaitan Perumahan dan Permukiman dengan Lingkungan
Hidup dan
Penataan Ruang
Pengaturan
perumahan dan permukiman merupakan salah satu fase/tahap pengaturan dari
beberapa fase pengaturan lingkungan hidup dimulai dari pengaturan lingkungan
hidup secara global, pengaturan lingkungan hidup secara nasional, pengaturan
lingkungan hidup secara sub nasional, dan pengaturan lingkungan hidup secara
lokal. Pengaturan lingkungan hidup secara global dilakukan oleh sidang umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam bentuk deklarasi yang mengikat
negara-negara anggota yang meratifikasinya.
Dalam
konteks Indonesia ada dua undang-undang yang mengatur lingkungan hidup secara
nasional yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup, yang telah di ubah pada tahun 2003 dan terakhir di ubah menjadi
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang
Penataan Ruang, sebagaimana telah di ubah menjadi Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2007.
Tujuan
utama pengelolaan lingkungan hidup menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
adalah memberikan perlindungan terhadap wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, menjamin
keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia, menjamin kelangsungan kehidupan
makhluk hidup dan kelestarian ekosistem, menjaga kelestarian fungsi lingkungan
hidup, mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup,
menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan,
menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian
dari hak asasi manusia, mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara
bijaksana, mewujudkan pembangunan berkelanjutan, serta mengantisipasi isu
lingkungan global. Dengan demikian, penyelenggaraan kegiatan harus berdasarkan
prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Adapun
tujuan penyelenggaraan penataan ruang adalah untuk mewujudkan ruang wilayah
nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan wawasan
nusantara dan ketahanan nasional yang harmonis antara lingkungan alam dan
lingkungan buatan, terpadu dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya
buatan, serta perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap
lingkungan. Penataan ruang dilakukan dalam beberapa tingkatan dengan tingkat
kerincian yang berbeda. Penataan ruang nasional, yang masih sangat makro,
mencakup seluruh wilayah Negara dan menjadi wewenang Pemerintah. Berpedoman
pada rencana tata ruang nasional dilakukan
penataan ruang
wilayah provinsi. Selanjutnya berpedoman pada rencana tata ruang nasional dan
rencana tata ruang provinsi dilakukan penataan ruang wilayah kabupaten/kota
yang menjadi wewenang pemerintah kabupaten dan kota.
Kawasan
permukiman memiliki berbagai komponen antara lain kawasan perumahan, kawasan
industri, kawasan perdagangan, kawasan perkantoran, kawasan pelabuhan, kawasan
pariwisata. Untuk penyelenggaraan kawasan masing-masing baik yang merupakan
bagian dari kawasan permukiman maupun yang berdiri sendiri dapat diatur dengan
undang-undang sendiri. Karena masing-masing kawasan mempunyai manfaat dan
kebutuhan serta persyaratan berbeda juga berdampak pada lingkungan tersebut.
Setelah itu diperlukan pengaturan yang lebih teknis berupa pengaturan rencana
teknis ruang dan aspek teknis bangunannya baik bangunan gedung maupun bukan
gedung. Kawasan permukiman dapat memiliki berbagai kawasan peruntukan, seperti
kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan perdagangan, kawasan perkantoran,
kawasan pelabuhan, dan kawasan pariwisata. Undang-Undang yang mengatur
penyelenggaraan kawasan permukiman bertujuan agar seluruh kegiatan kehidupan
dan penghidupan yang terjadi di dalamnya dapat berjalan dengan baik, lancar,
aman, tertib, efektif dan efisien.
Sementara
dalam Peraturan Pemerintah nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional, membagi kawasan budidaya kedalam kawasan hutan produksi,
kawasan hutan rakyat, kawasan pertanian, kawasan pertambangan, kawasan
industri, kawasan pariwisata dan kawasan permukiman.
Pengaturan
penyelenggaraan permukiman merupakan transisi antara pengaturan penataan ruang
dan pengelolaan lingkungan hidup dengan pengaturan penyelenggaraan bangunan
tempat berbagai kegiatan. Pengaturan penataan ruangnya dilakukan pada tingkat
pengaturan pola pemanfaatan ruang secara garis besar. Pengaturan
bangunannya
mencakup jaringan primer prasarana yang menggambarkan hubungan antar berbagai
kawasan peruntukan, yang meliputi jaringan jalan primer dan arteri sekunder,
saluran primer pembuangan air hujan dan air limbah, serta tempat pembuangan
akhir sampah. Pengaturan yang lebih rinci dan lengkap dilakukan untuk
masing-masing jenis kawasan peruntukan, karena masing-masing jenis kawasan
peruntukan mempunyai manfaat dan kebutuhan serta persyaratan yang berbeda.
Dampak terhadap lingkungan hidup disekitarnyapun berbeda pula. Namun tidak
menutup kemungkinan untuk menggabung pengaturan penyelenggaraan permukiman dan
pengaturan penyelenggaraan kawasan peruntukan dalam satu undang-undang. Karena
kegiatan utama dalam penyelenggaraan permukiman pada dasarnya adalah penataan
ruang berupa perencanaan lokasi pemanfaatan ruang dan keterkaitan antar
berbagai lokasi pemanfaatan ruang.
Pemanfaatan
ruang tidak lain dari penyelenggaraan berbagai kegiatan di lokasi-lokasi yang
ditetapkan dalam rencana tata ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah
pengendalian kegiatan, oleh pemerintah daerah, agar sesuai dengan peruntukan
dalam rencana tata ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang dimulai dengan
penertiban izin pemanfaatan ruang atau izin lokasi yang memuat persyaratan yang
harus dipenuhi oleh pemanfaatan ruang. Diikuti dengan pemantauan pemanfaatan
ruang untuk mengetahui ada tidaknya pelanggaran terhadap persyaratan yang
ditentukan dalam izin pemanfaatan ruang. Jika ada pelanggaran, pemerintah
daerah harus mengambil langkah agar pemanfaat ruang kembali mengikuti
persyaratan dalam izin pemanfaatan ruang dan jika dianggap perlu mengenakan
sanksi untuk pelanggaran yang tidak sesuai dengan pemanfaatan ruang.
F.
Kebijakan dan Strategi
Nasional Perumahan dan Permukiman Kebijakan dan strategi nasional penyelenggaraan
perumahan dan
permukiman
bersifat struktural, sehingga
secara nasional diharapkan
dapat berlaku
dalam rentang waktu yang cukup agar dapat mengakomodasikan berbagai ragam
kontekstual masing-masing daerah, dan dapat memudahkan penjabaran yang
sistematik pada tingkat yang lebih operasional oleh para pelaku pembangunan di
bidang perumahan dan permukiman, baik dalam bentuk rencana, program, proyek
maupun kegiatan. Kebijakan nasional yang dirumuskan terdiri atas 3 (tiga)
struktur pokok, yaitu berkaitan kelembagaan, pemenuhan kebutuhan perumahan, dan
pencapaian kualitas permukiman. Sedangkan strategi untuk melaksanakan kegiatan
dirumuskan terutama untuk dapat mencapai secara signifikan substansi strategis
dari masing-masing kebijakan.
Penyelenggaraan
perumahan dan permukiman yang berbasis pada pelibatan masyarakat sebagai pelaku
utama harus dapat dilembagakan secara berkelanjutan sampai pada tingkat
komunitas lokal, dan di dukung secara efektif oleh sistem wilayah/regional dan
sistem pusat/nasional. Untuk mengaktualisasikan pelaksanaan misi pemberdayaan,
diperlukan keberadaan lembaga penyelenggaraan perumahan dan permukiman yang
dapat melaksanakan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Upaya
kelembagaan sistem penyelenggaraan perumahan dan permukiman tersebut dapat
dilakukan seluruh unsur pelaku pembangunan, yakni pemerintah, dunia usaha
maupun masyarakat yang berkepentingan di bidang perumahan dan permukiman, baik
di tingkat nasional, regional maupun lokal.
Berbagai
produk pengaturan dalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman harus mampu
mendukung upaya pemberdayaan, peningkatan kapasitas dan peran masyarakat, dunia
usaha, dan pemerintah serta pemerintah daerah sesuai dengan tuntutan Otonomi
Daerah. Produk pengaturan diharapkan dapat memandu pengendalian pemanfaatan
ruang perumahan dan permukiman yang sesuai dengan rancangan kawasan perumahan
dan permukiman, serta program-program pemanfaatan ruangnya. Pedoman teknis
perencanaan dan perancangan kawasan perumahan dan permukiman harus mampu
menampung
panduan proses
yang partisipatif dan transparan, serta mampu memberdayakan masyarakat sebagai
pelaku utama pembangunan. Penyusunan dan pengembangan produk pengaturan untuk
mendukung penyelenggaraan perumahan dan permukiman juga diarahkan untuk
mengoptimalisasi fungsi, kewajiban dan peran-peran dari lembaga-lembaga
perumahan dan permukiman, dengan prioritas di tingkat kota dan masyarakat.
Untuk
pelaksanaan di daerah, maka penjabaran kebijakan dan strategi penyelenggaraan
perumahan dan permukiman, serta produk-produk pengaturan yang telah disesuaikan
dengan kondisi di daerah perlu ditindaklanjuti dengan peraturan daerah.
Peraturan daerah diperlukan untuk mendorong pelembagaan sistem secara berlanjut
di tingkat lokal, demi ketertiban hukum dan melindungi nilai-nilai positif
(kearifan lokal) sebagai pedoman di dalam penyelenggaraan pembangunan, dalam
penyusunan program pembangunan, proses pengendalian dan pelaksanaan
pembangunan. Dalam perwujudan pola-pola pemanfaatan ruang, khususnya ruang
untuk perumahan dan permukiman, aspek bangunan gedung secara keseluruhan dengan
lingkungannya merupakan generator untuk perwujudan kualitas permukiman yang
berkelanjutan. Pengaturan bangunan gedung dan lingkungannya, baik fungsi usaha,
sosial budaya, fungsi khusus, dan fungsi hunian termasuk perumahan, sangat
signifikan di dalam memberikan kontribusi keseimbangan dan keragaman fungsi
lingkungan binaan yang produktif, baik di perkotaan maupun perdesaan.
