Formulir Kontak

 

NASKAH AKADEMIK PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN


BAB I

PENDAHULUAN




1.  Latar  Belakang

perumahan dan permukiman, perumahan diartikan sebagai kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana. Secara fisik perumahan merupakan sebuah lingkungan yang terdiri dari kumpulan unit-unit rumah tinggal dimana dimungkinkan terjadinya interaksi sosial diantara penghuninya,  serta dilengkapi prasarana sosial,  ekonomi,  budaya,  dan pelayanan  yang merupakan subsistem dari kota secara keseluruhan. Lingkungan ini biasanya mempunyai aturan-aturan, kebiasaan-kebiasaan serta sistem nilai yang berlaku bagi warganya.
Masalah perumahan adalah masalah yang kompleks, yang bukan semata-mata aspek fisik membangun rumah, tetapi terkait sektor yang amat luas dalam pengadaannya, seperti pertanahan, industri bahan bangunan, lingkungan hidup dan aspek sosial ekonomi budaya masyarakat, dalam upaya membangun aspek-aspek kehidupan masyarakat yang harmonis. Oleh karena itu, pembangunan perumahan secara keseluruhan tidak dapat dilepaskan dari keseluruhan pembangunan permukiman dan bagian penting dalam membangun kehidupan masyarakat yang effisien dan produktif.

Upaya pembangunan perumahan dan permukiman yang telah dilaksanakan selama ini, bersifat sangat sektoral dan hanya berupa proyek-proyek yang sifatnya parsial dan tidak berkelanjutan. Selain itu, upaya pembangunan perumahan yang dilakukan di daerah-daerah sangat terbatas sekali karena keterbatasan kemampuan sumber daya manusia, sumber pembiayaan maupun pengembangan pilihan-pilihan teknologi dan upaya pemberdayaan masyarakat setempat yang kurang menjadi program utama.

Pemenuhan kebutuhan rumah dari sudut demand dan supply hanya terbatas pembiayaannya untuk bentuk-bentuk pasar formal bagi golongan menengah ke atas yang jumlahnya hanya mencapai maksimal 20% dan terbatas sekali bentuk-bentuk kredit dan bantuan subsidi untuk golongan menengah ke bawah. Pemenuhan kebutuhan karena kekurangan jumlah rumah yang harus dipenuhi adalah sejumlah 8 juta rumah pada posisi tahun 2008 dan pertambahan akibat pertumbuhan penduduk setiap tahun yang membutuhkan 800 ribu rumah. Sehingga, sekitar 80% kebutuhan rumah yang tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah

dilakukan sendiri oleh masyarakat sesuai dengan kemamampuannya yang jauh dari mutu bangunan dan mutu lingkungan perumahan dan permukiman yang memadai. Oleh karena itu, bentuk-bentuk dan peran masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan perumahan dan permukiman perlu diberdayakan.

Sebagai salah satu negara berkembang, Indonesia masih menghadapi permasalahan besar dalam menatata perkembangan dan pertumbuhan perumahan dan permukiman di kota-kotanya. Fenomena perkembangan kota yang terlihat jelas adalah bahwa pertumbuhan kota yang pesat terkesan meluas terdesak oleh kebutuhan masyarakat,1 menjadi kurang serasi dan terkesan kurang terencana. Kehidupan kota besar di Indonesia, semakin tidak nyaman akibat dari meningkatnya kepadatan penduduk, kurangnya wilayah hijau dan ruang-ruang terbuka,2 dan meningkatnya jumlah kendaraan bermotor dengan cepat.



1   Pada tahun 1980 penduduk perkotaan berjumlah sekitar 32,85 juta atau 22,27% dari

jumlah penduduk nasional). Tahun 1990 jumlah penduduk perkotaan menjadi sekitar 55,43 juta atau 30,9% dari jumlah penduduk nasional. Tahun 1995 jumlah penduduk perkotaan menjadi sekitar 71.88 juta atau 36,91% dari jumlah penduduk nasional). Tahun 2005 jumlah penduduk perkotaan diperkirakan mencapai hampir 110 juta orang, dengan pertumbuhan tahunan sekitar 3 juta orang. Sensus penduduk tahun 2000

mencatat total jumlah penduduk adalah 206.264.595 jiwa (www.bps.go.id/sector/population/table1.shtml). Tingkat urbanisasi mencapai 40% (tahun 2000), dan diperkirakan akan menjadi 60% pada tahun 2025 (sekitar 160 juta orang) (Bank Dunia, 2003). Laju pertumbuhan penduduk perkotaan pada kurun waktu 1990-2000 tercatat setinggi 4,4%/tahun, sementara pertumbuhan penduduk keseluruhan hanya 1,6%/tahun. Perkembangan kota-kota yang pesat ini disebabkan oleh perpindahan penduduk dari desa ke kota, perpindahan dari kota lain yang lebih kecil, pemekaran wilayah atau perubahan status desa menjadi kelurahan.

2  Singapura dan Kuala Lumpur yang semula kumuh dapat berubah menjadi kota yang lapang dan hijau, seiring dengan semakin meningkatnya kesejahteraan penduduknya. Demikian pula dengan Kota Guangzhow, sebuah kota tua yang semula amat padat dan kumuh, telah berubah menjadi kota yang longgar dengan flat-flat tinggi lengkap dengan sarana olah raga terbuka yang memadai. Investasi dibidang perumahan vertical di Guangzhow dirangsang oleh pemberian insentif pajak serta tariff listrik dan air minum yang lebih murah. Sarana olah raga, sekolah dan kebutuhan-kebutuhan hidup lain tersedia, membuat biaya transportasi menjadi murah. Keterlambatan kita mensosialisasikan hunian vertikal—meski Undang-unda ng Tentang Rumah Susun, terbit terlebih dahulu di bandingkan dengan Undang-undang Tentang Perumahan dan Permukiman—menyebabkan kota-kota besar lain di wila yah Indonesia berkembang melebar, menjadi tidak effisien serta mengurangi daya dukung lingkungan secara signifikan.





Sesungguhnya, sektor perumahan dan permukiman telah menjadi salah satu sektor penting dalam perekonomian nasional.3 Peran penting sektor perumahan dan permukiman dalam perekonomian nasional terkait dengan efek multiplier yang dapat diciptakan, baik terhadap penciptaan lapangan kerja maupun terhadap pendapatan nasional, yang ditimbulkan oleh setiap investasi yang dilakukan di sektor perumahan. Efek investasi di sektor perumahan atas penciptaan lapangan kerja di Indonesia adalah setiap milyar rupiah yang diinvestasikan di bidang perumahan dapat menghasilkan sekitar 105 orang-tahun pekerjaan secara langsung, sedangkan multiplier pekerjaan secara tidak langsung, 3,5 kali.

Kebutuhan rumah selalu meningkat seiring dengan tingkat pertumbuhan penduduk. Jumlah keluarga yang belum memiliki rumah (backlog) masih cukup besar pada tahun 2003 saja diperkirakan sekitar 6 juta unit dengan dasar data BPS tahun 2000 adalah sebanyak 4,3 juta unit. Pertumbuhan rumah bagi keluarga baru mencapai 800.000 unit pertahun. Namun demikian, karena sisi kemampuan ekonomi masyarakat masih sangat terbatas, karena sekitar 70% rumah tangga perkotaan masuk dalam kategori berpendapatan rendah dengan pendapatan kurang dari Rp.1,5 juta perbulan.

Penyelenggaraan perumahan dan permukiman di Indonesia, sesungguhnya tidak terlepas dari dinamika yang berkembang di dalam kehidupan masyarakat, dan kebijakan pemerintah di dalam mengelola persoalan perumahan dan permukiman. Fakta tersebut, dapat dilihat dari adanya kesenjangan pelayanan, karena terbatasnya peluang untuk



3   Perhatian terhadap sektor perumahan teleh dimulai sejak zaman pra kemerdekaan,

karena pada tahun 1926 Pemerintah Hindia Belanda memprakarsai pendirian Perusahaan Pembangunan Perumahan Rakyat (N.V Volkshuisvesting) di 13 kotapraja dan kabupaten dan dilakukan kegiatan penyuluhan perumahan rakyat dan perbaikan kampung (kampong verbetering) dalam rangka penanggulangan penyakit pes. Dan pada tahun 1934 juga diterbitkan Peraturan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Burgelijke Woning Regeling/ BWR)








memperoleh pelayanan dan kesempatan berperan di bidang perumahan dan permukiman, khususnya bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Disamping itu, kebijakan yang ada dapat memicu konflik kepentingan sebagai akibat implementasi kebijakan yang belum sepenuhnya memberikan perhatian dan keberpihakan kepada kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Sehingga perlu

dikembangkan kepranataan dan instrumen penyelenggaraan perumahan

dan permukiman yang    berorientasi kepada kepentingan seluruh lapisan

masyarakat.

Sementara         itu,          tuntutan         otonomisasi                                  mengehendaki

penyelenggaraan    perumahan   dan   permukiman   menerapkan                                            pola

pembangunan dilaksanakan secara desentralisasi. Hal itu sebetulnya sangat sejalan dengan karateristik persoalan perumahan dan permukiman yang memang khas kontekstual, serta kondisi pengembangan potensi kemampuan masyarakat di dalam merespon persoalan di bidang perumahan dan permukiman yang semakin memadai. Disamping sangat sesuai dengan tuntutan kebijakan pembangunan nasional dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang menekankan pada semangat pelaksanaan otonomi daerah secara nyata dan bertanggung jawab.
Isu lain yang menyangkut perumahan dan permukiman adalah masalah lingkungan pada kawasan permukiman dan perumahan, yang umumnya muncul sebagai akibat dari tingkat urbanisasi dan industrialisasi yang tinggi, serta dampak pemanfaatan sumber daya dan teknologi yang

kurang            terkendali.    Kelangkaan    prasarana    dan    sarana                           dasar,

ketidakmampuan memelihara dan memperbaiki lingkungan permukiman, baik secara fungsional, maupun visual wujud lingkungan, merupakan isu utama bagi upaya menciptakan lingkungan yang sehat, aman, harmonis dan berkelanjutan. Hal ini juga semakin menjadi masalah, mengingat masih belum diterapkannya secara optimal standar teknis minimal perumahan dan permukiman yang berbasis indeks pembangunan berkelanjutan di setiap daerah. Demikian pula dengan manajemen





(kepemimpinan) dalam tata kelola pemerintahan di seluruh tingkatan, berpengaruh terhadap kinerja aparat dalam implementasi kebijakan, khususnya dalam pemanfaatan lahan untuk perumahan dan permukiman.

Bagaimanapun, pembangunan rumah yang sehat harus diikuti dengan pembangunan lingkungan perumahan melalui penyediaan prasarana dan sarana dasar (PSD) yang memadai, khususnya air minum, sanitasi lingkungan, jalan dan listrik. Pemenuhan prasarana dasar tersebut diyakini besar kontribusinya dalam meningkatkan kesehatan lingkungan dan dalam menunjang pertumbuhan ekonomi. Namun, pada kenyataannya belum semua masyarakat dapat menikmati kelengkapan pelayanan dasar ini. Hanya 39% masyarakat perkotaan yang mendapatkan pelayanan air bersih. Kondisi ini disebabkan oleh kemampuan penyediaan pelayanan air bersih yang masih mengandalkan kemampuan pemerintah yang terbatas, sementara pertumbuhan permintaan jauh lebih besar.
Tantangan yang dihadapi oleh sanitasi lingkungan juga tidak kalah berat. Hampir sebagian besar masyarakat membuang limbahnya dengan sistem sanitasi setempat (seperti septik tank dan jamban). Pembangunan saran limbah air limbah terpusat masih sangat minimum, baru menjangkau 0,5% penduduk perkotaan. Disamping membutuhkan dana yang besar, pembangunan sistem air limbah terpusat ini menghadapi kendala ketersediaan lahan khususnya di kota-kota metro dan besar yang sejak awal tidak disiapkan pengembangan sistem ini.