Perkembangan
ilmu, seni dan teknologi bangunan gedung telah ikut mendorong pertumbuhan
perumahan yang lebih beragam bahkan sudah mulai tumbuh vertikal. Perkembangan
konsep-konsep penataan bangunan gedung dan lingkungan atau kawasan juga semakin
mewarnai dinamika pertumbuhan konsep penataan perumahan dan permukiman. Namun
demikian, untuk lebih mampu mencegah berkembangnya dampak negatif pembangunan,
pengawasan konstruksi dan keselamatan
bangunan gedung
perlu semakin dilembagakan sampai dengan tingkat lokal untuk lebih menjamin
terwujudnya perumahan dan permukiman yang lebih layak huni, berjatidiri dan
produktif.
Upaya
pemenuhan perumahan dengan mekanisme pasar formal relatif kecil mencapai 15%,
sedangkan sekitar 85% masih dipenuhi sendiri oleh masyarakat secara swadaya
melalui mekanisme informal. Berkaitan dengan hal tersebut, peningkatan peran
masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan huniannya melalui pembangunan perumahan,
baik berupa pembangunan baru maupun peningkatan kualitas (pemugaran dan
perbaikan) yang mengandalkan potensi keswadayaan masyarakat, menjadi sangat
penting dan strategis untuk mewujudkan perumahan yang layak huni. Namun
penyelenggaraan pembangunan perumahan swadaya secara individual sering kurang
optimal di dalam memenuhi kebutuhan perumahan yang dilengkapi dengan prasarana
dan sarana dasar lingkungan perumahan yang memadai.
Dengan
membentuk kelompok, maka masyarakat akan dapat menggalang kemampuan secara
bersama untuk mengatur rencana pemenuhan kebutuhan perumahan dan pembangunan
prasarana serta sarana lingkungannya. Selain itu, kebersamaan dalam membangun
kemampuan kelompok, akan lebih bermanfaat dalam mengakses sumber daya kunci
bidang perumahan, seperti akses kepada kepengurusan hak atas tanah, perizinan
serta akses pembiayaan perumahan yang relatif lebih baik. Oleh karena itu,
berbagai upaya untuk menyediakan kemudahan akses terkait dengan bidang
perumahan dan permukiman ini perlu terus dikembangkan.
Peningkatan
kapasitas dan kemampuan masyarakat di dalam pengembangan perumahan swadaya dilaksanakan
dalam kerangka pembangunan partisipatif yang berbasis pemberdayaan masyarakat.
Dengan demikian, pengembangan kelembagaan pemberdayaan perumahan dan permukiman
di daerah, penyediaan kebutuhan tenaga pendamping dan … pelaku pembangunan.
Peran perempua n ibu rumah
tangga yang
sangat strategis di dalam pengembangan keluarga-keluarga, komunitas dan
lingkungan tempat tinggal yang produktif dan reproduktif, menjadi menjadi
bagian penting di dalam pengembangan perumahan wadaya. Untuk itu, pemberdayaan
masyarakat dalam pembangunan perumahan dan permukiman perlu menggunakan
pendekatan perkembangan keluarga (family
development). Termasuk sebagai pertimbangan… pengarusutamaan gender…
keberhasilan pengembangan perumahan swadaya. Termasuk sebagai pertimbangan
adalah perlunya pengarusutamaan gender sebagai bagian penting untuk mendukung
keberhasilan pengembangan sistem dan mekanisme subsidi perumahan. Bantuan dapat
berbentuk subsidi pembiayaan, subsidi prasarana dan sarana dasar lingkungan
perumahan dan permukiman, atau kombinasi dari kedua bentuk subsidi tersebut.
Bagi kelompok
masyarakat berpenghasilan rendah, seperti pegawai instansi pemerintah, karyawan
swasta/perusahaan yang penghasilannya teratur, namun belum mampu memenuhi
kebutuhan rumahnya, karena relatif rendah tingkat kemampuan daya belinya,
diperlukan suatu skema perumahan berbasis tempat kerja (work based housing scheme). Demikian juga bagi kelompok masyarakat
lainnya seperti petani, nelayan, dan masyarakat berpenghasilan rendah yang
bekerja di sektor informal dan tidak mempunyai penghasilan tetap perlu di
berdayakan secara kelompok. Berbagai kelompok masyarakat tersebut perlu
mendapatkan pendampingan pemberdayaan berbasis komunitas/kelompok, sehingga
mereka dapat meningkatkan akses ke sumber-sumberdaya kunci perumahan dan
permukiman. Sejalan dengan proses pemberdayaan dan pengembangan kelembagaan
yang difasilitasi oleh pemerintah, kelompok-kelompok perumahan ini mendapatkan
stimulasi subsidi dengan skema subsidi perumahan yang dapat secara mudah
diakses oleh mereka.
Pada dasarnya subsidi pembiayaan perumahan dapat dikembangkan untuk
pengadaan rumah baru, perbaikan, dan pemugaran
rumah, serta
untuk hunian dengan sistem rumah sewa. Sedangkan subsidi prasarana dan sarana
perumahan dapat dikembangkan untuk mendukung kelengkapan standar pelayanan
minimal lingkungan yang berkelanjutan, seperti ketersediaan air bersih, jalan
lingkungan, saluran drainase, pengelolaan limbah , ruang terbuka hijau,
utiilitas umum. Sistem dan mekanisme subsidi perumahan tersebut diatur dan
dikembangkan sedemikian rupa, sehingga esensi dan ketepatan sasaran subsidi
yang memenuhi rasa keadilan sosial tercapai secara maksimal. Dalam kaitan
pengembangan dan pengaturan subsidi perumahan tersebut, maka seluruh pelaku
perumahan, khususnya di tingkat lokal perlu mengembangkan sistem dan mekanisme
subsidi yang lebih sesuai dengan potensi dan kemampuan daerah masing-masing.
Penanganan
tanggap darurat merupakan bagian dari upaya pertama yang harus dilakukan dalam
rangka penanganan pengungsi, sebagai kegiatan penyelamatan korban bencana alam
atau kerusuhan sosial, sebelum proses lanjut seperti pemberdayaan, pengalihan
dan pemulangan (repatriasi) dalam rangka pemulangan kembali pengungsi ketempat
lingkungan perumahan dan permukiman semula, diperlukan upaya rekonsiliasi
sosial untuk mendukung suasana yang kondusif sehingga kegiatan rehabilitasi dan
rekontruksi bangunan, prasarana dan sarana permukiman yang mengalami kerusakan
dapat berjalan dengan baik, berhasil guna dan berdaya guna. Apabila upaya
tersebut tidak dapat sepenuhnya berjalan dengan optimal, maka upaya
pemberdayaan pengungsi ditempat penampungan perlu dilakukan agar mampu secara
mandiri dan produktif. Namun demikian apabila upaya pemulangan dan pemberdayaan
tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan, maka pilihan terakhir berupa kegiatan
pengalihan (relokasi) pengungsi ketempat yang baru, baik secara sisipan maupun
secara terkonsentrasi di daerah perkotaan maupun perdesaan.
Apapun
upaya dilakukan, konsep TRIDAYA, yang meliputi penyiapan aspek sosial
kemasyarakatan, aspek pemberdayaan ekonomi
komunitas dan
pendayagunaan prasarana dan sarana lingkungan hunian, tetap menjadi acuan
pelaksanaan sebagai aktualitas implementasi pembangunan berkelanjutan, dengan
tetap memperhatikan asas kesetaraan dalam perlakuan antara pengungsi dengan
masyarakat lokal untuk menghindari terjadinya potensi eskalasi permasalahan dan
munculnya konflik sosial baru yang tidak diharapkan.
Fenomena
semakin bertambahnya luas kawasan permukiman kumuh dan informal pada hakikatnya
menunjukan adanya ketidakseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan perumahan
yang layak khususnya di kawasan perkotaan, yang mencerminkan belum mampunya
negara menjamin terpenuhinya jaminan bermukim atau belum terpenuhinya hak atas
rumah yang layak bagi seluruh rakyat (adequate
shelter for all). Untuk itu
diperlukan suatu langkah penanganan permukiman
kumuh menuju kota-kota bebas kumuh (Cities
Without Slums).
Penanganan
permukiman kumuh merupakan kebijakan dan target pembangunan yang bertujuan
untuk untuk memenuhi hak seluruh rakyat atas tempat tinggal atau perumahan yang
layak di dalam lingkungan permukiman yang sehat, dengan cara memberikan jaminan
bermukim bagi warga masyarakat khususnya mereka yang berpendapatan rendah dan
golongan miskin dimana mereka tidak memiliki akses ke berbagai sumberdaya kunci
perumahan dan permukiman khususnya di perkotaan. Selain itu juga bertujuan
untuk meningkatkan kualitas permukiman yang lebih berkelanjutan dengan
mengendalikan pertumbuhan dan mengurangi secara berarti luas dan jumlah lokasi
kawasan permukiman kumuh di Indonesia. Tujuan yang cukup penting pula adalah
sebagai upaya menanggulangi kemiskinan dimana permukiman kumuh melihat
kemiskinan dari kacamata kekumuhan permukiman yang tidak terlepas
pula dari masalah
sosial dan ekonomi penghuninya, termasuk ketidak-amanan bermukim/ penghuniannya
(insecure tenure).
Sasaran
penanganan permukiman kumuh mengacu pada target-target yang sudah dicanangkan,
yaitu di dalam RPJP 2005-2025 bahwa pada tahun 2025 kota-kota di Indonesia
terbebas dari permukiman kumuh, dan target MDGs yaitu bahwa pada tahun 2020
warga miskin yang tinggal di permukiman kumuh berkurang hingga setengahnya.
Di
tingkat implementasi di lapangan, sasaran kebijakan penanganan permukiman kumuh
adalah: 1) Terwujudnya keberdayaan dan keswadayaan komunitas masyarakat
permukiman kumuh melalui pengembangan kegiatan permukiman yang sehat dan
produktif, 2) Meningkatnya kapasitas pengelolaan kawasan permukiman kumuh
dengan melibatkan dan memberdayakan pelaku-pelaku lokal dan lembaga-lembaga
penyelenggaraan perumahan dan permukiman yang dapat menerapkan prinsip-prinsip
tata pemerintahan yang baik, baik di tingkat lokal, wilayah, dan pusat, 3)
Tersedianya prasarana dan sarana dasar serta fasos dan fasum permukiman yang
memadai untuk meningkatkan kualitas permukiman kumuh, sejalan dengan upaya
meningkatkan
kualitas infrastruktur dan sistem penyediaannya, 4) Memberdayakan sistem
penyediaan perumahan sewa di lingkungan permukiman kumuh seiring dengan
penataan permukiman kumuh, serta 5) Terdorongnya pertumbuhan wilayah dan
keserasian lingkungan antarwilayah melalui penyelenggaraan perumahan dan
permukiman yang berkelanjutan.
Kebijakan
penanganan permukiman kumuh seperti di atas masih meliputi penanganan kumuh
secara umum tanpa memperhatikan keberadaan permukiman squatter atau informal sebagai bagian permukiman kumuh. Untuk
permukiman informal dapat dikatakan belum ada kebijakan yang jelas dan
pendekatan penanganannya selain meningkatkan kesadaran hukum warga dalam
bermukim. Upaya seperti ini sangatlah terbatas karena seringkali tanpa diiringi
solusi yang memadai mengenai di mana mereka harus bertempat tinggal. Dalam
rangka menuju kota-kota bebas kumuh, penanganan permukiman informal harus
dilakukan secara lebih luas dan terintegrasi di antara berbagai penanganan
masalah dan pendekatan.
Lingkungan
permukiman informal adalah gambaran utuh dari kemiskinan kota dan tata kelola
perkotaan yang tidak berkelanjutan. Dengan demikian, penanganan permukiman
informal juga merupakan strategi penting dalam penanggulangan kemiskinan kota
sekaligus tata kelola pembangunan kota yang berkelanjutan. Permukiman informal
(squatter settlements) dan para
pedagang informal (street vendors)
merupakan suatu kesatuan dimana permukiman informal hidup dari kegiatan ekonomi
informal pula. Oleh sebab itu, kebijakan dan strategi penataan permukiman kumuh
dan penanggulanngan kemiskinan khususnya di perkotaan haruslah berfokus pada
penanganan permukiman informal ini.
Dalam
konteks penyediaan perumahan rakyat, permukiman informal adalah yang
menghasilkan mayoritas dari unit-unit rumah yang ada di kota-kota di tanah air.
Pembangunan perumahan informal secara sporadis ini lambat laun membentuk
permukiman informal yang umumnya kumuh dan substandar karena tidak direncanakan
dengan baik dan tidak dilengkapi prasarana dan sarana sanitasi yang memadai.
Secara kasat mata dapat dilihat bahwa proses perumahan informal lebih
mendominasi
penyediaan
perumahan kota dibanding sektor perumahan formal yang terorganisir dalam skala
besar.
Meskipun
sifatnya informal, bagaimanapun sektor perumahan dan permukiman informal telah
memberi kontribusi nyata dalam memberikan akses dan merumahkan masyarakat
miskin kota. Sehingga tidak dapat dipandang sebagai masalah pelanggaran
ketertiban semata dan seringkali ditangani terlalu berlebihan dengan memandang
warga permukiman informal sebagai pelaku-pelaku kriminal. Cara pandang yang
tidak memadai ini menyebabkan proses perumahan informal tidak mendapat dukungan
penanganan yang efektif. Sedangkan masalah mendasar yang justru belum mampu
dipenuhi pemerintah adalah menyediakan lapangan kerja, pendidikan, termasuk
pula pendidikan menjadi warga kota yang baik, kesehatan (dan penyehatan) serta
rumah yang layak dan terjangkau. Ketika semua kewajiban itu belum mampu
dipenuhi oleh pemerintah terhadap rakyatnya, bukankah cara yang sopan terhadap
rakyat adalah dengan menyadarinya dan mengajak semua pihak untuk menanganinya
bersama-sama?
Untuk
itu pemerintah perlu memiliki cara pandang bahwa proses perumahan dan
permukiman informal memiliki potensi sebagai solusi karena sifatnya yang
dikembangkan secara swadaya, partisipatif, membutuhkan sedikit investasi
publik, memberi kontribusi persediaan rumah (housing stock) dan terjangkau oleh masyarakat miskin. Ketika
pemerintah belum mampu menyediakan perumahan yang layak dan terjangkau untuk
semua rakyat, bagaimanapun, pemerintah perlu menggunakan cara pandang yang
melihat proses perumahan informal sebagai suatu potensi yang berkontribusi pada
penyediaan perumahan kota. Cara pandang inilah yang dapat mengesampingkan
pendekatan penggusuran.
Penanganan
permukiman informal sebagai fokus aksi untuk mencapai kota yang bebas kumuh
perlu didasari oleh landasan kebijakan dan pengembangan strategi-strategi yang
efektif. Hal ini karena penanganan permukiman informal ini melibatkan kehidupan
sosial, ekonomi dan lingkungan dari komunitas miskin kota yang perlu
memperhatikan suatu tindakan pengamanan dari negara (safeguard policy) dan
menghindari tindakan penggusuran dan pengrusakan (forced eviction policy). Arah kebijakan yang perlu disusun dalam
penanganan permukiman informal perlu
mengaitkan kebijakan-kebijakan yang lebih luas dan dijalin dalam suatu kerangka
koordinasi kebijakan yang utuh, yaitu dalam bidang perkotaan, pengembangan
permukiman, dan perumahan.
Di
bidang perkotaan, perlu dikembangkan sistem pengendalian perkembangan
permukiman informal (squatter control
system). Sistem kendali squatter
ini menggantikan pola pembiaran yang selama ini terjadi sehingga memunculkan
proses legalisasi yang ilegal seperti masuknya aliran listrik, air minum dan
bahkan terbitnya ijin bangunan di lingkungan permukiman informal. Sistem
kendali squatter harus meninggalkan
pola penggusuran karena bertentangan dengan amanat konstitusi dan HAM. Di
bidang pengembangan permukiman ada empat aspek yang perlu dikembangkan, yaitu
sistem penataan ruang yang mengutamakan manfaat tanah, peremajaan kawasan yang
bertumpu pada prinsip keadilan pemanfaatan ruang, dan pengembangan kawasan
permukiman baru melalui skema Kasiba dan Lisiba termasuk pengembangan kota-kota
baru. Penataan ruang yang mengutamakan manfaat tanah dan menempatkan sistem
administrasi dan status hukum kepemilikan tanah sebagai suatu keadaan yang
dinamis, adalah kunci penanganannya. Sistem pemilikan tanah hanya mengutamakan
status pemilikan tanah dan didominasi oleh sistem administrasi semata.
Sedangkan pengutamaan manfaat tanah menempatkan status dan administrasi tanah
sebagai
instrumen
pendukung. Di bidang perumahan, perlu dikembangkan empat aspek utama, yaitu
sistem perumahan sewa di kawasan peremajaan kumuh, peningkatan kapasitas
pemukiman kembali (resettlement),
penyediaan perumahan umum yang bertujuan menggenjot penyediaan perumahan umum
dan perumahan sosial yang sebanyak-banyaknya, dan peningkatan kapasitas
pengelolaan perumahan umum.
Pemukiman
kembali banyak bersentuhan dengan aspek sosial dan ekonomi warga masyarakat
yang dimukimkan kembali yang selama ini belum mendapat perhatian khususnya
dalam bidang permukiman kota. Absennya kapasitas pemukiman kembali juga
berkontribusi pada berkembangnya kapasitas penggusuran sebagai solusi
pragmatis. Solusi penanganan seperti uang ganti rugi, uang kerahiman, dan
relokasi seadanya, adalah bentuk penggusuran yang berkembang di pemerintah kota
tanpa didukung konsep yang memadai, sehingga masih jauh dari apa yang disebut
sebagai pemukiman kembali (resettlement).
Pengembangan
kebijakan di bidang perkotaan, peumahan dan permukiman merupakan kerangka
kebijakan yang utuh dan harus diselenggarakan secara terpadu di semua
tingkatan. Hanya pengembangan kebijakan yang terpadu dan komprehensif seperti
itu yang mampu menerbitkan optimisme pencapaian target kota bebas kumuh.
Pengembangan
kawasan siap bangun (Kasiba) dan lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri
(Lisiba BS) di daerah, adalah berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
atau kota, dan Rencana Pembangunan dan pengembangan Perumahan dan Permukiman di
Daerah (RP4D) yang telah ditetapkan melalui peraturan daerah. Kasiba dan Lisiba
tersebut, dimaksudkan untuk mengembangkan kawasan perumahan skala besar secara
terencana mulai dari kegiatan penyediaan tanah siap bangun dan kaveling tanah
matang, serta penyediaan prasarana dan sarana permukiman, termasuk utilitas
umum,
secara terpadu
dan pelembagaan manajemen kawasan yang efektif. Untuk mewujudkan struktur
pemanfaatan ruang Kasiba dan Lisiba BS, di samping melalui pentahapan program
yang dikembangkan oleh badan pengelola yang sejalan dengan program pembangunan
daerah, tetap diperlukan dukungan Pemerintah di dalam menyediakan prasarana dan
sarana kawasan yang bersifat strategis, sebagai kegiatan stimulan dan
pendampingan berdasarkan prinsip kemitraan yang positif dari dunia usaha, masyarakat,
dan pemerintah. Prinsip-prinsip pembangunan kawasan permukiman yang
berkelanjutan, baik internal di dalam kawasan maupun eksternal dengan kawasan
lain di sekitarnya, diterapkan secara efektif didalam pengembangan kawasan siap
bangun dan lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri.
Penyelenggaraan
kawasan siap bangun dan lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri dengan
manajemen kawasan yang efektif diharapkan mampu berfungsi sebagai instrumen
yang mengendalikan tumbuhnya lingkungan perumahan dan permukiman yang tidak
teratur dan cenderung kumuh. Keragaman fungsi secara relatif terbatas dari
Kasiba dan Lisiba, di samping dapat mendorong pertumbuhan ekonomi kawasan, juga
diharapkan dapat menampung secara seimbang kebutuhan perumahan dan permukiman bagi
semua lapisan masyarakat, termasuk lapisan masyarakat berpenghasilan rendah.
Dalam pengembangan Kasiba dan Lisiba serta kaitannya dengan pengelolaan tata
guna tanah.