Oleh karena itu, perlu dibangun orientasi baru kebijakan perumahan dan permukiman untuk mempercepat pemenuhan kebutuhan rumah dengan dukungan prasarana dasar yang memadai bagi seluruh lapisan masyarakat, khususnya pembangunan kawasan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Pembangunan perumahan sehat ini menjadi semakin penting dengan semakin meningkatnya masyarakat yang terjangkit penyakit ISPA, demam berdarah, flu burung, dan polio, yang diakibatkan oleh buruknya sanitasi lingkungan perumahan dan





permukiman. Pembangunan perumahan dengan lingkungan yang sehat akan mampu meningkatkan kesehatan masyarakat yang pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas nasional.

Persoalan lain yang penting untuk diperhatikan adalah masalah ruang yang dilihat sebagai tempat berlangsungnya interaksi sosial, yang mencakup manusia dengan seluruh kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya dengan ekosistemnya, seperti sumberdaya alam dan sumberdaya buatan berlangsung. Ruang perlu ditata agar dapat memelihara keseimbangan lingkungan dan memberikan dukungan yang nyaman terhadap manusia serta mahluk hidup lainnya dalam melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya secara optimal.

Undang-Undang No.26/2007 tentang Penataan Ruang mengisyaratkan, agar setiap daerah kota menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah Kota sebagai pedoman dalam pemanfaatan ruang bagi setiap kegiatan pembangunan. Rencana Tata Ruang (RTR) merupakan rencana pemanfaatan ruang dalam suatu kawasan yang disusun untuk menjaga keserasian pembangunan antar sektor dalam rangka penyusunan dan pengendalian program-program pembangunan perkotaan jangka panjang.

Fungsi RTR adalah untuk menjaga konsistensi perkembangan kawasan baik perkotaan ataupun perdesaan dengan strategi nasional dan arahan RTRW Provinsi dalam jangka panjang, menciptakan keserasian perkembangan kota dengan wilayah sekitarnya, serta menciptakan keterpaduan pembangunan sektoral dan daerah. Muatan RTR meliputi tujuan, rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang Kawasan Perkotaan, dan upaya-upaya pengelolaan kawasan lindung, kawasan budidaya, kawasan fungsional perkotaan, dan kawasan tertentu, serta pedoman pengendalian pembangunan Kawasan.

Dalam pelaksanaannya, RTR yang selayaknya menghasilkan suatu kondisi yang ideal, ternyata masih sulit terwujud. Salah satu penyebabnya adalah masalah yang terkait dengan ruang daratan, yaitu tanah yang sebagian besar telah dikuasai, dimiliki, digunakan, dan






dimanfaatkan baik oleh perorangan, masyarakat, badan hukum, maupun pemerintah. Hal ini berakibat pada langkanya lahan dan mahalnya harga tanah, sehingga banyak pengembang yang memilih membeli lahan di daerah sub urban yang biasanya merupakan alih fungsi dari lahan pertanian. Hal ini selain berpotensi menimbulkan permasalahan baru, seperti transportasi, ketidaksiapan infrastruktur, ketidaksesuaian dengan RTRW, juga berpotensi mengganggu program swasembada pangan Nasional.

Hal ini memerlukan konsolidasi tanah, yaitu kebijakan pertanahan mengenai penataan kembali penguasaan, pemilikan, dan penggunaan tanah agar sesuai dengan RTRW, serta usaha-usaha pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan yang bertujuan meningkatkan kualitas lingkungan hidup/pemeliharaan sumber daya alam, dengan melibatkan partisipasi masyarakat secara langsung, baik di kawasan perkotaan maupun perdesaan. Konsolidasi tanah ini bertujuannya untuk mencapai pemanfaatan tanah secara optimal, melalui peningkatan efisiensi dan produktifitas penggunaan tanah dengan sasaran untuk mewujudkan suatu tatanan penguasaan dan penggunaan tanah yang tertib dan teratur, dalam arti untuk pengembangan kawasan baru maupun pembangunan kawasan kota (urban renewal).

Dalam kaitan pembangunan kawasan perumahan dan permukiman, konsolidasi tanah diperlukan agar dapat memenuhi kebutuhan akan adanya (a) lingkungan permukiman yang teratur, tertib, dan sehat; (b) kesempatan kepada pemilik tanah untuk menikmati secara langsung keuntungan konsolidasi tanah, baik kenaikan harga tanah maupun kenikmatan lainnya karena terciptanya lingkungan yang teratur; (c) terhindar dari ekses-ekses yang sering timbul dalam penyediaan tanah secara konvensional; (d) percepatan laju pembangunan wilayah permukiman; dan (e) tertib administrasi pertanahan serta menghemat pengeluaran dana Pemerintah untuk biaya pembangunan prasarana, fasilitas umum, ganti rugi, dan operasional.






2.  Identifikasi Masalah

Permasalahan utama di bidang Perumahan Rakyat adalah besarnya backlog perumahan nasional yang telah mencapai angka lebih dari 8 juta unit rumah, lemahnya daya beli masyarakat (yang meningkatkan ketergantungan pada subsidi), minimnya dukungan perbankan, keterbatasan dukungan APBN, kurangnya koordinasi lintas sektoral dan lintas wilayah dalam menyiapkan infrastruktur pendukung, panjangnya birokrasi terkait perijinan perumahan.

Demikian pula dengan lemahnya daya beli masyarakat tercermin pada masih rendahnya pendapatan per kapita nasional (US$ 2.271,2 atau Rp 21,7 juta per kapita – data tahun 2008 BPS). Pendapatan tersebut masih harus dibagi dengan kebutuhan lainnya seperti pangan, sandang, transportasi, pendidikan anak, kesehatan dan lain sebagainya. Hal ini diperparah dengan tingginya jumlah pekerja sektor informal yang biasanya tidak memiliki pendapatan tetap maupun hanya memiliki pendapatan di bawah standar. Akibatnya, ketergantungan masyarakat terhadap subsidi KPR dari Pemerintah menjadi tinggi. Sementara, alokasi subsidi yang dianggarkan pada tahun 2009 hanya Rp 2,5 Trilyun dan 2010 sebesar Rp 3,099 Trilyun atau hanya sekitar 0,25% dari total nilai APBN. Idealnya dialokasikan nilai subsidi tersebut paling tidak 1% dari total nilai Anggaran Nasional.

Dengan demikian, permasalahan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembangunan perumahan dan permukiman, terutama menyangkut penerapan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, dapat dirinci sebagai berikut:

1.     Hanya mengatur aspek-aspek teknis dan kurang memperhatikan aspek administratif.

2.     Asas kesejahteraan belum tercermin dan diperlukan definisi kesejahteraan dalam konteks perumahan dan permukiman.
3.     Tidak jelasnya tugas dan kewenangan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan Perumahan dan Permukiman.






4.     Peran serta masyarakat belum diatur secara konkrit.

5.     Sanksi pidana hanya ditujukan kepada pelaku dan penyelenggara, belum ada pengaturan mengenai penggunaan dan pengelolaan, serta pengawasan dan pengendalian.


3.  Tujuan dan Kegunaan

Tujuan dari penyusunan Naskah Akademis ini adalah:

1.    Untuk melakukan penyempurnaan terhadap Undang-undang Perumahan dan Permukiman yang mengatur tentang segala aspek subtansi perumahan dan permukiman.

2.    Sebagai landasan ilmiah yang dapat memberikan arah dan menetapkan ruang lingkup bagi penyusunan RUU tentang

Perumahan dan Permukiman

Adapun Kegunaan penyusunan Naskah Akademis ini adalah:

1.    Memberikan kerangka perumusan ketentuan atau pasal-pasal dari RUU tentang Perumahan dan Permukiman.

2.    Sebagai bahan masukan dalam pembahasan RUU tentang Perumahan dan Permukiman antara DPR dan Pemerintah.


4.    Metode Pendekatan

Metode Pendekatan dalam penyusunan naskah akademik ini dilakukan dengan metode yuridis normatif dan yuridis empiris. Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi dokumen atau literatur (data sekunder), dengan cara mengumpulkan informasi melalui peraturan perundang-undangan, data-data tertulis, buku-buku, hasil seminar, hasil penelitian, pengkajian dan tulisan atau referensi lain, serta penelusuran data, dan informasi melalui website, yang berkaitan dengan perumahan dan permukiman.

Adapun metode yuridis empirik dilakukan dengan pengkajian dan menelaah data primer yang diperoleh secara langsung dari masyarakat melalui pengamatan (observasi), wawancara, mendengar






pendapat para nara sumber/ahli. Data primer antara lain diperoleh melalui pengumpulan data di lapangan di Provinsi Sulawesi Utara dan Provinsi Bali.

Data sekunder yang sudah diperoleh dianalisis secara kualitatif dan selanjutnya data primer diperlukan dalam rangka penunjang untuk mengkonfirmasi data sekunder.


E. Alur Pikir Naskah Akademik


























Landasan FiIosofis


Tinjauan Yuridis


·   Isu yang muncul sebagai dasar pertimbangan penyusunan Perubahan RUU

·   Pertumbuhan permukiman kumuh yang tidak terkendali

·    Desentralisasi

·   Globalisasi


Penjelasan tentang Kebijakan
pembangunan permahan dan

permukiman selama ini



Urgensi Penyusunan RUU


Landasan Teori dan Konsep


NASKAH AKADEMIS DAN
RUU PERUMAHAN DAN                          Landasan Sosiologis
PERMUKIMAN


Definisi atau batasan Pengertian



Asas dan Prinsip








Materi Muatan Undang-undang

Perumahan dan Permukiman














BAB II

URGENSI PERUBAHAN




A.  Umum

Rumah merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang akan terus ada dan berkembang sesuai dengan tahapan atau siklus kehidupan manusia. Selain sebagai pelindung terhadap gangguan alam maupun cuaca serta makhluk lainnya, rumah juga memiliki fungsi sosial sebagai pusat pendidikan keluarga, persemaian budaya, nilai kehidupan, penyiapan generasi muda, dan sebagai manifestasi jati diri. Dalam kerangka hubungan ekologis antara manusia dan lingkungan pemukimannya, maka terlihat bahwa kualitas sumber daya manusia di masa yang akan datang sangat dipengaruhi oleh kualitas perumahan dan pemukiman dimana manusia menempatinya. Perumahan dan permukiman merupakan salah satu faktor strategis dalam upaya membangun manusia seutuhnya, yang memiliki kesadaran untuk selalu menjalin hubungan antara sesama manusia, lingkungan tempat tinggal, berperan sebagai pendukung terselenggaranya pendidikan keluarga, dan senantiasa bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia idealnya dapat dimiliki oleh setiap keluarga dengan kondisi yang layak. Namun hal ini sulit diwujudkan, terlebih bagi Indonesia yang jumlah penduduknya merupakan salah satu yang terbesar di dunia, Pemenuhan kebutuhan akan rumah bagi masyarakat tidaklah mudah, terutama mereka yang tinggal di daerah padat penduduk diperkotaan. Upaya pengadaan perumahan tidak harus diwujudkan dalam pemilikan rumah, akan tetapi sekurang-kurangnya dapat diwujudkan dalam mendapatkan kesempatan mempergunakan rumah antara lain dengan cara sewa. Pengadaan perumahan khususnya di daerah padat penduduk perlu memperhatikan







keterbatasan lahan sehingga prasarana pembangunan rumah susun dapat menjadi salah satu alternatif.

Perbaikan mutu hidup masyarakat yang diwujudkan melalui pembangunan nasional harus diikuti dan disertai secara seimbang dengan perbaikan mutu perumahan. Perbaikan bukan saja, dalam pengertian kuantitatif, tetapi juga kualitatif dengan memungkinkan terselenggaranya perumahan yang sesuai dengan hakekat dan fungsinya.

Pembangunan perumahan dan pemukiman menghadapi tantangan yang semakin kompleks dan belum seluruhnya terakomodasi dalam pengembangan kawasan. Isu strategis yang kini dihadapi oleh pembangunan perumahan dan pemukiman adalah meningkatnya kebutuhan lahan bagi perumahan dan pemukiman diperkotaan yang cenderung mahal. Hal ini disebabkan antara lain karena peningkatan fungsi kawasan, kebutuhan rumah per-tahun bagi rumah tangga baru yang akan memasuki pasar perumahan, pencanangan program pemerintah 1000 menara rumah susun sederhana, perumahan kumuh diperkotaan, dan implementasi konsep lingkungan hunian berimbang yang aturannya telah dikeluarkannya sejak tahun 1992 tetapi belum dimantapkan.
Pembangunan di bidang perumahan dan permukiman yang bertumpu pada masyarakat memberikan hak dan kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk berperan serta. Sejalan dengan peran serta masyarakat di dalam pembangunan perumahan dan permukiman pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk melakukan pembinaan dalam wujud pengaturan dan pembimbingan, pendidikan dan pelatihan, pemberian bantuan dan kemudahan, penelitian dan pengembangan yang meliputi berbagai aspek yang terkait antara lain tata ruang, pertanahan, prasarana lingkungan, industri bahan dan komponen, jasa konstruksi dan rancang bangun, pembiayaan, kelembagaan, sumber daya manusia, serta peraturan perundang-undangan yang mendukung.