Upaya
pengembangan permukiman yang ditujukan secara seimbang bagi permukiman yang telah
terbangun, dengan tujuan untuk mencegah terjadinya penurunan kualitas
permukiman, melindungi nilai sepesifik, unik, tradisional, dan bersejarah yang
telah tercipta sepanjang umur kawasan, dan untuk meningkatkan kinerja kawasan
sehingga dapat melampui ukuran indeks minimal berkelanjutan. Rencana
Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman di Daerah (RP4D)
merupakan pedoman perencanaan, pemerograman, pembangunan dan pengendalian
pembangunan jangka menengah dan/atau jangka panjang
yang diupayakan
dapat melembaga disetiap daerah, melalui peraturan daerah, dan realisasinya
harus dipantau dan dikendalikan dari waktu ke waktu, serta dikelola dengan tata
pemerintahan yang baik dan melibatkan secara sinergi kemitraan pemerintah,
dunia usaha dan masyarakat.
Perumahan
atau permukiman yang bernilai spesifik dan unik ditinjau dari aspek sosial,
budaya, teknologi, dan arsitektur, bernilai sejarah, termasuk secara khusus
pada bangunan gedung dan lingkungannya, berdasarkan peraturan
perundang-undangan cagar budaya yang ada, dapat dikategorikan sebagai benda
atau situs yang harus dilindungi dan dipelihara. Perlindungan dan pemeliharaan
yang dilakukan dapat dimulai dari kegiatan pendataan, dan pemugaran, konservasi
sampai dengan kegiatan pemeliharaan dan pengelolaan guna pelestarian
nilai-nilai yang terkandung didalamnya.
Pelestarian
juga dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan jatidiri masyarakat yang dinamis
namun masih berbasis pada nilai-nilai konsektual setempat. Dalam hal tertentu,
upaya revitalitas kawasan perumahan dan permukiman yang dinilai strategis tetap
dimaksudkan untuk merealisasikan pembangunan berkelanjutan, namun dengan
memanfaatkan potensi sfesifik dari asset permukiman yang bisa dikembangkan
secara ekonomi, sosial dan lingkungan.
Dalam
rangka pengembangan penataan lingkungan perumahan dan permukiman dan pemantapan
standar pelayanan minimal perumahan dan permukiman, harus pula dipertimbangkan
pentingnya pencegahan perubahan fungsi lahan, menghindari upaya
pemaksaan/penggusuran dalam pelaksanaan pembangunan, mengembangkan pola hunian
berimbang, menganalisis dampak lingkungan melalui kegiatan Analisa Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL), Rencana
Pemantauan Lingkungan (RPL), Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL), serta Upaya
Pemantauan Lingkungan (UPL) secara konsisten, dan menerapkan proses perencanaan
dan
perancangan
kawasan permukiman yang partisipasi dan transparan, serta mengantisipasi
potensi bencana alam yang mungkin terjadi.
G. Kebijakan Pengaturan Perumahan dan
Permukiman.
Konsep
ideal dari kebijakan pengaturan perumahan dan permukiman adalah menyatukan
undang-undang mengenai Perumahan dan Permukiman dengan undang-undang mengenai
Rumah Susun. Penyatuan kedua undang-undang ini dilatar belakangi oleh kenyataan
muatan materi Undang-Undang Rumah Susun merupakan bagian dari kebijakan yang
tertuang dalam Undang-Undang tentang Perumahan dan Permukiman.
Selain
itu, kebijakan pengaturan perumahan dan permukiman pada dasarnya bersifat
pengaturan secara administratif, khususnya mengenai tata cara pembangunan
perumahan dan permukiman yang meliputi perencanaan, pembangunan kawasan
permukiman pengelolaan, pelepasan hak atas tanah, kewajiban badan usaha bidang
pembangunan permukiman dan perumahan, konsolidasi tanah, kaveling tanah matang
dan peningkatan kualitas permukiman, pembangunan perumahan dan pemanfaatannya
serta pembongkaran rumah dan perumahan, pengawasan dan kelembagaan. Selain
aspek administrative terdapat pula aspek hukum keperdataan seperti hak dan kewajiban
pemilik rumah, pemanfaatan rumah, rumah sebagai jaminan hutang yang pada
dasarnya juga dapat diberlakukan untuk rumah susun.
Oleh
karena itu pengaturan aspek perumahan dan permukiman dan rumah susun tersebut
di atas dalam satu undang-undang adalah merupakan hal yang sangat tepat. Dengan
kata lain, penyatuan kedua aturan tersebut akan semakin meningkatkan
keharmonisan dan sinkronisasi pengaturannya yang pada akhirnya
kebijakan-kebijakan dalam mengimplementasikan aturan perumahan dan permukiman
yang mencakup rumah susun dapat dilakukan dengan lebih baik.
BAB V
MATERI MUATAN
A.
Ketentuan Umum
Ketentuan Umum berisi pengertian atau definisi, singkatan atau akronim,
dan hal-hal lain yang bersifat umum, yang berlaku bagi pasal-pasal di dalam RUU
Perumahan dan Permukiman. Adapun beberapa definisi yang digunakan adalah:
1. Perumahan adalah kelompok
rumah yang terdiri dari rumah tunggal, rumah deret, dan/atau rumah susun
sebagai bagian dari kawasan permukiman baik di perkotaan maupun di perdesaan,
yang dilengkapi dengan prasarana lingkungan, sarana lingkungan, dan utilitas
umum.
2. Permukiman adalah bagian dari
kawasan budi daya yang fungsi utamanya sebagai tempat tinggal, yang meliputi
kawasan yang didominasi oleh tempat hunian dan berbagai kawasan, yang
masing-masing didominasi oleh tempat kegiatan manusia yang terorganisir dalam
berbagai bentuk kegiatan, baik pada tingkat lokal, regional ataupun nasional,
yang berupa kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan yang dilengkapi dengan
prasarana lingkungan, sarana lingkungan, dan utilitas umum.
3. Penyelenggaraan perumahan dan
permukiman adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan pembangunan, pemanfaatan,
pengendalian, dan pemeliharaan dalam kaitannya dengan pengembangan kelembagaan,
peranserta masyarakat, serta pembiayaan secara terkoordinasi dan terpadu.
4. Rumah adalah bangunan yang
mempunyai atap dinding atau kayu, serta lantai yang berfungsi sebagai tempat
hunian dan sarana pembinaan keluarga, atau campuran antara tempat hunian,
tempat
pembinaan keluarga, dan
tempat usaha dalam satu kesatuan bangunan gedung.
5. Rumah Tunggal adalah bangunan
rumah satu unit yang berdiri sendiri, baik bertingkat maupun tidak bertingkat,
dengan kepemilikan oleh orang perseorang dan badan.
6. Rumah deret adalah bangunan
rumah yang terdiri dari lebih satu unit dalam bentuk berderet dijadikan
satu-kesatuan, baik bertingkat maupun tidak bertingkat, dengan kepemilikan oleh
perseorangan atau badan.
7. Rumah susun adalah bangunan
gedung bertingkat yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara
fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal, merupakan satuan-satuan yang
masing-masing dapat dimiliki dan/atau digunakan secara terpisah, dengan fungsi
utama sebagai tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian-bersama,
benda-bersama dan tanah-bersama.
8. Kawasan perumahan adalah
wilayah yang fungsi utamanya untuk perumahan, termasuk sarana, prasarana, dan
utilitas umum.
9. Lingkungan perumahan adalah
bagian dari kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran perumahan.
10. Kawasan siap bangun yang
selanjutnya disebut KASIBA adalah lahan yang fisiknya telah dipersiapkan untuk
pembangunan kawasan perumahan skala besar, terbagi dalam satu lingkungan siap
bangun atau lebih yang dilaksanakan secara bertahap dengan lebih dahulu
dilengkapi dengan jaringan primer dan sekunder prasarana lingkungan sesuai
dengan rencana tata ruang lingkungan yang ditetapkan oleh pemerintah dan/atau
pemerintah daerah.
11. Lingkungan siap bangun yang
selanjutnya disebut LISIBA adalah lahan yang fisiknya telah dipersiapkan untuk
pembangunan lingkungan perumahan dengan batas-batas kaveling yang jelas,
merupakan bagian dari kawasan siap bangun, dilengkapi dengan
prasarana, sarana, utilitas umum lingkungan, untuk
penyelenggaraan pembangunan
perumahan yang terstruktur sesuai dengan rencana rinci tata ruang kawasan.
12. Kaveling tanah matang adalah
lahan yang telah dipersiapkan untuk dibangun perumahan sesuai dengan
persyaratan pembakuan dalam penggunaan, penguasaan, pemilikan lahan dan rencana
rinci tata ruang kawasan, rencana tata bangunan, dan lingkungan perumahan.
13. Konsolidasi tanah adalah
penataan kembali penguasaan, penggunaan, dan pemilikan lahan oleh masyarakat
pemilik tanah, melalui usaha bersama untuk menyediakan kaveling tanah matang
bagi kawasan dan lingkungan perumahan sesuai dengan rencana tata ruang yang
ditetapkan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
14. Prasarana adalah segala
sesuatu yang menjadi penunjang utama kawasan atau lingkungan perumahan dan
permukiman, yang memenuhi standar tertentu untuk kebutuhan bermukim yang layak,
sehat, aman, dan nyaman.
15. Sarana adalah segala sesuatu
yang dapat digunakan sebagai alat untuk menunjang kawasan atau lingkungan
perumahan dan permukiman.
16. Utilitas umum adalah
fasilitas penunjang kawasan atau lingkungan perumahan dan permukiman untuk
melaksanakan kegiatan ekonomi dan sosial budaya.
17. Pembiayaan adalah penyediaan
dana atau tagihan untuk penyelenggaraan perumahan dan permukiman yang berasal
dari APBN, APBD, lembaga pembiayaan, dan/atau masyarakat secara swadaya,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan yang mewajibkan pihak yang dibiayai
untuk mengembalikan dana atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu
dengan imbalan atau bagi hasil.
18. Setiap orang adalah orang perseorangan dan/atau
badan.
19. Pemerintah pusat selanjutnya
disebut pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan
pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
20. Pemerintah daerah adalah
Gubernur, Bupati, dan/atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
21. Menteri adalah menteri yang
tugas dan tanggung jawabnya di bidang perumahan dan permukiman.
B.
Asas dan Tujuan
1.
Asas
Asas
dimaksudkan agar proses pelaksanaan Undang-undang dalam penyelenggaraan
perumahan dan permukiman dilakukan dengan memegang asas-asas atau prinsip
sebagaimana yang dimaksud atau yang terkandung dalam asas-asas tersebut.
Beberapa asas yang menjadi dasar dari pengaturan Rancangan Undang-undang
Perumahan dan Permukiman adalah:
a. Asas keadilan dan pemerataan, adalah asas yang memberikan landasan
agar hasil-hasil pembangunan perumahan dan pemukiman dapat dinikmati secara
merata oleh seluruh rakyat.
b. Asas kemanfaatan, keterjangkauan, dan kemudahan adalah asas yang
memberikan landasan agar penyelenggaraan perumahan dan permukiman mencapai
hasil pembangunan, mendorong terciptanya iklim yang kondusif dari pemerintah
dan setiap warga Negara Indonesia serta keluarganya, dan dapat memenuhi
kebutuhan dasar perumahan.
c. Asas kemandirian dan
kemitraan, adalah memberi landasan agar penyelenggaraan perumahan bertumpu pada
prakarsa, swadaya, peran masyarakat untuk turut serta mengupayakan
pengadaan dan
pemeliharaan terhadap aspek-aspek perumahan sehingga mampu membangkitkan
kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri, dan agar golongan masyarakat
yang kuat membantu golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah.
d. Asas keserasian, keseimbangan, kesehatan, kelestarian, dan
keberlanjutan, adalah kewajiban adanya keserasian dan keseimbangan
kepentingan-kepentingan dalam pemanfaatan perumahan, untuk mencegah timbulnya
penyakit, kesenjangan sosial dan perumahan, dengan selalu menerapkan
persyaratan pengendalian dampak penting terhadap lingkungan untuk mendukung pembangunan
berkelanjutan, bagi peningkatan kesejahteraan, baik generasi sekarang maupun
generasi yang akan datang.
2. Tujuan
Tujuan
pembangunan perumahan dan permukiman dalam jangka panjang ditujukan agar setiap
keluarga menempati dan memiliki suatu rumah yang layak serta dapat menjamin
ketentraman hidup. Perumahan dan permukiman haruslah memberikan ciri kehidupan
sesuai dengan karakteristik masyarakatnya. Perumahan dan permukiman mempunyai
fungsi sosial, ekonomi dan lingkungan, diselenggarakan dan diwujudkan secara
seimbang. Berkenaan dengan pengaturan perumahan dan permukiman, melalui
pendistribusian tempat hunian secara adil dan merata.
Pengaturan perumahan dan permukiman bertujuan:
A. memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan
perumahan dan permukiman;
B. menjamin terwujudnya rumah yang layak huni dan
terjangkau dalam lingkungan yang sehat, serasi, aman, teratur, terpadu,
terencana, dan berkelanjutan;
C. mendukung pertumbuhan wilayah dan penyebaran
penduduk yang rasional melalui pertumbuhan kawasan perumahan dan lingkungan
perumahan;
D. meningkatkan daya guna dan hasil guna sumber
daya alam bagi pembangunan perumahan dengan tetap memperhatikan kelestarian
lingkungan;
E. memberdayakan para pemangku kepentingan bidang
pembangunan perumahan dan permukiman; dan
F. menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial,
budaya, dan bidang-bidang lainnya.
C. Perumahan
Perencanaan
pembangunan perumahan harus dilaksanakan dengan memperhatikan aspek teknis,
administratif, tata ruang, dan ekologis, serta wajib melakukan pemantauan dan
pengelolaan lingkungan, untuk mewujudkan rumah yang layak dalam lingkungan yang
sehat, aman, serasi, dan teratur. Persyaratan teknis berkaitan dengan
keselamatan dan kenyamanan bangunan, dan keandalan sarana serta prasarana
lingkungannya. Persyaratan administratif berkaitan dengan pemberian izin usaha,
izin lokasi, dan mendirikan bangunan serta pemberian hak atas tanah.
Persyaratan
tata ruang berkaitan dengan tata ruang wilayah perkotaan dan rencana tata ruang
wilayah perdesaan yang menyeluruh dan terpadu, ditetapkan oleh pemerintah
daerah dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait serta rencana,
program, dan prioritas pembangunan perumahan. Persyaratan ekologis berkaitan
dengan keserasian dan keseimbangan, baik antara lingkungan buatan dengan
lingkungan alam, maupun dengan lingkungan sosial budaya, termasuk nilai-nilai
budaya bangsa yang perlu dilestarikan.
Membangun perumahan adalah termasuk membangun baru,
memugar, memperluas rumah atau perumahan, dengan
mempertimbangkan
faktor-faktor setempat mengenai keadaan fisik, ekonomi, sosial budaya serta
kerterjangkauan masyarakat, baik didaerah perkotaan maupun di daerah perdesaan.
Pembangunan perumahan dilakukan oleh pemilik hak atas tanah atau oleh bukan
pemilik hak atas tanah berdasarkan persetujuan dari pemilik hak atas tanah
dengan suatu perjanjian tertulis agar mencegah hal-hal yang memungkinkan
dikuasai atau digunakannya tanah oleh bukan pemilik hak atas tanah tanpa batas
waktu.
Perjanjian
tertulis antara pemilik tanah dan bukan pemilik yang akan dilakukan pembangunan
di atas tanah tersebut, harus memuat ketentuan mengenai :
1. Hak dan kewajiban pihak yang
membangun rumah dan pihak yang memiliki hak atas tanah; dan
2. Jangka pemanfaatan tanah dan
penguasaan rumah oleh pihak yang membangun rumah atau yang dikuasakannya.
D.
Permukiman
Tujuan
utama pengaturan penyelenggaraan permukiman adalah untuk mewujudkan kawasan
permukiman yang teratur, serasi, seimbang, sehat, aman dan lestari sebagai
wadah kehidupan dan penghidupan yang tertib, lancar, sehat. Permukiman yang
teratur adalah permukiman yang memiliki struktur dan pola pemanfaatan ruang
yang teratur yang memudahkan penentuan posisi dan mencari alamat serta
memudahkan pekerjaan pemeliharaan dan perawatan kawasan permukiman. Permukiman
yang serasi adalah permukiman yang tata letak berbagai kegiatan didalamnya
sedemikian rupa sehingga dampak negatif antar kegiatan diupayakan sekecil
mungkin dan dampak positifnya sebesar mungkin serta memiliki tampilan fisik
yang serasi. Permukiman yang seimbang adalah permukiman yang antara berbagai
kawasan peruntukkan pemanfaatan ruangnya terdapat keseimbangan dan sesuai
dengan kebutuhan dan kegiatan masyarakat.
Permukiman
yang lestari adalah permukiman yang terpelihara kelestarian fungsinya.
Permukiman yang sehat adalah permukiman yang bebas dari hal-hal yang dapat
menjadi sumber penyebaran berbagai penyakit seperti sampah yang berserakan,
saluran air yang tidak berfungsi, serta tidak memiliki cukup ruang terbuka
untuk sirkulasi udara dan penerangan alami. Permukiman yang aman adalah
permukiman yang aman terhadap kemungkinan terjadinya kecelakaan dan bencana.
Seperti dapat terhindar dari banjir, bangunan tahan gempa dan tidak berada
didaerah yang rawan longsor serta dapat membatasi menjalarnya kebakaran.
Kehidupan yang tertib maksudnya kehidupan dimana masyarakatnya berprilaku
tertib.
Tujuan
lain dari penyelenggaraan permukiman adalah untuk mewujudkan pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup, yang merupakan upaya memadukan
lingkungan hidup ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan,
kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Untuk
mencapai tujuan tersebut penyelenggaraan permukiman diarahkan pada sasaran
sebagai berikut :
a. Penyediaan rencana umum tata
ruang wilayah dan program pemanfaatan ruang wilayah permukiman;
b. Penyediaan tanah siap bangun
untuk pembangunan berbagai kawasan peruntukan dalam kawasan permukiman sesuai
dengan kondisi dan potensi pengembangannya;
c. Penyediaan jaringan primer
dan sekunder jalan (jalan primer serta jalan arteri dan kolektor sekunder)
sebagai jalan masuk untuk alat-alat berat dan bahan bangunan yang diperlukan
untuk pembangunan kawasan peruntukan;
d. Penyediaan saluran primer dan
sekunder pembuangan air hujan dan air limbah keperairan umum (sungai, danau,
atau laut) dan air limbah ke tempat pengolahannya; dan
e. Penyediaan tempat pembuangan akhir dan
pengolahan sampah.
1. Jenis
– Jenis Permukiman
Berdasarkan berbagai
kriteria, permukiman dapat dikelompokkan dalam beberapa jenis sebagai berikut :
1) Jenis permukiman berdasarkan
kegiatan utama para penghuninya, yang terdiri dari :
a. Permukiman perdesaan, yang
kegiatan utama penduduknya di bidang pertanian, termasuk pengelolaan sumber
daya alam;
b. Permukiman perkotaan, yang
kegiatan utama penduduknya di bidang bukan pertanian, seperti perdagangan,
industri, perkantoran dan jasa; dan
c. Permukiman khusus, yang
kegiatan utama penduduknya mendukung kegiatan bidang khusus, seperti
pertahanan, cagar budaya dan kawasan berikat yang merupakan bagian dari kawasan
perdesaan atau kawasan perkotaan;
2)
Jenis Permukiman
berdasarkan besarnya atau
jumlah
penduduknya, yang dapat dibedakan dalam :
a. Permukiman
kecil dengan jumlah penduduk kurang dari 50.000 orang;
b. Permukiman
sedang dengan jumlah penduduk mulai dari 50.000 orang sampai 200.000 orang;
c. Permukiman
menengah dengan jumlah penduduk mulai dari 200.000 sampai 500.000 orang;
d. Permukiman
besar dengan jumlah penduduk mulai dari 500.000 sampai 1.000.000 orang;dan
e. Permukiman metropolitan dengan jumlah penduduk 1.000.000 orang atau lebih.
3) Jenis permukiman berdasarkan
keadaannya yang mencakup : a. Permukiman baru, yaitu permukiman yang dibangun
baru
atau permukiman
lama yang diperluas sehingga menjadi jauh lebih besar dari permukiman yang ada
sebelumnya; dan
b. Permukiman lama, yaitu permukiman yang sudah ada dan masih ada.