Pembangunan perumahan dan permukiman harus mampu memperluas kesempatan usaha dan lapangan kerja serta mendorong berkembangnya industri bahan bangunan murah yang memenuhi syarat teknis dan kesehatan serta terbuat dari bahan dalam negeri. Kualitas tenaga pembangunan perumahan dan permukiman perlu ditingkatkan dan kelembagaannya perlu dimantapkan.

Penciptaan lingkungan perumahan dan permukiman yang layak, bersih, sehat, dan aman perlu ditingkatkan melalui regulasi yang menjamin penyediaan dan pengelolaan air bersih, fasilitas sosial dan ibadah, fasilitas ekonomi dan transportasi, fasilitas rekreasi dan olahraga, serta prasarana lingkungan termasuk fasilitas air limbah, disertai upaya peningkatan kesadaran dan tanggungjawab warga masyarakat agar makin banyak masyarakat yang mendiami rumah sehat dalam lingkungan yang sehat.




B.  Khusus

1.    Meskipun pembangunan perumahan dan permukiman di Indonesia dinilai telah mencapai keberhasilan melalui kebijakan pembangunan perumahan massal yang dikenal sebagai pola pasokan yang diawali dengan penugasan kepada Perum Perumnas untuk menyediakan perumahan sederhana pada tahun 1974, dan kemudian dikembangkan oleh para pengembang swasta yang hanya melayani masyarakat golongan menengah ke atas, namun masih sekitar 85% perumahan baru dibangun oleh sektor informal setiap tahunnya.

2.    Sistem penyelenggaraan di bidang perumahan dan permukiman dinilai masih belum cukup optimal, baik di tingkat pusat, wilayah, maupun lokal ditinjau dari segi sumber daya manusia, organisasi, tata laksana, dan dukungan sarana serta prasarana.
3.    Pelayanan dan akses terhadap hak atas tanah untuk perumahan, khususnya bagi kelompok masyarakat miskin dan berpenghasilan






rendah. Kemampuan pemerintah daerah juga masih relatif terbatas untuk dapat melaksanakan secara efektif penyelenggaraan administrasi pertanahan yang dapat menjamin ketersediaan lahan, khususnya mengembangkan pasar lahan secara efisien dan pemanfaatan lahan yang berkelanjutan.

4.    Efisiensi pasar perumahan, seperti ditunjukkan melalui kondisi dan proses perizinan pembangunan perumahan dan sertifikasi hak atas tanah yang masih memprihatinkan, relatif mahal, dan kurang transparan, belum adanya standarisasi dokumen KPR, seleksi nasabah, penilaian kredit, dan dokumen terkait lainnya, serta proses sita jaminan yang masih berlarut-larut, ikut mempengaruhi ketidakpastian pasar perumahan. Untuk lebih menjamin pasar perumahan yang efisien, perlu dihindari intervensi yang mengganggu penyediaan dan menyebabkan distorsi permintaan perumahan, termasuk pasar sewa perumahan dengan mengingat kebutuhan khusus dari kelompok masyarakat yang rentan.

5.    Tingginya kebutuhan perumahan yang layak dan terjangkau masih belum dapat diimbangi, karena terbatasnya kemampuan penyediaan, baik oleh masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah. Secara nasional kebutuhan perumahan masih relatif besar, sebagai gambaran status kebutuhan perumahan berdasarkan hasi Survey Sosial Ekonomi Nasional tahun 2004, terdapat 55 juta keluarga dari jumlah penduduk indonesia sebesar 217 juta jiwa 5,9 juta keluarga belum memiliki rumah, sementara setiap tahun terjadi penambahan kebutuhan rumah akibat penambahan keluarga baru rata-rata sekitar 820.000 unit rumah. Selain itu masih terdapat 3,1 juta keluarga atau 12,5 juta tidak layak. Sementara itu terdapat pula 17,2 juta jiwa yang tinggal di 10.065 lokasi dengan luasan mencapai 54.000 Ha (Renstra Kementerian Negara Perumahan Rakyat Tahun 2005-2009).







6.    Ketidakmampuan masyarakat berpenghasilan rendah untuk mendapatkan rumah yang layak dan terjangkau serta memenuhi standar lingkungan permukiman yang respontif (sehat, aman, harmonis dan berkelanjutan). Hal ini disebabkan, karena terbatasnya akses terhadap sumber daya kunci termasuk informasi, terutama yang berkaitan dengan pertanahan dan pembiayaan perumahan.

7.    Belum  tersedianya  dana  jangka  panjang  bagi  pembiayaan

perumahan          yang    menyebabkan   terjadinya                                   ketidaksesuaian

pendanaan dalam pengadaan perumahan. Di samping itu, sistem dan mekanisme subsidi perumahan bagi kelompok masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah masih perlu diupayakan, baik melalui mekanisme pasar formal maupun melalui mekanisme perumahan yang bertumpu pada keswadayaan masyarakat. Mobilisasi sumber-sumber pembiayaan perumahan perlu diefektifkan dengan mengintegrasikan pembiayaan perumahan kedalam sistem pembiayaan yang lebih luas dan memanfaatkan

instrumen yang ada atau mengembangkan yang lebih memperhatikan kebutuhan pembiayaan bagi penduduk yang mempunyai keterbatasan akses kredit kepada perbankan.

8.    Secara fungsional, sebagian besar kualitas perumahan dan permukiman masih terbatas dan belum memenuhi standar pelayanan yang memadai sesuai skala kawasan yang ditetapkan, baik sebagai kawasan perumahan maupun sebagai kawasan permukiman yang berkelanjutan. Masih banyak kawasan yang belum cukup dilengkapi dengan prasarana dan sarana pendukung,

seperti saluran pembuangan air hujan ruang terbuka hijau, lapangan olah raga, tempat usaha dan perdagangan, fasilitas sosial dan fasilitas umum, disamping masih adanya terbatasnya utilitas umum terutama air bersih.







9.    Secara fisik lingkungan, masih banyak ditemui kawasan perumahan dan permukiman yang telah melebihi daya tampung dan daya dukungnya, menghadapi dampak saling keterkaitkannya dengan kawasan lain disekelilingnya, serta masalah keterpaduannya dengan sistem prasarana dan sarana, baik perkotaan maupun perdesaan. Dampak dari menurunnya daya dukung lingkungan diantaranya adalah meningkatnya lingkungan permukiman kumuh pertahunnya. Adanya perubahan fungsi lahan untuk mengakomodasi kebutuhan perumahan dan permukiman serta proses urbanisasi juga berdampak terhadap lingkungan, termasuk segi keragaman hayati, dan timbulnya kesenjangan dan yang tidak selalu di antisipasi.

10. Secara visual wujud lingkungan, juga terdapat kecenderungan yang kurang positif bahwa sebagian kawasan perumahan dan permukiman telah bergeser menjadi tidak teratur, kurang berjatidiri, kurang memperhatikan nilai- nilai kontekstual yang baik, dan benar. Selain itu, kawasan yang baru di bangun juga tidak secara berkelanjutan di jaga penataannya, sehingga secara potensial dapat menjadi kawasan kumuh baru. Perumahan dan permukiman yang spesifik, unik, tradisional dan bersejarah juga mungkin rawan keberlanjutannya, padahal merupakan asset budaya bangsa yang perlu di jaga kelestariannya.


C. Pengaturan Saat Ini

Kendatipun Pemerintah saat ini telah melakukan pengaturan terhadap perumahan dan permukiman melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, dan khusus mengenai pengelolaan rumah susun dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985. Dalam praktiknya, kedua Undang-Undang ini kurang memenuhi tujuan dari pembentukkannya untuk peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat serta mewujudkan perumahan dan permukiman





yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur, disamping itu juga belum adanya ketentuan mengenai tugas dan kewenangan Pemerintah Daerah dalam penyelenggara perumahan dan permukiman.

Berbagai apermasalahan yang muncul selama 18 (delapan belas) tahun berlakunya undang-undang tentang perumahan dan permukiman, diantaranya adalah :

a. Meningkatnya kebutuhan lahan bagi pembangunan perumahan seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk;
b. Semakin terbatasnya luas lahan, dan mahalnya harga tanah, terutama di wilayah perkotaan;

c. Semakin maraknya permukiman kumuh di daerah perkotaan, tidak diikuti dengan kebijakan dan pengaturan untuk memperbaiki kawasan kumuh, khususnya di lingkungan perkotaan.
d. Pemanfaatan lahan perumahan dan permukiman belum memberikan rasa keadilan kepada penduduk berpenghasilan rendah sehingga selalu tersingkirke luar kota dan jauh dari tempat kerja.

e. Pemanfaatan ruang untuk perumahan dan permukiman belum serasi dengan pengembangan kawasan fungsional lainnya atau dengan program sektor/fasilitas pendukung lainnya.

f.  Ketidakseimbangan pembangunan desa – kota serta meningkatnya urbanisasi yang mengakibatkan permukiman kumuh dan berkembangnya masalah sosial di kawasan perkotaan.

g. Kebutuhan lahan untuk permukiman semakin meningkat seiring dengan terus meningkatnya jumlah penduduk. Tingginya laju pertumbuhan penduduk ini akan menimbulkan kebutuhan lahan perumahan dan permukiman yang sangat besar, sementara kemampuan Pemerintah sangat terbatas.






h. Pembangunan perumahan dan permukiman saat ini belum mampu memberdayakan peran masyarakat agar mampu memenuhi kebutuhan perumahannya sendiri yang sehat, aman, serasi, dan produktif tanpa merusak lingkungan hidup dan merugikan masyarakat luas.

i.     Belum jelasnya tugas dan kewenangan Pemerintah Daerah, baik itu pada tingkat propinsi, maupun kabupaten/kota dalam penyelenggaraan peruahan dan permukiman, yang berakibat pada lemahnya komitmen pemerintah dalam pengembangan kawasan perumahan dan permukiman;

j.     Belum memadainya penyediaan prasarana dan sarana dasar bagi perumahan dan permukiman;

k.   Belum terintegrasinya pengembangan perumahan dan permukiman dengan sistem jaringan prasana perkotaan;

l.     Pembangunan perumahan dan permukiman banyak diperuntukkan bagi golongan menengah ke atas;

m. Orientasi kebijakan dan pembangunan perumahan dan permukiman selama ini lebih terfokus pada penyediaan perumahan baru dan serta penyediaan pra-sarana dasar pada lingkungan permukiman secara selektif, tetapi kurang memperhatikan perbaikan dan pembinaan terhadap perkim yang sudah ada;

n.   Dalam hal penyediaan/pasokan perumahan baru, yang secara resminya ditujukan terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah, pada kenyataannya seringkali tidak tepat sasaran;

o.   Lemahnya pengawasan dan pengendalian proses alih fungsi lahan dalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman; dan


Dengan demikian, Undang-Undang No 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Permukiman dinilai tidak mampu lagi mengakomodasi







segala permasalahan yang berkembang baik saat ini maupun yang akan datang, sehingga perlu dilakukan penyempurnaan.


1.   Adanya Perubahan UUD 1945, khususnya Pasal 28H ayat (1), UU baru, dan sejumlah UU terkait yang telah diubah, sehingga sejumlah substansi pengaturan di dalam UU Perkim yang harus disinkronisasi dan diharmoniskan dengan UU terkait lainnya, seperti: UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU 26/2007

tentang Penataan Ruang, UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU 28/2002 tentang Bangunan dan Gedung.

2.   Berlakunya kebijakan otonomi daerah, menuntut pemerintah daerah berperan lebih aktif dalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman.

3.   Memberikan  dasar  hukum  bagi  pemerintah  daerah  dalam

melaksanakan tugas dan kewenangannya untuk penyelenggaraan perumahan dan permukiman.