4) Jenis permukiman berdasarkan fungsinya dalam
pengembangan wilayah yang mencakup:
a. Permukiman yang berfungsi sebagai pusat pengembangan wilayah
nasional, yang terdiri dari perkotaan yang potensial untuk pengembangan
berbagai macam industri dan dengan pemusatan pekerja yang besar;
b. Permukiman yang berfungsi sebagai pusat pengembangan antar daerah,
yang terdiri dari kota-kota pelabuhan sebagai bandar pengumpul atau bandar
utama;
c. Permukiman yang berfungsi sebagai pusat pengembangan daerah, yang
terdiri dari perkotaan yang berfungsi sebagai pendukung hinterlandnya dan dapat
menjadi tempat pengolahan hasil pertanian; dan
d. Permukiman yang berfungsi sebagai pusat pelayanan lokal, yang terdiri
dari perkotaan yang melayani berbagai kebutuhan penduduk wilayah yang dekat di
sekitarnya.
2. Tipe –
Tipe Permukiman
Berdasarkan jenis-jenis
permukiman tersebut diatas kita dapat mengelompokkan lagi permukiman dalam
berbagai tipe sebagai berikut:
1. Permukiman perkotaan baru sedang;
2. Permukiman perkotaan baru kecil;
3. Permukiman perdesaan baru (kecil);
4. Permukiman perkotaan lama metropolitan;
5. Permukiman perkotaan lama besar;
6. Permukiman perkotaan lama menengah;
7. Permukiman perkotaan lama sedang;
8. Permukiman perkotaan lama kecil; dan
9. Permukiman perdesaan lama (kecil).
E. Pembangunan Perumahan dan Permukiman di Kawasan Siap Bangun dan
Lingkungan Siap Bangun yang Berdiri Sendiri.
Pemenuhan kebutuhan perumahan dan permukiman
dalam jangka
pendek, menengah
dan jangka panjang diwujudkan melalui pembangunan kawasan perumahan skala besar
di kawasan siap bangun dan lingkungan siap bangun berdiri sendiri, dilaksanakan
secara terencana, terpadu dan terkoordinasi. Perencanaan Pembangunan kawasan
perumahan dalam skala besar ditentukan untuk menciptakan kawasan perumahan yang
tersusun atas satuan-satuan lingkungan permukiman dan menyerasikan secara
terpadu serta meningkatkan kualitas lingkungan perumahan yang telah ada didalam
dan disekitarnya. Rencana pembangunan kawasan dilaksanakan sesuai dengan
rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.
Pembangunan
kawasan perumahan skala besar dilaksanakan secara terpadu dan terkoordinasi
dengan program pembangunan daerah melalui penyelenggaraan kawasan siap bangun
dan penyelenggaraan lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri. Pelepasan hak
atas tanah pada suatu wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan siap bangun,
hanya dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan pemilik tanah yang bersangkutan.
Begitu pula pelepasan hak atas tanah yang diperuntukkan bagi pembangunan
Lingkungan Siap Bangun yang berdiri sendiri, yang bukan hasil konsolidasi
tanah. Pelepasan hak atas tanah di wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan Siap
bangun yang belum berwujud kavling tanah matang, dapat dilakukan oleh badan,
perorang dan/atau badan usaha yang melakukan pembebasan mengajukan dapat
mengajukan
permohonan hak
kepada negara sesuai hak atas tanah yang dapat dimiliki.
Penyelenggara
kawasan siap bangun dapat dilakukan oleh badan usaha swasta maupun badan usaha
yang dibentuk oleh pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah dibidang
perumahan dan permukiman. Pembangunan perumahan dikawasan siap bangun atau di
lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri, hanya boleh dilakukan oleh badan
usaha, perorangan dapat menyelaraskan pembangunan perumahan di kawasan siap
bangun dan lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri harus membentuk badan
usaha dibidang perumahan atau melalui konsolidasi tanah.
Dalam
membangun lingkungan siap bangun, badan usaha wajib: mengikuti persyaratan
teknis, ekologis, dan administratif; melakukan pematangan tanah, penataan
penggunaan tanah; penataan pengelolaan tanah dalam rangka penyediaan kavling tanah
matang; terlebih dahulu membangun jaringan prasarana lingkungan sebelum
kegiatan pembangunan rumah, memelihara dan mengelola sampai dengan pengesahan
dan penyerahan kepada pemerintah daerah; mengkoordinasikan penyelenggaraan
utilitas umum; membantu masyarakat pemilik tanah yang tidak menghendaki
pelepasan hak atas tanah di dalam atau disekitarnya dalam melakukan konsolidasi
tanah; melakukan penghijauan lingkungan; menyediakan tanah untuk sarana
lingkungan dan membangun rumah.
Badan
usaha yang akan mengelola kawasan siap bangunan yang berdiri sendiri, dilakukan
melalui pelelangan umum atau terbatas. Pembangunan lingkungan siap bangun yang
dilakukan masyarakat pemilik tanah melalui konsolidasi tanah, harus
memperhatikan persyaratan teknis, ekologis dan administratif dilakukan secara
bertahap meliputi kegiatan: pematangan tanah; penataan penggunaan penguasaan
dan pemilikan tanah; penyediaan prasarana lingkungan; penghijauan lingkungan;
penyediaan tanah untuk prasarana lingkungan.
Kavling
tanah matang terdiri dari: ukuran kecil, sedang, menengah dan besar. Badan
usaha dibidang pembangunan perumahan dan permukiman yang membangun lingkungan
siap bangun dilarang menjual kavling tanah matang ukuran menengah dan ukuran
besar tanpa rumah. Selanjutnya berdasarkan kebutuhan setempat, dengan
memperhatikan ketentuan-ketentuan tentang persyaratan dan kewajiban badan usaha
dalam membangun lingkungan siap bangun dapat menjual kavling tanah matang
ukuran kecil dan sedang tanpa rumah. Kavling tanah ukuran kecil, sedang,
menengah, besar hasil konsolidasi tanah milik masyarakat dapat diperjualbelikan
tanpa rumah.
Pembangunan
perumahan diselenggarakan berdasarkan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota
yang menyeluruh dan terpadu, ditetapkan oleh pemerintah daerah dengan
mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait serta rencana, program dan
prioritas pembangunan perumahan. Penyediaan tanah untuk pembangunan perumahan
dapat diselenggarakan dengan: penggunaan tanah yang langsung dikuasai oleh
negara, dan pelepasan hak atas tanah yang dilakukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Pemerintah
daerah kabupaten/kota menetapkan satu bagian atau lebih dari kawasan permukiman
menurut rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota yang telah memenuhi
persyaratan sebagai kawasan siap bangun. Persyaratan kawasan siap bangun
sekurang-kurangnya meliputi: rencana rinci tata ruang, data mengenai tanah
meliputi perolehan tanah, luas, batas dan pemilikan hak atas tanah, jaringan
primer dan sekunder, prasarana lingkungan, serta kegiatan pematangan tanah dan
pembangunan perumahan.
F. Hak Keperdataan
Penghunian
rumah dapat dilakukan oleh pemilik rumah atau bukan pemilik rumah dengan ijin
penghunian dari pemilik rumah. Penghunian rumah oleh bukan pemilik rumah dapat
dilakukan dengan cara: sewa
menyewa, pinjam
pakai dan sewa beli, dilakukan dengan perjanjian tertulis. Warga Negara asing
yang berkedudukan di Indonesia dapat memiliki tanah sebagai tempat hunian
dengan hak atas tanah tertentu.
Dalam klausul pengaturan pengadaan tanah adalah:
1. Pengadaan tanah untuk
kepentingan pembangunan perumahan dan permukiman oleh Pemerintah atau
Pemerintah daerah sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. Yang dimaksud
pengadaan tanah
untuk kepentingan pembangunan perumahan dan permukiman bertujuan dalam rangka
pencadangan tanah untuk untuk penyediaan kavling tanah matang dengan penerapan
subsidi silang bagi masyarkat yang berpenghasilan rendah, juga ditujukan
sebagai modal untuk cadangan tanah negara secara berkelanjutan. Pengadaaan
lahan dilakukan dengan memberikan ganti rugi kepada pemilik lahan, yang
dilakukan berdasarkan kesepakatan.
2. Pengadaan tanah dilakukan dengan cara:
a.
pelepasan atau penyerahan hak atas tanah;
Yang dimaksud
pelepasan atau penyerahan hak atas tanah untuk tanah yang dikuasai oleh Negara
atau Instansi/Lembaga Pusat dan Daerah, BUMN dan BUMD.
b.
konsolidasi
tanah oleh pemilik tanah;
Yang dimaksud
konsolidasi tanah oleh pemilik tanah adalah dalam rangka penataan kembali
peruntukan dan fungsi keserasian tata lingkungan perumahan dan adanya kepastian
hak kepemilikan atas tanah. Kegiatan tersebut dapat dilakukan antar pemilik hak
atas tanah dan/atau difasilitasi oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
c. pelepasan hak atas tanah oleh
pemilik tanah yang dilakukan sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Yang dimaksud
konsolidasi tanah oleh pemilik tanah adalah dalam rangka penataan kembali
peruntukan dan fungsi keserasian tata lingkungan perumahan dan adanya kepastian
hak kepemilikan atas tanah. Kegiatan tersebut dapat dilakukan antar pemilik hak
atas tanah dan/atau difasilitasi oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
d. Pelepasan atau
penyerahan hak atas
tanah dilakukan berdasarkan
prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah.
e. Pelepasan hak atas tanah oleh
pemilik tanah terhadap tanah yang telah ditetapkan sebagai lokasi pelaksanaan
pembangunan perumahan dan permukiman berdasarkan surat keputusan penetapan
lokasi yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota atau Gubernur, maka bagi siapa yang
ingin melakukan pembelian tanah diatas tanah tersebut, terlebih dahulu harus
mendapat persetujuan tertulis Bupati/Walikota atau Gubernur sesuai dengan
kewenangannya.
G.
Pembiayaan
Pembiayaan
bagi pembangunan perumahan dan permukiman perlu memperhatikan
kemungkinan-kemungkinan pengembangan sistem pembiayaan perumahan nasional
secara makro dan mikro. Titik tekan pembiayaan diarahkan pada pengurangan
subsidi pemerintah kecuali untuk pengadaan perumahan bagi masyarakat yang
berpenghasilan rendah. Adapun pembiayaan lembaga pembiayaan nasional perumahan
dapat bergerak di pasar primer perumahan dengan menggali dan memanfaakan
sumber-sumber pendanaan perumahan tingkat nasional melalui mobilisasi dana
perumahan. Sehingga mampu menyediakan pembiayaan perumahan untuk masyarakat
yang tidak berakses ke perbankan, melalui kredit mikro, dana bergulir dan Non mortgage loan.