4.   Mengantisipasi perkembangan konsep kawasan perumahan dan permukiman, yakni banyak kawasan hunian yang berbaur dengan kawasan perniagaan, bisnis, perkantoran, mall, dan lain sebagainya terutama di kota-kota besar, sehingga konsep mengenai lingkungan tempat tinggal sudah mulai bergeser, tidak hanya terfokus pada fungsi tempat tinggal, tetapi juga telah bergeser ke fungsi lainnya.

5.   Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman belum diatur secara jelas.


D.  Kondisi Yang Diharapkan

Undang-undang tentang perumahan dan permukiman ini diharapkan dapat menjadi affirmative action Negara yang memberikan jaminan dan memprioritaskan pengadaan perumahan dan permukiman





yang layak bagi masyarakat miskin berpenghasilan rendah, yang sampai saat ini terpinggirkankan oleh meluasnya penguasaan perumahan dan permukiman oleh pengembang besar. Salah satu bentuk affirmative action ini adalah adanya kebijakan pemberian kemudahan dan/atau bantuan kepada masyarakat berpenghasilan menengah bawah (MBM), termasuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) untuk memiliki rumah layak huni. Kemudahan dan/atau bantuan yang dapat diberikan oleh Pemerintah melalui penyediaan program fasilitas likuiditas yaitu berupa pemberian pinjaman kepada lembaga keuangan bank dengan tingkat suku bunga sangat lunak. Program tersebut diharapkan dapat menurunkan tingkat suku bunga KPR, khususnya KPRSH Bersubsidi.4

Tujuan pemberian subsidi perumahan pada dasarnya untuk meringankan beban angsuran debitur, karena subsidi yang diberikan oleh Pemerintah kepada masyarakat berpenghasilan menengah termasuk masyarakat berpenghasilan rendah umumnya berupa subsidi selisih bunga, artinya Pemerintah menanggung angsuran sebagian bunga KPR yang ditetapkan oleh bank. Namun demikian tujuan tersebut tidak sesuai sebagaimana yang diharapkan, selama ini debitur hanya mendapat bantuan dalam beberapa tahun pertama atau tidak sepanjang tenor pinjaman. Oleh karena itu, dalam upaya membantu lebih banyak lagi masyarakat berpenghasilan menengah termasuk masyarakat



4        Rezim tingkat suku bunga tinggi disebabkan karena adanya ketidaksesuaian (mismatch) antara masa tenor pinjaman dengan tenor pendanaan Bank, karena tenor pinjaman KPR umumnya membutuhkan waktu panjang. Sedangkan sumber dana Bank yang umumnya diperoleh dari dana pihak ketiga (masyarakat) yang sebagian besar didapat dari dana tabungan dan deposito. Apabila sumber dana jangka pendek digunakan untuk membiayai pinjaman dengan tenor panjang tentunya mempunyai tingkat risiko yang tinggi. Oleh karena itu, untuk menjaga agar masyarakat tetap menyimpan dananya dalam bank tersebut, pihak bank tentunya akan menawarkan tingkat suku bunga tabungan atau deposito yang menarik (tinggi). Hal itulah yang menjadi penyebab tingginya cost of capital bank dan secara langsung beban tersebut akan ditanggung oleh debitur yang meminjam dana ke bank tersebut, termasuk debitur KPR. Kondisi ini memberatkan debitur, karena selama jangka waktu yang panjang akan dibebani oleh kewajiban untuk membayar angsuran KPR yang besar.








berpenghasilan rendah untuk memiliki rumah, Pemerintah merasa perlu melakukan intervensi untuk menurunkan tingkat suku bunga KPRSH Bersubsidi dan mengingat intervensi yang dilakukan selama ini kurang berjalan efektif maka diperlukan cara lain untuk menurunkan tingkat suku bunga KPRSH Bersubsidi. Pemerintah menyadari permasalahan yang dihadapi oleh Bank penerbit KPR adalah karena tingginya Cost of Fund yang secara tidak langsung disebabkan oleh adanya mismatch antara masa tenor sumber pendanaan Bank dengan masa tenor pinjaman KPR.

Sehingga, diperlukan intervensi kepada Lembaga Keuangan Bank (LKB) berupa pemberian pinjaman sangat lunak (fasilitas likuiditas) dengan tenor yang disesuaikan dengan umur pinjaman. Agar fasilitas likuiditas tersebut sesuai dengan tujuannya, maka fasilitas tersebut hanya dapat dimanfaatkan bagi pembiayaan perumahan, baik untuk membiayai kredit konstruksi maupun KPR. Untuk mengelola fasilitas likuiditas ini, perlu dipertimbangkan sebuah lembaga yang sudah ada atau lembaga baru yang mengurusi pembiayaan perumahan dan permukiman yang dibentuk oleh Pemerintah. Dalam keadaan mendesak apabila diperlukan Pemerintah dapat membentuk Special Purpose Vehicle (SPV) atau lembaga lainnya yang diberi tugas dan kewenangan mengatur penggalangan, pemupukan dan pemanfaatan dana baik yang bersumber dari APBN, APBD, Bapertarum, YKPP, ASABRI, Jamsostek, Hibah/Bantuan luar negeri atau dana lainnya yang sah.

Disamping itu, melalui affirmative action ini juga diharapkan akan terjadi efisiensi dan efektivitas dalam pembangunan perumahan serta permukiman, baik di kawasan perkotaan maupun perdesaan. Pelaksanaannya harus dilakukan secara terpadu (sektornya, pembiayaannya, maupun pelakunya) berdasarkan suatu program jangka menengah lima tahunan yang disusun secara transparan dengan mengikutsertakan berbagai pihak yang terlibat (pemerintah, badan usaha,






dan masyarakat) berdasarkan suatu rencana tata ruang yang telah ditetapkan.

Perubahan terhadap undang-undang ini diharapkan dapat menjadi dasar bagi :

1.    Tersedianya rencana pembangunan perumahan dan permukiman yang aspiratif dan akomodatif, yang dapat diacu bersama oleh pelaku dan penyelenggara pembangunan, yang dituangkan dalam suatu Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman;

2.    Tersedianya skenario pembangunan perumahan dan permukiman yang memungkinkan terselenggaranya pembangunan secara tertib dan terorganisasi, serta terbuka peluang bagi masyarakat untuk berperan serta dalam seluruh prosesnya;
3.    Terakomodasinya kebutuhan akan perumahan dan permukiman yang dijamin oleh kepastian hukum, terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, disamping untuk mengatasi meluasnya daerah kumuh khususnya di perkotaan (City Slump), juga memberikan jaminan agar dapat dilakukan revitalisasi perumahan dan permukiman yang telah ada dengan menyediakan sarana dan prasarana dasar perumahan dan permukiman oleh pemerintah;
4.    Terciptanya pembangunan perumahan dan permukiman yang lebih berkeadilan, dengan menciptakan skema baru dalam pemberian subsidi Kredit Pemilikan Rumah yang lebih berpihak kepada Masyarakat Berpenghasilan Rendah maupun Masyarakat Berpenghasilan tidak tetap..

5.    Terciptanya kondisi yang dapat mendorong peningkatan peran swasta dalam penyediaan rumah murah bagi masyarakat berpenghasilan rendah, melalui skema pembiayaan kepemilikan rumah yang terjangkau.






BAB  III

LANDASAN PEMIKIRAN




A.   Landasan Filosofis

Kebutuhan akan rumah sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia akan terus ada dan berkembang sesuai dengan perkembangan peradaban. Perbaikan mutu perumahan yang diwujudkan melalui pembangunan nasional harus ditujukan untuk meningkatkan mutu kehidupan. Perbaikan tersebut bukan saja dalam pengertian kuantitatif, tetapi juga kualitatif dengan memungkinkan terselenggaranya perumahan yang sesuai dengan hakekat dan fungsinya.

Perumahan dan permukiman mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa, dan perlu dibina, serta dikembangkan demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan dan penghidupan masyarakat. Perumahan dan permukiman tidak dapat dilihat sebagai sarana kebutuhan kehidupan semata-mata, tetapi lebih dari itu merupakan proses bermukim manusia dalam menciptakan ruang kehidupan untuk memasyarakatkan dirinya, dan menampakkan jati diri. Oleh karena itu, perumahan dan pemukiman merupakan salah satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, yang memiliki kesadaran untuk selalu menjalin hubungan antar sesama manusia, lingkungan tempat tinggalnya dan senantiasa bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Penyelenggaraan perumahan dan permukiman diarahkan untuk mengusahakan dan mendorong terwujudnya kondisi setiap orang atau keluarga di Indonesia yang mampu bertanggung jawab di dalam memenuhi kebutuhan perumahannya yang layak dan terjangkau di dalam lingkungan permukiman yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan guna mendukung terwujudnya masyarakat serta lingkungan yang berjati diri, mandiri, dan produktif.






Mengacu kepada hakekat bahwa keberadaan rumah akan sangat menentukan kualitas masyarakat dan lingkungannya di masa depan, serta prinsip pemenuhan kebutuhan akan perumahan adalah merupakan tanggung jawab masyarakat sendiri, maka penempatan masyarakat sebagai pelaku utama dengan strategi pemberdayaan merupakan upaya yang sangat strategis. Sehingga harus melakukan pemberdayaan masyarakat dan para pelaku kunci lainnya di dalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman dengan mengoptimalkan pendayagunaan sumber daya pendukung penyelenggaraan perumahan dan permukiman.

Sementara pemerintah harus lebih berperan sebagai fasilitator dan pendorong dalam upaya pemberdayaan bagi berlangsungnya seluruh rangkaian proses penyelenggaraan perumahan dan permukiman demi terwujudnya keswadayaan masyarakat yang mampu memenuhi kebutuhan perumahan yang layak dan terjangkau secara mandiri sebagai salah satu upaya pemenuhan kebutuhan dasar manusia dalam rangka pengembangan jati diri, dan mendorong terwujudnya kualitas lingkungan permukiman yang sehat, aman, harmonis dan berkelanjutan, baik di perkotaan maupun di perdesaan


B.   Landasan Sosiologis

Rumah sebagai kebutuhan dasar manusia setelah pangan dan sandang, selain berfungsi sebagai pelindung terhadap gangguan alam, cuaca dan lain-lain, juga memiliki peran sosial budaya sebagai pusat pendidikan keluarga, persemaian nilai-nilai budaya dan pembentukan jati diri masyarakat atau bangsa.

Secara sosiologis rumah dilihat sebagai tempat suatu keluarga membentuk jati diri keluarga, dengan adanya rumah, keluarga menjadi mempunyai kebanggaan dan mempunyai jati diri. Berangkat dari keadaan itu dapat diharapkan suatu keluarga menjadi keluarga yang lebih sejahtera. Dalam padangan sosiologis oleh karenanya rumah dan permukiman seringkali dianggap dapat memberikan citra pada pemiliknya.





Tinggal di kawasan permukiman yang tertata dan mahal dapat menunjukkan status sosial tertentu.

Persoalan perumahan dan permukiman muncul dan akan bertambah buruk dapat disebabkan oleh beberapa faktor, namun alasan yang paling mendasar adalah bahwa perumahan diproduksi, dibiayai, dimiliki, dijalankan, dan dijual dengan tujuan untuk melayani kepentingan modal privat. Adanya rumah sebagai komoditas sektor privat menyebabkan pembangunan perumahan dan permukiman akan didominasi oleh stakeholder yang menggunakan berbagai cara dalam mengolah perumahan sebagai komoditas utamanya untuk meraih keuntungan. Para stakeholder tersebut mencakup pengembang real estate, kontraktor, produsen bahan bangunan, hipotik, dan penyedia perumahan lain seperti pemberi kredit rumah, investor, spekulan, tuan tanah, dan pemilik rumah itu sendiri. Konsekuensi yang harus ditanggung oleh konsumen antara lain tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk memiliki atau menempati rumah

Secara praktis, konsep yang sudah berkembang sebagai asas pelaksanaan pembangunan perumahan dan permukiman yang secara prinsip bertujuan memberdayakan komponen sosial masyarakat, usaha dan ekonomi, serta lingkungan, tetap dapat ditumbuhkembangkan sebagai pendekatan pembangunan perumahan dan permukiman yang berkelanjutan di tingkat lokal. Pendekatan ini dilakukan dengan memadukan kegiatan-kegiatan penyiapan dan pemberdayaan masyarakat, serta kegiatan pemberdayaan kegiatan usaha ekonomi komunitas dengan kegiatan pendayagunaan prasarana dan sarana dasar perumahan dan permukiman sebagai satu kesatuan sistem yang tidak terpisahkan.