Menjadikan
harga rumah terjangkau secara mikro dapat dilakukan melalui tiga cara: Pertama,
pendekatan dari sudut pengadaan dengan
melakukan
peningkatan efisiensi melalui rasionalisasi dalam segala aspek. Kedua
pendekatan dengan melakukan peningkatan efisiensi melalui pengulangan dan
ketiga pendekatan inkonvensional dengan pelibatan masyarakat dalam proses
pengadaan rumah. Ketiga macam pendekatan dikonsepsikan dalam konteks
pembangunan perumahan secara masal dalam rangka kebijaksanaan pemerintah,
dimana penekanan biaya akhirnya dan dinikmati oleh penghuni rumah sebagai end-user (Hasan poerbo,1999).
Untuk
memberikan bantuan dan/atau kemudahan kepada masyarakat dalam membangun rumah
sendiri atau memiliki rumah atau satuan rumah susun, pemerintah/ pemerintah
daerah melakukan upaya pemupukan dana. Bantuan dan/atau kemudahan berupa kredit
bersuku bunga rendah, subsidi, hibah, keringanan dibidang perpajakan,
pembangunan prasarana oleh Pemerintah Daerah dan usaha-usaha lain, yang dapat
mengakibatkan harga rumah menjadi lebih rendah. maka upaya pengembangan Sistem National Housing Fund perlu
dipikirkan.
H.
Kelembagaan
Aspek
kelembagaan lebih dikosentrasikan pada pemantapan kelembagaan perumahan dan
permukiman, baik ditingkat birokrasi maupun masyarakat, dan perlu dibangun
komunikasi yang efektif diantara kedua lembaga tersebut. pemerintah seyogyanya
membentuk suatu lembaga yang mengkhususkan diri dalam bidang perumahan dan
permukiman bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah atau tidak memiliki akses
keuangan untuk memiliki rumah. Status lembaga ini dapat berbentuk departemen
atau non departemen dibawah presiden yang khusus menangani masalah perumahan
dan permukiman. Untuk itu, masalah kelembagaan ini perlu menyebutkan dengan
tegas kedudukan, fungsi, dan tugasnya. Tugasnya antara lain melakukan
penyusunan kebijakan, penyediaan fungsi pendukung, koordinasi, pemantauan dan
pelaksanaan program perumahan.
Pengembangan
kelembagaan perumahan dan permukiman yang terdesentralisasi ditingkat daerah
dengan tidak didominasi oleh unsur pemerintah, namun tetap menjunjung tinggi
prinsip-prinsip demokrasi, serta mampu memberikan informasi dan
mengkoordinasikan semua stakeholders.
Pemerintah Daerah berkewajiban membuat kebijakan yang diarahkan untuk mengendalikan harga jual rumah atau harga sewa
rumah yang terjangkau oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah atau tidak
memiliki akses keuangan untuk memiliki rumah.
Pemerintah
berkewajiban membuat kebijakan untuk menjamin ketersediaan perumahan dan
permukiman bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah atau tidak memiliki akses
keuangan memiliki rumah dengan menyediakan anggaran khusus dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara. Setidak-tidaknya pemerintah melakukan usaha -
usaha, memperluas insentif untuk masuk ke pasar perumahan, bagi mereka yang
berpenghasilan rendah atau tidak tetap, melalui penegakan baku mutu rumah,
penyediaan informasi untuk konsumen berpenghasilan tetap.
Dalam
hal rumah susun hunian yang dibangun di atas tanah yang sebelumnya merupakan
daerah permukiman yang kumuh, maka kepada masyarakat penghuni semula diberikan
prioritas untuk menghuni rumah susun tersebut. Penyediaan tanah untuk
pembangunan perumahan dan permukiman diselenggarakan dengan, penggunaan tanah
yang langsung dikuasai oleh negara: konsolidasi tanah oleh pemilik tanah yang
dilakukan sesuai dengan peraturan perundang- undangan.
Kewenangan Pemerintah Pusat:
1.
Perumusan kebijakan perencanaan dan pengembangan Perumahan dan
Permukiman dengan menetapakan tujuan dan sasaran jangka panjang (multi year);
2.
Perumusan kebijakan pengawasan dan pengendalian pembangunan Perumahan
dan Permukiman;
3. Penyusunan peraturan
perUndang-undangan bidang Perumahan dan permukiman;
4.
Pembinaan meliputi pengaturan menetapkan pedoman dan standar teknik,
pemberdayaan, penyelenggaraan, bimbingan teknis, sosialisasi serta pelatihan
standar teknis;
5.
Pengawasan dengan melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap penerapan
dan penegakan peraturan perUndang-undangan bidang Perumahan dan Permukiman;
6.
Mengatur dan menyenggarakan koordinasi penyelenggaraan Perumahan dan
permukiman tingkat nasional;
7.
Mengembangkan dan memantau program bantuan perumahan nasional,
menyiapkan arahan dan persyaratan bagi pemerintah lokal, menetapkan sasaran
system alokasi, memetapkan criteria pemerioritasan, dan prosedur penguciran
dana;
8.
Mendirikan suatu kerangka pendanaan pembangunan perumahan dan memastikan
ketersediaan dana didalam anggaran pemerintah pusat, dan mencari dukungan
pendanaan pada lembaga Internasional, selanjutnya mengalokasikan dana tersebut
keberbagai Pemda dan Lembaga Keuangan agar program nasional dapat terlaksana
dengan baik dan benar;
9.
Mempromosikan reformasi pendanaan perumahan, dan sektor pertahanan dan
infrastruktur, agar tercapai pasar
perumahan yang efisien dan adil;
10. Mengembangkan
arahan untuk membakukan lembaga perumahan di dalam pemerintah daerah, dalam
perencanaan dan pemberian izin untuk memfasilitasi penyediaan perumahan; dan
11. Penyusunan bank data
perumahan nasional dan mengembangkan system informasi perumahan nasional.
Selanjutnya menganalisa dan
menyebarkan data perumahan di tingkat nasional dan provinsi.
Pemerintah Daerah melaksanakan kebijakan penyediaan perumahan dan
permukiman bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah atau tidak memiliki akses
keuangan untuk memiliki rumah dengan menyediakan anggaran khusus dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah. Terbangunnya lembaga-lembaga penyelenggara
perumahan dan permukiman yang dapat menerapkan prinsip-prinsip tata
pemerintahan yang baik (good corporate
governnance), ditingkat local, wilayah dan
pusat. Dengan begitu,
pemerintah hadir sebagai fasilitator kepada masyarakat sebagai pelaku utama
pembangunan perumahan dan
permukiman dalam memenuhi
kebutuhannya akan hunian yang layak dan terjangkau, serta lingkungan permukiman
yang berkelanjutan.
1. Mengkoordinasikan dan mengintegrasikan
program perumahan dan penyediaan infrastruktur lingkungan;
2. Menyelenggarakan pelatihan
bagi pemerintah kota dan kabupaten dalam menghadapi masalah pengelolaan yang
berhubungan dengan perumahan dan infrastruktur lingkungan perumahan;
3. Menyediakan atau
mengkoordinasikan sumber pendanaan untuk program perumahan yang relevan;
4. Menilai proposal yang diterima
oleh pemerintah kota dan kabupaten untuk program bantuan perumahan nasional,
dan memantau kinerja dalam pelaksanaannya;
5. Memfasilitasi LSM yang
berperan dalam menggalang kegitan disektor perumahan;
6. Mengatur penyelenggaraan
Permukiman dan Perumahan Lintas Kabupaten/Kota;
7. Menetapkan pedoman dan
standar teknis pemberdayaan kabupaten/kota dalam penyelenggaraan Permukiman dan
Perumahan;
8. Menetapkan standar
penyelenggaraan Permukiman dan Perumahan lintas kabupaten atau kota;
9. Menetapkan rencana induk pembangunan
Permukiman dan Perumahan tingkat Provinsi;
10. Penyediaan bantuan dan
dukungan penerapan hasil penelitian dan pengembangan teknologi dibidang
Perumahan dan Permukiman;
11. Koordinasi dibidang Perumahan dan Permukiman;
dan
12. Publikasi
dan penyebaran informasi
tentang perumahan,
mengadakan riset dalam bidang teknologi
bangunan.
Kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
adalah :
1.
Menetapkan rencana induk pembangunan Perumahan dan Permukiman ditingkat
Kabupaten/Kota;
2.
Menyelenggarakan
Perumahan dan Permukiman dalam satu
Kabupaten/Kota yang bersangkutan;
3. Menetapkan suatu lingkungan
permukiman sebagai permukiman kumuh yang tidak layak huni. Pemerintah Daerah
kabupaten/kota bersama-sama masyarakat
mengupayakan
langkah-langkah pelaksanaan program peremajaan lingkungan kumuh, untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat;
4.
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota wajib melakukan pendataan rumah untuk
keperluan pembinaan tertib pembangunan dan pemanfaatan. Tata cara pendataan
rumah di atur dengan peraturan daerah atau keputusan bupati atau walikota
dengan memperhatikan pedoman yang ditetapkan oleh presiden. Fungsi pendataan
selain dalam
rangka pengembangan kebijakan
juga dugunakan data sertifikasi rumah;
5. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota berwewenang
menetapkan dan melaksanakan pembongkaran rumah dan perumahan dalam hal :
pembangunan dan perumahan tidak memenuhi syarat teknis, ekologis dan
administratif ; rumahan dan perumahan kumuh yang tak layak huni, baik yang
dibangun di atas tanah milik sendiri ataupun tanah milik pihak lain; dalam hal
rumah dan perumahan tidak dimanfaatkan oleh pemiliknya sesuai dengan ketentuan
perUndang-undangan yang berlaku; rumah dan perumahan yang dibangun dengan
melakukan penyerobotan hak atas tanah;
6.
Pemberian bantuan, bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat dalam
membangun rumah meliputi penelitian dan pengkajian aspek teknis dan
administratif;
7.
Mengendalikan harga sewa rumah yang mendapat fasilitas dari pemerintah
dan pemerintah daerah;
8.
Pengelolaan
Kawasan Siap Bangun;
9.