Persoalan penyediaan perumahan sebenarnya lebih merupakan masalah lokal dan kebutuhan individual. Ini dapat ditunjukkan dengan besarnya peran swadaya masyarakat di dalam pengadaan perumahannya. Karenanya perlu pembatasan campur tangan pemerintah





dalam penanganan persoalan lokal melalui penyelenggaraan perumahan dan permukiman yang terdesentralisasi.


C.       Landasan Yuridis

Sebagai bagian dari masyarakat Internasional yang turut menandatangani Deklarasi Rio de Janeiro, Indonesia selalu aktif dalam kegiatan-kegiatan yang diprakarsai oleh United Nations Centre for Human Settlements (UNCHS Habitat). Jiwa dan semangat yang tertuang dalam Agenda 21 maupun Deklarasi Habitat II bahwa rumah merupakan kebutuhan dasar manusia dan menjadi hak bagi semua orang untuk menempati hunian yang layak dan terjangkau (adequate and affordable shelter for all).

Dalam Agenda 21 ditekankan pentingnya rumah sebagai hak asasi manusia, hal ini telah pula ditekankan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28H ayat (1) menyatakan “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 40 dinyatakan bahwa

Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang

layak”.

Sesuai dengan amanat Undang Undang Dasar Tahun 1945 tersebut telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1955 tentang Rumah Susun dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, dimana tujuan kedua Undang-Undang tersebut adalah sebagai dasar pengaturan bagi pemenuhan kebutuhan dasar manusia akan rumah, baik dalam bentuk rumah tinggal maupun rumah susun.

Selain dari landasan yuridis dari peraturan perundang-undangan di atas, untuk harmonisasi dalam penyusunan rancangan undang-undang ini harus juga melihat undang- undang yang terkait, sebagai berikut:
2





1.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

2.      Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.
3.      Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Rumah.

4.      Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

5.      Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi.

6.      Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia.

7.      Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

8.      Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.

9.      Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2003 tentang Sumber Daya Air.

10.   Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah di ubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008.

11.   Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
12.   Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan.

13.   Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

14.   Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.


Pencantuman undang-undang yang terkait dengan Perumahan dan Permukiman dimaksudkan untuk mengetahui kaitan antara norma-





norma yang akan diatur didalam Rancangan Undang-Undang Permukiman dan Perumahan dengan berbagai ketentuan undang-undang lain yang mengatur hal yang sama atau berkaitan, agar tercipta sinkronisasi dan harmonisasi bebagai aturan sehingga tidak terjadi benturan (tumpang tindih) dalam pengaturannya, baik undang-undang yang terkait baik secara langsung maupun tidak langsung dengan penyelenggaraan kegiatan perumahan dan permukiman.


D.   Asas dan Prinsip 1. Asas

Penyelenggaraan perumahan dan permukiman harus dilaksanakan sebagai satu kesatuan sistem, yang pelaksanaannya dapat dilakukan dengan memanfaatkan berbagai pendekatan yang relevan secara efektif, dan yang implementasinya dapat disesuaikan berdasarkan kondisi lokal yang ada. Asas dalam undang-undang ini adalah :


a. Pembangunan berkelanjutan

Pembangunan perumahan dan permukiman, yang memanfaatkan ruang terbesar dari kawasan baik di perkotaan maupun di perdesaan, merupakan kegiatan yang bersifat menerus. Karenanya pengelolaan pembangunan perumahan dan permukiman harus senantiasa memperhatikan ketersediaan sumber daya pendukung serta dampak akibat pembangunan tersebut. Dukungan sumber daya yang memadai, baik yang utama maupun penunjang diperlukan agar pembangunan dapat dilakukan secara berkelanjutan, disamping dampak pembangunan perumahan dan permukiman terhadap kelestarian lingkungan serta keseimbangan daya dukung lingkungannya yang harus senantiasa dipertimbangkan. Kesadaran tersebut harus dimulai sejak tahap perencanaan dan perancangan, pembangunan, sampai dengan tahap pengelolaan dan pengembangannya, agar arah perkembangannya tetap







selaras dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan secara ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Dalam kerangka itu, penyelenggaraan perumahan dan permukiman ingin menggarisbawahi bahwa permasalahannya selain menyangkut fisik perumahan dan permukiman juga terkait dengan penataan ruang. Di dalamnya termasuk pengadaan prasarana dan sarana lingkungan, serta utilitas umum untuk menunjang kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Hal ini diperlukan agar dapat mendorong terwujudnya keseimbangan antara pembangunan di perkotaan dan perdesaan, serta perkembangan yang terjadi dapat tumbuh secara selaras dan saling mendukung.

Dengan keseimbangan tersebut diharapkan perkembangan ruang-ruang permukiman responsif yang ada akan dapat ikut mengendalikan terjadinya migrasi penduduk.


Skematik Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan ekonomi

yang berkelanjutan








PERUMAHAN DAN

PERMUKIMAN



Pengelolaan Lingkungan
Pembangunan
Hidup
sosial

















b. Penyelenggaraan secara multisektoral

Pembangunan perumahan dan permukiman mencakup banyak kegiatan, antara lain pengalokasian ruang, penyediaan lahan, kelembagaan, kegiatan teknisteknologis, pembiayaan, dan sistem informasi. Disamping secara holistik, penyelenggaraan perumahan dan permukiman harus dilakukan secara multisektoral karena memerlukan koordinasi dengan berbagai bidang lain yang terkait dengan kegiatan pembangunan perumahan dan permukiman dan tidak dapat ditangani oleh satu sektor saja.


c. Desentralisasi

Dalam kerangka desentralisasi, penyelenggaraan perumahan dan permukiman tidak dapat terlepas dari agenda pelaksanaan tata pemerintahan yang baik di tingkat lokal, yaitu yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip partisipasi, transparansi, akuntabilitas, profesionalisme, kesetaraan, daya tanggap, wawasan kedepan, pengawasan, penegakan hukum, serta efisiensi dan efektivitas.

Sistem penyelenggaraan di bidang perumahan dan permukiman yang tertata rapi, baik di tingkat pusat, wilayah maupun lokal, baik ditinjau dari segi sumber daya manusia, organisasi, tata laksana, maupun dukungan prasarana serta sarananya. Prinsip desentralisasi juga memberikan tugas dan wewenang antara pemerintah pusat dalam hal kebijakan, dan pemerintah daerah dalam hal teknis penanganan dan sistem penyelenggaraan dibidang perumahan dan permukiman.

Dalam kaitan itu, melalui undang-undang ini diharapkan (a) desentralisasi yang efektif dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemeliharaan prasarana perumahan dan permukiman, (b) pemantapan wewenang dan tanggungjawab pemerintah daerah dalam pembiayaan prasarana perumahan dan permukiman, dan (c) peningkatan kemampuan pemerintah daerah dalam melaksanakan tanggungjawabnya.







d.    Pembangunan Berwawasan Kesehatan Lingkungan

Persoalan  kesehatan  lingkungan  perumahan  dan  permukiman

sangat mempengaruhi kualitas kesehatan masyarakat yang menghuninya. Selain secara fisik perumahan harus memenuhi syarat rumah sehat (kesehatan), perilaku hidup sehat dari masyarakat sangat penting dan strategis untuk terus didorong dan ditumbuhkembangkan dalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman. aktualisasi pembangunan yang berwawasan kesehatan sangat diperlukan dalam upaya penanganan permukiman kumuh, dan pencegahan terjadinya lingkungan yang tidak sehat serta menghambat penciptaan lingkungan permukiman yang responsif.


2.  Prinsip

Disamping asas yang menjadi dasar penyelenggaraan perumahan dan permukiman, kebijakan perumahan dan permukiman diselenggarakan dengan tiga prinsip pokok, yaitu


a.  Kesetaraan Mendapatkan Peluang Dan Akses

Salah satu masalah di dalam perkembangan dan pembangunan perumahan dan permukiman selama ini adalah ketidakadilan, konflik dan marjinalisasi/ pengucilan yang dirasakan kelompok oleh sebagian besar masyarakat yang rentan dan kurang berdaya. Sehingga, upaya yang perlu dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini adalah dengan memberdayakan kelompok masyarakat tersebut dengan mengembangkan proses-proses dan mekanisme yang bersifat adil dan setara untuk mendapatkan berbagai peluang dan akses di dalam pembangunan dan perkembangan PP, dan diberikannya hakhak yang setara untuk mendapatkannya.










b. Keseimbangan Pertumbuhan Makro Dan Mikro

Migrasi menunjukkan adanya perbedaan atau kesenjangan peluang antar tempat tinggal. Jika pertumbuhan dan pertambahan penduduk ingin diseimbangkan di antara berbagai jenis permukiman dan daerah serta pulau, maka yang perlu dilakukan adalah menciptakan kondisi agar semua tempat sama baiknya dalam memberikan peluang kepada penduduknya untuk hidup sejahtera.
Hal yang diperlukan untuk mencapai keseimbangan tata-ruang dan sekaligus mencapai keadilan di dalamnya adalah menciptakan keadilan tata ruang melalui penguatan ruang lokal, di mana masyarakat lokal memiliki identitas teritorial dan eksistensi dalam aspek ekonomi, sosial dan budaya; dan akuntabilitas penataan ruang, melalui rujukan-rujukan tata ruang yang terbuka atau transparan.


c. Reorientasi Pembangunan Dan Perkembangan Permukiman

Pengadaan perumahan harus dapat menjawab tumbuhnya permintaan atau tuntutan yang semakin beraneka ragam; tidak hanya terbatas pada menjawab menurut kebutuhan kategori kelompok pendapatan. Perumahan baru bagi masyarakat berpendapatan rendah semestinya tidak diorientasikan kepada tipe kecil, melainkan kepada upaya agar kebutuhan ruang kelompok ini dapat terpenuhi.
Kepranataan yang ada juga tidak secara signifikan mengakomodasi kebutuhan perkembangan lingkungan permukiman yang ada (the existing stock) sebagai potensi penting bagi pemenuhan kebutuhan perumahan dan sarana bagi proses transformasi sosial maupun rumah-rumah individual.















BAB IV

LANDASAN TEORI DAN KONSEP






A.  Pengertian Perumahan dan Permukiman

Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga, sedangkan pengertian perumahan merupakan kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan.

Adapun hal terkait lainnya dengan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Dalam kerangka hubungan ekologis antara manusia dan lingkungan permukimannya, maka terlihat bahwa kualitas sumber daya manusia di masa yang akan datang sangat dipengaruhi oleh kualitas perumahan dan permukiman dimana masyarakat tinggal menempatinya.

Perumahan berarti pula upaya untuk merumahkan atau menjamin terpenuhinya kebutuhan perumahan. Housing without houses, sebagai istilah yang sering dipakai dalam studi perumahan memiliki penafsiran sebagai urusan perumahan yang tidak selalu berarti rumah-rumah. Sedangkan housing the people juga memiliki arti yang kurang lebih sama, yaitu sebagai proses upaya panjang dari suatu bangsa untuk merumahkan seluruh warga masyarakatnya secara layak. Di dalam perjalanannya sejak didirikannya Kementerian (Muda) Perumahan Rakyat pertama kali pada tahun 1978, urusan perumahan dinamai sebagai Perumahan Rakyat. Perumahan rakyat di sini berarti bahwa negara memiliki tanggung jawab untuk merumahkan seluruh rakyat Indonsia secara layak. Hal ini





merupakan pemenuhan hak dasar warga masyarakat akan rumah yang layak sekaligus sebagai pelaksanaan amanat Konstitusi UUD 1945 pasal 28 H. Di dalam implementasinya, pemerintah berkewajiban menyelenggarakan urusan perumahan rakyat dengan tujuan untuk merumahkan seluruh rakyat secara layak.



B.    Agenda Global Sektor Perumahan dan Permukiman

Semangat yang tertuang dalam Agenda 21 maupun Deklarasi Habitat II, The Global Strategy for Shelter menekankan bahwa masalah hunian merupakan kebutuhan dasar manusia dan sebagai hak bagi semua orang untuk menempati hunian yang layak dan terjangkau (Shelter for All). Disamping itu, dalam Agenda 21 maupun Deklarasi Habitat II tersebut juga menyatakan perlunya pembangunan perumahan dan permukiman sebagai bagian dari proses pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Development) dan mengedepankan strategi perberdayaan (Enabling Strategy) dalam penyelenggaraan pembangunan perumahan dan permukiman.

Indonesia juga telah ikut menandatangani Deklarasi Cities Without Slums Initiative yang mengamanatkan pentingnya upaya perwujudan daerah perkotaan yang bebas dari permukiman kumuh. Deklarasi tersebut perlu ditindaklanjuti dengan langkah kongkrit dalam mewujudkan daerah perkotaan yang bebas dari permukiman kumuh yang mengedepankan strategi pemberdayaan melalui pelibatan seluruh unsur stakeholders dengan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama. Upaya penanganan permukiman kumuh ini adalah dalam rangka mewujudkan lingkungan permukiman yang sehat, aman, harmonis dan berkelanjutan serta terwujud masyarakat yang mandiri, produktif dan berjatidiri.












C.    Pendekatan Penyelenggaraan Perumahan dan Permukiman Penyelenggaraan perumahan dan permukiman harus dilaksanakan

sebagai satu kesatuan sistem, yang pelaksanaannya secara berkelanjutan dan dapat memanfaatkan berbagai pendekatan yang relevan dan implementasinya dapat disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat.

Pembangunan berkelanjutan dalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman dilaksanakan dengan pencapaian tujuan pembangunan lingkungan, pembangunan sosial dan pembangunan ekonomi. Secara praktis, konsep Pembangunan berkelanjutan, yang sudah berkembang sebagai asas pelaksanaan pembangunan perumahan dan permukiman, secara prinsip bertujuan memberdayakan masyarakat, secara sosial dan

ekonomi serta lingkungan. Pendekatan ini dilakukan dengan memadukan

kegiatan-kegiatan         penyiapan         dan         pemberdayaan                                                masyarakat,

pemberdayaan kegiatan usaha ekonomi, serta pendayagunaan prasarana dan sarana dasar perumahan dan permukiman sebagai satu kesatuan sistem yang tak terpisahkan.

Pembangunan perumahan dan permukiman, yang memanfaatkan ruang terbesar dari kawasan perkotaan, merupakan kegiatan yang bersifat berkelanjutan. Oleh karena itu, pengelolaan pembangunan perumahan

dan permukiman senantiasa memperhatikan ketersediaan     daya dukung

serta dampak terhadap kelestarian lingkungan. Kesadaran tersebut harus dimulai sejak tahap perencanaan, perancangan dan pelaksanaan

pembangunan, sampai dengan tahap pengelolaan dan pengembangannya, agar tetap selaras dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan secara ekonomi, sosial dan lingkungan.

Dalam kerangka itu penyelenggaraan perumahan dan permukiman termasuk tata ruang, pengadaan prasarana dan sarana lingkungan, serta utilitas umum untuk menunjang kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Hal ini diperlukan agar dapat mendorong terwujudnya keseimbangan pembangunan perkotaan dan perdesaan, agar dapat tumbuh secara selaras dan saling mendukung. Dengan keseimbangan tersebut dapat






diharapkan perkembangan ruang-ruang permukiman yang responsif turut mengendalikan terjadinya migrasi penduduk. Oleh karenanya, diperlukan pengembangan perencanaan dan perancangan, serta pembangunan perumahan dan permukiman yang kontributif terhadap pencapaian penataan ruang yang disusun secara transparan dan partisipatif serta memberdayakan masyarakat sebagai pelaku utama.

Penyelenggaraan perumahan dan permukiman juga dengan pengembangan sistem insentif. Sebab persoalan perumahan dan permukiman merupakan persoalan strategis, namun belum mendapat perhatian yang cukup berarti dari berbagai kalangan. Karenanya, untuk memacu laju pembangunan perumahan dan permukiman, di dalam penyelenggaraannya dikembangkan sistem insentif, untuk mampu mendorong berbagai pelaku pembangunan, baik lembaga formal maupun lembaga informal untuk terlibat secara aktif. Upaya yang dikembangkan antara lain, melalui kegiatan program stimulan, perintisan, dukungan pembiayaan, dan bantuan teknis bagi pelaku pembangunan yang responsif dalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman, termasuk kegiatan pendampingan dalam penyiapan dan pemberdayaan masyarakat.


D.  Keterkaitan    Perumahan    dan  Permukiman dengan Lingkungan

Hidup dan Penataan Ruang

Pengaturan perumahan dan permukiman merupakan salah satu fase/tahap pengaturan dari beberapa fase pengaturan lingkungan hidup dimulai dari pengaturan lingkungan hidup secara global, pengaturan lingkungan hidup secara nasional, pengaturan lingkungan hidup secara sub nasional, dan pengaturan lingkungan hidup secara lokal. Pengaturan lingkungan hidup secara global dilakukan oleh sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam bentuk deklarasi yang mengikat negara-negara anggota yang meratifikasinya.





Dalam konteks Indonesia ada dua undang-undang yang mengatur lingkungan hidup secara nasional yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang telah di ubah pada tahun 2003 dan terakhir di ubah menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, sebagaimana telah di ubah menjadi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007.

Tujuan utama pengelolaan lingkungan hidup menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 adalah memberikan perlindungan terhadap wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia, menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem, menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup, mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup, menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan, menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia, mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana, mewujudkan pembangunan berkelanjutan, serta mengantisipasi isu lingkungan global. Dengan demikian, penyelenggaraan kegiatan harus berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Adapun tujuan penyelenggaraan penataan ruang adalah untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional yang harmonis antara lingkungan alam dan lingkungan buatan, terpadu dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan, serta perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan. Penataan ruang dilakukan dalam beberapa tingkatan dengan tingkat kerincian yang berbeda. Penataan ruang nasional, yang masih sangat makro, mencakup seluruh wilayah Negara dan menjadi wewenang Pemerintah. Berpedoman pada rencana tata ruang nasional dilakukan





penataan ruang wilayah provinsi. Selanjutnya berpedoman pada rencana tata ruang nasional dan rencana tata ruang provinsi dilakukan penataan ruang wilayah kabupaten/kota yang menjadi wewenang pemerintah kabupaten dan kota.

Kawasan permukiman memiliki berbagai komponen antara lain kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan perdagangan, kawasan perkantoran, kawasan pelabuhan, kawasan pariwisata. Untuk penyelenggaraan kawasan masing-masing baik yang merupakan bagian dari kawasan permukiman maupun yang berdiri sendiri dapat diatur dengan undang-undang sendiri. Karena masing-masing kawasan mempunyai manfaat dan kebutuhan serta persyaratan berbeda juga berdampak pada lingkungan tersebut. Setelah itu diperlukan pengaturan yang lebih teknis berupa pengaturan rencana teknis ruang dan aspek teknis bangunannya baik bangunan gedung maupun bukan gedung. Kawasan permukiman dapat memiliki berbagai kawasan peruntukan, seperti kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan perdagangan, kawasan perkantoran, kawasan pelabuhan, dan kawasan pariwisata. Undang-Undang yang mengatur penyelenggaraan kawasan permukiman bertujuan agar seluruh kegiatan kehidupan dan penghidupan yang terjadi di dalamnya dapat berjalan dengan baik, lancar, aman, tertib, efektif dan efisien.

Sementara dalam Peraturan Pemerintah nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, membagi kawasan budidaya kedalam kawasan hutan produksi, kawasan hutan rakyat, kawasan pertanian, kawasan pertambangan, kawasan industri, kawasan pariwisata dan kawasan permukiman.

Pengaturan penyelenggaraan permukiman merupakan transisi antara pengaturan penataan ruang dan pengelolaan lingkungan hidup dengan pengaturan penyelenggaraan bangunan tempat berbagai kegiatan. Pengaturan penataan ruangnya dilakukan pada tingkat pengaturan pola pemanfaatan ruang secara garis besar. Pengaturan





bangunannya mencakup jaringan primer prasarana yang menggambarkan hubungan antar berbagai kawasan peruntukan, yang meliputi jaringan jalan primer dan arteri sekunder, saluran primer pembuangan air hujan dan air limbah, serta tempat pembuangan akhir sampah. Pengaturan yang lebih rinci dan lengkap dilakukan untuk masing-masing jenis kawasan peruntukan, karena masing-masing jenis kawasan peruntukan mempunyai manfaat dan kebutuhan serta persyaratan yang berbeda. Dampak terhadap lingkungan hidup disekitarnyapun berbeda pula. Namun tidak menutup kemungkinan untuk menggabung pengaturan penyelenggaraan permukiman dan pengaturan penyelenggaraan kawasan peruntukan dalam satu undang-undang. Karena kegiatan utama dalam penyelenggaraan permukiman pada dasarnya adalah penataan ruang berupa perencanaan lokasi pemanfaatan ruang dan keterkaitan antar berbagai lokasi pemanfaatan ruang.

Pemanfaatan ruang tidak lain dari penyelenggaraan berbagai kegiatan di lokasi-lokasi yang ditetapkan dalam rencana tata ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah pengendalian kegiatan, oleh pemerintah daerah, agar sesuai dengan peruntukan dalam rencana tata ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang dimulai dengan penertiban izin pemanfaatan ruang atau izin lokasi yang memuat persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemanfaatan ruang. Diikuti dengan pemantauan pemanfaatan ruang untuk mengetahui ada tidaknya pelanggaran terhadap persyaratan yang ditentukan dalam izin pemanfaatan ruang. Jika ada pelanggaran, pemerintah daerah harus mengambil langkah agar pemanfaat ruang kembali mengikuti persyaratan dalam izin pemanfaatan ruang dan jika dianggap perlu mengenakan sanksi untuk pelanggaran yang tidak sesuai dengan pemanfaatan ruang.


F.      Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan dan Permukiman Kebijakan dan strategi nasional penyelenggaraan perumahan dan

permukiman  bersifat  struktural,  sehingga  secara  nasional  diharapkan






dapat berlaku dalam rentang waktu yang cukup agar dapat mengakomodasikan berbagai ragam kontekstual masing-masing daerah, dan dapat memudahkan penjabaran yang sistematik pada tingkat yang lebih operasional oleh para pelaku pembangunan di bidang perumahan dan permukiman, baik dalam bentuk rencana, program, proyek maupun kegiatan. Kebijakan nasional yang dirumuskan terdiri atas 3 (tiga) struktur pokok, yaitu berkaitan kelembagaan, pemenuhan kebutuhan perumahan, dan pencapaian kualitas permukiman. Sedangkan strategi untuk melaksanakan kegiatan dirumuskan terutama untuk dapat mencapai secara signifikan substansi strategis dari masing-masing kebijakan.

Penyelenggaraan perumahan dan permukiman yang berbasis pada pelibatan masyarakat sebagai pelaku utama harus dapat dilembagakan secara berkelanjutan sampai pada tingkat komunitas lokal, dan di dukung secara efektif oleh sistem wilayah/regional dan sistem pusat/nasional. Untuk mengaktualisasikan pelaksanaan misi pemberdayaan, diperlukan keberadaan lembaga penyelenggaraan perumahan dan permukiman yang dapat melaksanakan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Upaya kelembagaan sistem penyelenggaraan perumahan dan permukiman tersebut dapat dilakukan seluruh unsur pelaku pembangunan, yakni pemerintah, dunia usaha maupun masyarakat yang berkepentingan di bidang perumahan dan permukiman, baik di tingkat nasional, regional maupun lokal.

Berbagai produk pengaturan dalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman harus mampu mendukung upaya pemberdayaan, peningkatan kapasitas dan peran masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah serta pemerintah daerah sesuai dengan tuntutan Otonomi Daerah. Produk pengaturan diharapkan dapat memandu pengendalian pemanfaatan ruang perumahan dan permukiman yang sesuai dengan rancangan kawasan perumahan dan permukiman, serta program-program pemanfaatan ruangnya. Pedoman teknis perencanaan dan perancangan kawasan perumahan dan permukiman harus mampu menampung





panduan proses yang partisipatif dan transparan, serta mampu memberdayakan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan. Penyusunan dan pengembangan produk pengaturan untuk mendukung penyelenggaraan perumahan dan permukiman juga diarahkan untuk mengoptimalisasi fungsi, kewajiban dan peran-peran dari lembaga-lembaga perumahan dan permukiman, dengan prioritas di tingkat kota dan masyarakat.