Penunjukkan
badan pengelolaan kawasan siap bangun;
10. Menerima laporan hak atas
tanah dalam kawasan siap bangun;
11. Mengendalian proses pengadaan tanah;
12. Melakukan koordinasi bidang
Perumahan, rumah susun dan permukiman;
13. Memberi bantuan dalam
pemanfaatan tanah negara untuk pembangunan perumahan, rumah susun dan
permukiman;
14. Penataan ruang;
15. Pengaturan, pengawasan
terhadap pembangunan rumah serta melaksanakan pengawasan atas fungsi dan
manfaat
rumah serta melaksanakan
pengawasan atas fungsi dan manfaat rumah; dan
16. Pemberian kemudahan, bagi
golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah untuk memenuhi rumah susun, baik
melalui pemilikan maupun secara sewa.
I.
Peran Masyarakat
Peran masyarakat tetap menjadi penting khususnya dalam pengadaan
perumahan dan permukiman, dapat dilakukan melalui pengembangan masyarakat (community development). Peran masyarakat
dimaksud dapat dilakukan secara perseorangan atau dalam bentuk usaha bersama.
Melalui pengembangan masyarakat diharapkan dapat diwujudkan keswadayaan
masyarakat yang mampu memenuhi kebutuhan perumahan yang layak dan terjangkau
secara mandiri sebagai salah satu upaya pemenuhan kebutuhan dasar manusia dalam
rangka pengembangan jati diri, dan mendorong terwujudnya kualitas permukiman
yang sehat, aman, harmonis dan berkelanjutan, baik diperkotaan maupun
diperdesaan. Keswadayaan masyarakat dapat diartikan sebagai kemitraan dengan
pelaku kunci lainnya dari kalangan dunia usaha dan pemerintah.
Penyelenggaraan
perumahan yang dilakukan oleh masyarakat akan lebih optimal, apabila lembaga
yang dibentuk oleh masyarakat perumahan itu sendiri bersifat independent,
mandiri, professional dan nirlaba untuk mengurus dan memperjuangkan kepentingan
para pelaku di bidang penyelenggaraan perumahan sekaligus sebagai mitra
pemerintah dan dalam melakukan pembinaan terhadap para pelaku penyelenggaraan
pembangunan perumahan. Untuk mengoptimalkan peran lembaga
tersebut, maka
perlu diberi ruang yang cukup dalam bentuk kewenangan-kewenangan publik
tertentu berdasarkan undang-undang.
J. Pembinaan
dan Pengawasan
Pemerintah
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengadaan perumahan,
rumah susun dan permukiman dalam bentuk, pengaturan, pemberdayaan dan
pengawasan yang efektif dalam rangka menumbuhkembangkan terciptanya iklim yang
kondusif, penghargaan dan sanksi yang tepat, serta pengembangan system
insentif, maupun pengembangan produk- produk hukum yang responsif terhadap
dinamika pembangunan dan kemajuan masyarakat, dunia usaha dan pemerintah.
Pembangunan
perumahan dan permukiman diselenggarakan berdasarkan rencana tata ruang
kabupaten/kota dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait dengan
rencana, program, dan prioritas pembangunan perumahan dan permukiman.
Kewenangan otonomi diberikan kepada pemerintah kabupaten/kota didasarkan asas
desentralisasi melalui pembagian kewenangan tugas dan fungsi antar pemerintah
pusat dan pemerintah daerah. Pergeseran kewenangan tersebut sebagai kunsekuensi
dari pelaksanaan undang-undang otonomi daerah.
Penyelenggaraan
perumahan dan permukiman meliputi kegiatan perencanaan, penetapan standard dan
pedoman, pelaksanaan pembangunan, pemanfaatan, pengelolaan, pembinaan dan
pengawasan. Penyelenggaraan perumahan dan permukiman berdasarkan pada prinsip
koordinasi dan keterpaduan, dengan mengurangi wewenang dan tanggung jawab
instansi – instansi pemerintah atau pemerintah daerah yang bersangkutan.
K. Penyelesaian
Sengketa.
Penyelesaian
sengketa dibidang perumahan dan permukiman diselesaikan melalui penyelesaian
sengketa alternative atau dikenal dengan istilah “alternative dispute resolusion” (penyelesaian diluar pengadilan).
Pemerintah Daerah membentuk Badan Penyelesaian
Sengketa
Alternatif dibidang perumahan dan permukiman. Apabila tidak tercapai kata
sepakat dalam penyelesaian sengketa alternative diselesaikan melalui arbitrase
atau pengadilan.
L. Ketentuan
Pidana.
Perlu dikenakan sanksi terhadap mereka yang melakukan pembangunan rumah
tidak memperhatikan persyaratan teknis, ekologis dan administratif, serta tidak
melakukan pemantauan dan pengelolaan lingkungan berdasarkan rencana pemantauan
dan pengelolaan lingkungan. Demikian juga, sanksi terhadap mereka yang
melakukan pembangunan lingkungan siap bangun yang tidak memperhatikan
persyaratan teknis, ekologis dan administratif serta tidak melakukan pemantauan
dan pengelolaan lingkungan, tidak melakukan pematangan tanah, penataan
penggunaan tanah dan penataan kepemilikan tanah dalam rangka penyediaan kavling
tanah matang; membangun jaringan prasarana lingkungan mendahului kegiatan membangun
rumah, memelihara, dan mengelolanya sampai dengan pengesahan dan penyerahannya
kepada pemerintah daerah; mengkoordinasikan pelenggaraan penyediaan utilitas
umum; membantu masyarakat pemilik tanah yang berkeinginan melepaskan tanah hak
atas tanah di dalam atau di sekitarnya dalam melakukan konsolidasi tanah;
melakukan penghijauan lingkungan; menyediakan tanah untuk sarana lingkungan dan
membangun rumah.
Perlu
dikenakan sanksi kepada badan usaha di bidang pembangunan perumahan yang
membangun lingkungan siap bangun yang menjual kavling tanah matang tanpa rumah.
Perlu dikenakan sanksi kepada mereka yang melakukan penjualan tanpa
memberitahukan secara tertulis kepada pihak- pihak yang berkepentingan dan
diumumkan dalam dua surat kabar yang beredar didaerah yang bersangkutan, tanpa
ada yang menyatakan keberatan. Selanjutnya pemberian sanksi kepada mereka yang
melakukan penjualan satuan rumah susun untuk dihuni
sebelum
memperoleh izin kelayakan
untuk dihuni oleh
instansi yang
berwewenang. Sanksi tersebut berupa sanksi pidana maupun
administratif
dengan ketentuan kedua sanksi tersebut dapat saling mendukung dan dirumuskan
secara integrative. Adapun sanksi pidana dan administratif tersebut dikenakan
pada setiap pemilik rumah dan atau pemanfaatan rumah yang melakukan
pembangunan, pemanfaatan dan pengelolaan tidak memenuhi kewajiban atau
persyaratan yang telah ditentukan dalam rancangan undang-undang ini.
Sanksi administratif dapat berupa peringatan tertulis,
penghentian
sementara pelaksanaan pembangunan rumah, penghentian sementara pemanfaatan
rumah, pencabutan izin mendirikan bangunan rumah, pembongkaran bangunan rumah.
Pengenaan sanksi denda sesuai dengan jenis dan tingkat pelanggaran. Penerapan
ketentuan pidana pada dasarnya tidak menghilangkan kewajiban pelaku pelanggaran
atau tindak pidana untuk tetap memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam
Undang-Undang. Jika kewajiban tersebut tidak dipenuhi oleh suatu korperasi di
bidang pembangunan perumahan dan permukiman, maka izin usaha korporasi tersebut
dapat dicabut.
M.
Ketentuan Peralihan
Ketentuan
ini memuat penyesuaian terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah ada
pada saat peraturan perundang-undangan mulai berlaku, agar peraturan
perundang-undangan tersebut dapat berlaku dan tidak menimbulkan permasalahan
hukum dikemudian hari.
N.
Ketentuan Penutup.
Ketentuan ini memuat mengenai penunjukan organ atau alat kelengkapan
yang melaksanakan peraturan perundang-undangan, nama singkat, status peraturan
perundang-undangan yang sudah ada, dan saat mulai berlakunya peraturan
perundang-undangan beserta alternatifnya.
Disamping
itu juga mengatur mengenai jangka waktu pembentukan peraturan pelaksana seperti
Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, dan Peraturan Daerah untuk menjalankan
Undang-Undang mengenai Perumahan dan Permukiman, sehingga pada akhirnya dapat
berguna untuk memperlancar pelaksanaan Undang-Undang tersebut.
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam
praktiknya, keberlakuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan
Permukiman kurang memenuhi tujuan dari
pembentukkannya, yaitu untuk peningkatan dan pemerataan
kesejahteraan
rakyat serta mewujudkan perumahan dan permukiman yang layak dalam lingkungan
yang sehat, aman, serasi, dan teratur, disamping juga belum adanya ketentuan
mengenai tugas dan kewenangan Pemerintah Daerah dalam penyelenggara perumahan
dan permukiman.
Untuk
itu perlu kiranya diadakan perubahan atau penggantian Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1992, sehingga untuk menjawab permasalahan tersebut disusunlah perubahan
UU tersebut yang terlebih dahulu dirumuskan dalam suatu naskah akademis, yang
di dalamnya berisikan materi muatan RUU, yang meliputi antara lain mengenai
asas dan tujuan, perencanaan pembangunan perumahan dan permukiman yang di
dalamnya mencakup jenis dan tipe, hak keperdataan dalam perumahan, pembiayaan,
kelembagaan, peran masyarakat, pembinaan dan pengawasan, penyelesaian sengketa,
dan ketentuan pidana. Selain itu penyusunan Naskah Akademis ini berangkat dari
kesadaran adanya perubahan paradigma dan semangat otonomi daerah yang
mengharuskan adanya perubahan dan perbaikan pengaturan penyelenggaraan dibidang
Perumahan dan Permukiman.
B. Saran
1. Perlu perubahan dan
penyempurnaan pengaturan penyelenggaraan dibidang Perumahan dan Permukiman,
agar tujuan dari pada pengaturan itu sendiri yaitu peningkatan dan pemerataan
kesejahteraan rakyat serta mewujudkan perumahan dan permukiman yang layak dalam
lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur dapat segera terwujud.
2. Naskah Akademis dan Rancangan
Undang-Undang tentang Perumahan dan Permukiman ini, perlu disosialisasikan
untuk mendapat tanggapan dan masukan dari masyarakat guna penyempurnaan yang
sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat serta pihak-pihak lainnya yang
terkait, sehingga dapat berhasil guna dan berdaya guna.