Untuk pelaksanaan di daerah, maka penjabaran kebijakan dan strategi penyelenggaraan perumahan dan permukiman, serta produk-produk pengaturan yang telah disesuaikan dengan kondisi di daerah perlu ditindaklanjuti dengan peraturan daerah. Peraturan daerah diperlukan untuk mendorong pelembagaan sistem secara berlanjut di tingkat lokal, demi ketertiban hukum dan melindungi nilai-nilai positif (kearifan lokal) sebagai pedoman di dalam penyelenggaraan pembangunan, dalam penyusunan program pembangunan, proses pengendalian dan pelaksanaan pembangunan. Dalam perwujudan pola-pola pemanfaatan ruang, khususnya ruang untuk perumahan dan permukiman, aspek bangunan gedung secara keseluruhan dengan lingkungannya merupakan generator untuk perwujudan kualitas permukiman yang berkelanjutan. Pengaturan bangunan gedung dan lingkungannya, baik fungsi usaha, sosial budaya, fungsi khusus, dan fungsi hunian termasuk perumahan, sangat signifikan di dalam memberikan kontribusi keseimbangan dan keragaman fungsi lingkungan binaan yang produktif, baik di perkotaan maupun perdesaan.

Perkembangan ilmu, seni dan teknologi bangunan gedung telah ikut mendorong pertumbuhan perumahan yang lebih beragam bahkan sudah mulai tumbuh vertikal. Perkembangan konsep-konsep penataan bangunan gedung dan lingkungan atau kawasan juga semakin mewarnai dinamika pertumbuhan konsep penataan perumahan dan permukiman. Namun demikian, untuk lebih mampu mencegah berkembangnya dampak negatif pembangunan, pengawasan konstruksi dan keselamatan





bangunan gedung perlu semakin dilembagakan sampai dengan tingkat lokal untuk lebih menjamin terwujudnya perumahan dan permukiman yang lebih layak huni, berjatidiri dan produktif.

Upaya pemenuhan perumahan dengan mekanisme pasar formal relatif kecil mencapai 15%, sedangkan sekitar 85% masih dipenuhi sendiri oleh masyarakat secara swadaya melalui mekanisme informal. Berkaitan dengan hal tersebut, peningkatan peran masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan huniannya melalui pembangunan perumahan, baik berupa pembangunan baru maupun peningkatan kualitas (pemugaran dan perbaikan) yang mengandalkan potensi keswadayaan masyarakat, menjadi sangat penting dan strategis untuk mewujudkan perumahan yang layak huni. Namun penyelenggaraan pembangunan perumahan swadaya secara individual sering kurang optimal di dalam memenuhi kebutuhan perumahan yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana dasar lingkungan perumahan yang memadai.
Dengan membentuk kelompok, maka masyarakat akan dapat menggalang kemampuan secara bersama untuk mengatur rencana pemenuhan kebutuhan perumahan dan pembangunan prasarana serta sarana lingkungannya. Selain itu, kebersamaan dalam membangun kemampuan kelompok, akan lebih bermanfaat dalam mengakses sumber daya kunci bidang perumahan, seperti akses kepada kepengurusan hak atas tanah, perizinan serta akses pembiayaan perumahan yang relatif lebih baik. Oleh karena itu, berbagai upaya untuk menyediakan kemudahan akses terkait dengan bidang perumahan dan permukiman ini perlu terus dikembangkan.

Peningkatan kapasitas dan kemampuan masyarakat di dalam pengembangan perumahan swadaya dilaksanakan dalam kerangka pembangunan partisipatif yang berbasis pemberdayaan masyarakat. Dengan demikian, pengembangan kelembagaan pemberdayaan perumahan dan permukiman di daerah, penyediaan kebutuhan tenaga pendamping dan … pelaku pembangunan. Peran perempua n ibu rumah





tangga yang sangat strategis di dalam pengembangan keluarga-keluarga, komunitas dan lingkungan tempat tinggal yang produktif dan reproduktif, menjadi menjadi bagian penting di dalam pengembangan perumahan wadaya. Untuk itu, pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan perumahan dan permukiman perlu menggunakan pendekatan perkembangan keluarga (family development). Termasuk sebagai pertimbangan… pengarusutamaan gender… keberhasilan pengembangan perumahan swadaya. Termasuk sebagai pertimbangan adalah perlunya pengarusutamaan gender sebagai bagian penting untuk mendukung keberhasilan pengembangan sistem dan mekanisme subsidi perumahan. Bantuan dapat berbentuk subsidi pembiayaan, subsidi prasarana dan sarana dasar lingkungan perumahan dan permukiman, atau kombinasi dari kedua bentuk subsidi tersebut.

Bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, seperti pegawai instansi pemerintah, karyawan swasta/perusahaan yang penghasilannya teratur, namun belum mampu memenuhi kebutuhan rumahnya, karena relatif rendah tingkat kemampuan daya belinya, diperlukan suatu skema perumahan berbasis tempat kerja (work based housing scheme). Demikian juga bagi kelompok masyarakat lainnya seperti petani, nelayan, dan masyarakat berpenghasilan rendah yang bekerja di sektor informal dan tidak mempunyai penghasilan tetap perlu di berdayakan secara kelompok. Berbagai kelompok masyarakat tersebut perlu mendapatkan pendampingan pemberdayaan berbasis komunitas/kelompok, sehingga mereka dapat meningkatkan akses ke sumber-sumberdaya kunci perumahan dan permukiman. Sejalan dengan proses pemberdayaan dan pengembangan kelembagaan yang difasilitasi oleh pemerintah, kelompok-kelompok perumahan ini mendapatkan stimulasi subsidi dengan skema subsidi perumahan yang dapat secara mudah diakses oleh mereka.

Pada dasarnya subsidi pembiayaan perumahan dapat dikembangkan untuk pengadaan rumah baru, perbaikan, dan pemugaran






rumah, serta untuk hunian dengan sistem rumah sewa. Sedangkan subsidi prasarana dan sarana perumahan dapat dikembangkan untuk mendukung kelengkapan standar pelayanan minimal lingkungan yang berkelanjutan, seperti ketersediaan air bersih, jalan lingkungan, saluran drainase, pengelolaan limbah , ruang terbuka hijau, utiilitas umum. Sistem dan mekanisme subsidi perumahan tersebut diatur dan dikembangkan sedemikian rupa, sehingga esensi dan ketepatan sasaran subsidi yang memenuhi rasa keadilan sosial tercapai secara maksimal. Dalam kaitan pengembangan dan pengaturan subsidi perumahan tersebut, maka seluruh pelaku perumahan, khususnya di tingkat lokal perlu mengembangkan sistem dan mekanisme subsidi yang lebih sesuai dengan potensi dan kemampuan daerah masing-masing.

Penanganan tanggap darurat merupakan bagian dari upaya pertama yang harus dilakukan dalam rangka penanganan pengungsi, sebagai kegiatan penyelamatan korban bencana alam atau kerusuhan sosial, sebelum proses lanjut seperti pemberdayaan, pengalihan dan pemulangan (repatriasi) dalam rangka pemulangan kembali pengungsi ketempat lingkungan perumahan dan permukiman semula, diperlukan upaya rekonsiliasi sosial untuk mendukung suasana yang kondusif sehingga kegiatan rehabilitasi dan rekontruksi bangunan, prasarana dan sarana permukiman yang mengalami kerusakan dapat berjalan dengan baik, berhasil guna dan berdaya guna. Apabila upaya tersebut tidak dapat sepenuhnya berjalan dengan optimal, maka upaya pemberdayaan pengungsi ditempat penampungan perlu dilakukan agar mampu secara mandiri dan produktif. Namun demikian apabila upaya pemulangan dan pemberdayaan tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan, maka pilihan terakhir berupa kegiatan pengalihan (relokasi) pengungsi ketempat yang baru, baik secara sisipan maupun secara terkonsentrasi di daerah perkotaan maupun perdesaan.

Apapun upaya dilakukan, konsep TRIDAYA, yang meliputi penyiapan aspek sosial kemasyarakatan, aspek pemberdayaan ekonomi





komunitas dan pendayagunaan prasarana dan sarana lingkungan hunian, tetap menjadi acuan pelaksanaan sebagai aktualitas implementasi pembangunan berkelanjutan, dengan tetap memperhatikan asas kesetaraan dalam perlakuan antara pengungsi dengan masyarakat lokal untuk menghindari terjadinya potensi eskalasi permasalahan dan munculnya konflik sosial baru yang tidak diharapkan.

Fenomena semakin bertambahnya luas kawasan permukiman kumuh dan informal pada hakikatnya menunjukan adanya ketidakseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan perumahan yang layak khususnya di kawasan perkotaan, yang mencerminkan belum mampunya negara menjamin terpenuhinya jaminan bermukim atau belum terpenuhinya hak atas rumah yang layak bagi seluruh rakyat (adequate shelter for all). Untuk itu diperlukan suatu langkah penanganan permukiman kumuh menuju kota-kota bebas kumuh (Cities Without Slums).




Penanganan permukiman kumuh merupakan kebijakan dan target pembangunan yang bertujuan untuk untuk memenuhi hak seluruh rakyat atas tempat tinggal atau perumahan yang layak di dalam lingkungan permukiman yang sehat, dengan cara memberikan jaminan bermukim bagi warga masyarakat khususnya mereka yang berpendapatan rendah dan golongan miskin dimana mereka tidak memiliki akses ke berbagai sumberdaya kunci perumahan dan permukiman khususnya di perkotaan. Selain itu juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas permukiman yang lebih berkelanjutan dengan mengendalikan pertumbuhan dan mengurangi secara berarti luas dan jumlah lokasi kawasan permukiman kumuh di Indonesia. Tujuan yang cukup penting pula adalah sebagai upaya menanggulangi kemiskinan dimana permukiman kumuh melihat kemiskinan dari kacamata kekumuhan permukiman yang tidak terlepas






pula dari masalah sosial dan ekonomi penghuninya, termasuk ketidak-amanan bermukim/ penghuniannya (insecure tenure).




Sasaran penanganan permukiman kumuh mengacu pada target-target yang sudah dicanangkan, yaitu di dalam RPJP 2005-2025 bahwa pada tahun 2025 kota-kota di Indonesia terbebas dari permukiman kumuh, dan target MDGs yaitu bahwa pada tahun 2020 warga miskin yang tinggal di permukiman kumuh berkurang hingga setengahnya.




Di tingkat implementasi di lapangan, sasaran kebijakan penanganan permukiman kumuh adalah: 1) Terwujudnya keberdayaan dan keswadayaan komunitas masyarakat permukiman kumuh melalui pengembangan kegiatan permukiman yang sehat dan produktif, 2) Meningkatnya kapasitas pengelolaan kawasan permukiman kumuh dengan melibatkan dan memberdayakan pelaku-pelaku lokal dan lembaga-lembaga penyelenggaraan perumahan dan permukiman yang dapat menerapkan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik, baik di tingkat lokal, wilayah, dan pusat, 3) Tersedianya prasarana dan sarana dasar serta fasos dan fasum permukiman yang memadai untuk meningkatkan kualitas permukiman kumuh, sejalan dengan upaya

meningkatkan kualitas infrastruktur dan sistem penyediaannya, 4) Memberdayakan sistem penyediaan perumahan sewa di lingkungan permukiman kumuh seiring dengan penataan permukiman kumuh, serta 5) Terdorongnya pertumbuhan wilayah dan keserasian lingkungan antarwilayah melalui penyelenggaraan perumahan dan permukiman yang berkelanjutan.











Kebijakan penanganan permukiman kumuh seperti di atas masih meliputi penanganan kumuh secara umum tanpa memperhatikan keberadaan permukiman squatter atau informal sebagai bagian permukiman kumuh. Untuk permukiman informal dapat dikatakan belum ada kebijakan yang jelas dan pendekatan penanganannya selain meningkatkan kesadaran hukum warga dalam bermukim. Upaya seperti ini sangatlah terbatas karena seringkali tanpa diiringi solusi yang memadai mengenai di mana mereka harus bertempat tinggal. Dalam rangka menuju kota-kota bebas kumuh, penanganan permukiman informal harus dilakukan secara lebih luas dan terintegrasi di antara berbagai penanganan masalah dan pendekatan.

Lingkungan permukiman informal adalah gambaran utuh dari kemiskinan kota dan tata kelola perkotaan yang tidak berkelanjutan. Dengan demikian, penanganan permukiman informal juga merupakan strategi penting dalam penanggulangan kemiskinan kota sekaligus tata kelola pembangunan kota yang berkelanjutan. Permukiman informal (squatter settlements) dan para pedagang informal (street vendors) merupakan suatu kesatuan dimana permukiman informal hidup dari kegiatan ekonomi informal pula. Oleh sebab itu, kebijakan dan strategi penataan permukiman kumuh dan penanggulanngan kemiskinan khususnya di perkotaan haruslah berfokus pada penanganan permukiman informal ini.

Dalam konteks penyediaan perumahan rakyat, permukiman informal adalah yang menghasilkan mayoritas dari unit-unit rumah yang ada di kota-kota di tanah air. Pembangunan perumahan informal secara sporadis ini lambat laun membentuk permukiman informal yang umumnya kumuh dan substandar karena tidak direncanakan dengan baik dan tidak dilengkapi prasarana dan sarana sanitasi yang memadai. Secara kasat mata dapat dilihat bahwa proses perumahan informal lebih mendominasi






penyediaan perumahan kota dibanding sektor perumahan formal yang terorganisir dalam skala besar.

Meskipun sifatnya informal, bagaimanapun sektor perumahan dan permukiman informal telah memberi kontribusi nyata dalam memberikan akses dan merumahkan masyarakat miskin kota. Sehingga tidak dapat dipandang sebagai masalah pelanggaran ketertiban semata dan seringkali ditangani terlalu berlebihan dengan memandang warga permukiman informal sebagai pelaku-pelaku kriminal. Cara pandang yang tidak memadai ini menyebabkan proses perumahan informal tidak mendapat dukungan penanganan yang efektif. Sedangkan masalah mendasar yang justru belum mampu dipenuhi pemerintah adalah menyediakan lapangan kerja, pendidikan, termasuk pula pendidikan menjadi warga kota yang baik, kesehatan (dan penyehatan) serta rumah yang layak dan terjangkau. Ketika semua kewajiban itu belum mampu dipenuhi oleh pemerintah terhadap rakyatnya, bukankah cara yang sopan terhadap rakyat adalah dengan menyadarinya dan mengajak semua pihak untuk menanganinya bersama-sama?

Untuk itu pemerintah perlu memiliki cara pandang bahwa proses perumahan dan permukiman informal memiliki potensi sebagai solusi karena sifatnya yang dikembangkan secara swadaya, partisipatif, membutuhkan sedikit investasi publik, memberi kontribusi persediaan rumah (housing stock) dan terjangkau oleh masyarakat miskin. Ketika pemerintah belum mampu menyediakan perumahan yang layak dan terjangkau untuk semua rakyat, bagaimanapun, pemerintah perlu menggunakan cara pandang yang melihat proses perumahan informal sebagai suatu potensi yang berkontribusi pada penyediaan perumahan kota. Cara pandang inilah yang dapat mengesampingkan pendekatan penggusuran.









Penanganan permukiman informal sebagai fokus aksi untuk mencapai kota yang bebas kumuh perlu didasari oleh landasan kebijakan dan pengembangan strategi-strategi yang efektif. Hal ini karena penanganan permukiman informal ini melibatkan kehidupan sosial, ekonomi dan lingkungan dari komunitas miskin kota yang perlu memperhatikan suatu tindakan pengamanan dari negara (safeguard policy) dan menghindari tindakan penggusuran dan pengrusakan (forced eviction policy). Arah kebijakan yang perlu disusun dalam penanganan permukiman informal perlu mengaitkan kebijakan-kebijakan yang lebih luas dan dijalin dalam suatu kerangka koordinasi kebijakan yang utuh, yaitu dalam bidang perkotaan, pengembangan permukiman, dan perumahan.

Di bidang perkotaan, perlu dikembangkan sistem pengendalian perkembangan permukiman informal (squatter control system). Sistem kendali squatter ini menggantikan pola pembiaran yang selama ini terjadi sehingga memunculkan proses legalisasi yang ilegal seperti masuknya aliran listrik, air minum dan bahkan terbitnya ijin bangunan di lingkungan permukiman informal. Sistem kendali squatter harus meninggalkan pola penggusuran karena bertentangan dengan amanat konstitusi dan HAM. Di bidang pengembangan permukiman ada empat aspek yang perlu dikembangkan, yaitu sistem penataan ruang yang mengutamakan manfaat tanah, peremajaan kawasan yang bertumpu pada prinsip keadilan pemanfaatan ruang, dan pengembangan kawasan permukiman baru melalui skema Kasiba dan Lisiba termasuk pengembangan kota-kota baru. Penataan ruang yang mengutamakan manfaat tanah dan menempatkan sistem administrasi dan status hukum kepemilikan tanah sebagai suatu keadaan yang dinamis, adalah kunci penanganannya. Sistem pemilikan tanah hanya mengutamakan status pemilikan tanah dan didominasi oleh sistem administrasi semata. Sedangkan pengutamaan manfaat tanah menempatkan status dan administrasi tanah sebagai






instrumen pendukung. Di bidang perumahan, perlu dikembangkan empat aspek utama, yaitu sistem perumahan sewa di kawasan peremajaan kumuh, peningkatan kapasitas pemukiman kembali (resettlement), penyediaan perumahan umum yang bertujuan menggenjot penyediaan perumahan umum dan perumahan sosial yang sebanyak-banyaknya, dan peningkatan kapasitas pengelolaan perumahan umum.

Pemukiman kembali banyak bersentuhan dengan aspek sosial dan ekonomi warga masyarakat yang dimukimkan kembali yang selama ini belum mendapat perhatian khususnya dalam bidang permukiman kota. Absennya kapasitas pemukiman kembali juga berkontribusi pada berkembangnya kapasitas penggusuran sebagai solusi pragmatis. Solusi penanganan seperti uang ganti rugi, uang kerahiman, dan relokasi seadanya, adalah bentuk penggusuran yang berkembang di pemerintah kota tanpa didukung konsep yang memadai, sehingga masih jauh dari apa yang disebut sebagai pemukiman kembali (resettlement).

Pengembangan kebijakan di bidang perkotaan, peumahan dan permukiman merupakan kerangka kebijakan yang utuh dan harus diselenggarakan secara terpadu di semua tingkatan. Hanya pengembangan kebijakan yang terpadu dan komprehensif seperti itu yang mampu menerbitkan optimisme pencapaian target kota bebas kumuh.

Pengembangan kawasan siap bangun (Kasiba) dan lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri (Lisiba BS) di daerah, adalah berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten atau kota, dan Rencana Pembangunan dan pengembangan Perumahan dan Permukiman di Daerah (RP4D) yang telah ditetapkan melalui peraturan daerah. Kasiba dan Lisiba tersebut, dimaksudkan untuk mengembangkan kawasan perumahan skala besar secara terencana mulai dari kegiatan penyediaan tanah siap bangun dan kaveling tanah matang, serta penyediaan prasarana dan sarana permukiman, termasuk utilitas umum,






secara terpadu dan pelembagaan manajemen kawasan yang efektif. Untuk mewujudkan struktur pemanfaatan ruang Kasiba dan Lisiba BS, di samping melalui pentahapan program yang dikembangkan oleh badan pengelola yang sejalan dengan program pembangunan daerah, tetap diperlukan dukungan Pemerintah di dalam menyediakan prasarana dan sarana kawasan yang bersifat strategis, sebagai kegiatan stimulan dan pendampingan berdasarkan prinsip kemitraan yang positif dari dunia usaha, masyarakat, dan pemerintah. Prinsip-prinsip pembangunan kawasan permukiman yang berkelanjutan, baik internal di dalam kawasan maupun eksternal dengan kawasan lain di sekitarnya, diterapkan secara efektif didalam pengembangan kawasan siap bangun dan lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri.

Penyelenggaraan kawasan siap bangun dan lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri dengan manajemen kawasan yang efektif diharapkan mampu berfungsi sebagai instrumen yang mengendalikan tumbuhnya lingkungan perumahan dan permukiman yang tidak teratur dan cenderung kumuh. Keragaman fungsi secara relatif terbatas dari Kasiba dan Lisiba, di samping dapat mendorong pertumbuhan ekonomi kawasan, juga diharapkan dapat menampung secara seimbang kebutuhan perumahan dan permukiman bagi semua lapisan masyarakat, termasuk lapisan masyarakat berpenghasilan rendah. Dalam pengembangan Kasiba dan Lisiba serta kaitannya dengan pengelolaan tata guna tanah.

Upaya pengembangan permukiman yang ditujukan secara seimbang bagi permukiman yang telah terbangun, dengan tujuan untuk mencegah terjadinya penurunan kualitas permukiman, melindungi nilai sepesifik, unik, tradisional, dan bersejarah yang telah tercipta sepanjang umur kawasan, dan untuk meningkatkan kinerja kawasan sehingga dapat melampui ukuran indeks minimal berkelanjutan. Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman di Daerah (RP4D) merupakan pedoman perencanaan, pemerograman, pembangunan dan pengendalian pembangunan jangka menengah dan/atau jangka panjang





yang diupayakan dapat melembaga disetiap daerah, melalui peraturan daerah, dan realisasinya harus dipantau dan dikendalikan dari waktu ke waktu, serta dikelola dengan tata pemerintahan yang baik dan melibatkan secara sinergi kemitraan pemerintah, dunia usaha dan masyarakat.

Perumahan atau permukiman yang bernilai spesifik dan unik ditinjau dari aspek sosial, budaya, teknologi, dan arsitektur, bernilai sejarah, termasuk secara khusus pada bangunan gedung dan lingkungannya, berdasarkan peraturan perundang-undangan cagar budaya yang ada, dapat dikategorikan sebagai benda atau situs yang harus dilindungi dan dipelihara. Perlindungan dan pemeliharaan yang dilakukan dapat dimulai dari kegiatan pendataan, dan pemugaran, konservasi sampai dengan kegiatan pemeliharaan dan pengelolaan guna pelestarian nilai-nilai yang terkandung didalamnya.

Pelestarian juga dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan jatidiri masyarakat yang dinamis namun masih berbasis pada nilai-nilai konsektual setempat. Dalam hal tertentu, upaya revitalitas kawasan perumahan dan permukiman yang dinilai strategis tetap dimaksudkan untuk merealisasikan pembangunan berkelanjutan, namun dengan memanfaatkan potensi sfesifik dari asset permukiman yang bisa dikembangkan secara ekonomi, sosial dan lingkungan.

Dalam rangka pengembangan penataan lingkungan perumahan dan permukiman dan pemantapan standar pelayanan minimal perumahan dan permukiman, harus pula dipertimbangkan pentingnya pencegahan perubahan fungsi lahan, menghindari upaya pemaksaan/penggusuran dalam pelaksanaan pembangunan, mengembangkan pola hunian berimbang, menganalisis dampak lingkungan melalui kegiatan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL), Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL), Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL), serta Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) secara konsisten, dan menerapkan proses perencanaan dan






perancangan kawasan permukiman yang partisipasi dan transparan, serta mengantisipasi potensi bencana alam yang mungkin terjadi.


G.  Kebijakan Pengaturan Perumahan dan Permukiman.

Konsep ideal dari kebijakan pengaturan perumahan dan permukiman adalah menyatukan undang-undang mengenai Perumahan dan Permukiman dengan undang-undang mengenai Rumah Susun. Penyatuan kedua undang-undang ini dilatar belakangi oleh kenyataan muatan materi Undang-Undang Rumah Susun merupakan bagian dari kebijakan yang tertuang dalam Undang-Undang tentang Perumahan dan Permukiman.

Selain itu, kebijakan pengaturan perumahan dan permukiman pada dasarnya bersifat pengaturan secara administratif, khususnya mengenai tata cara pembangunan perumahan dan permukiman yang meliputi perencanaan, pembangunan kawasan permukiman pengelolaan, pelepasan hak atas tanah, kewajiban badan usaha bidang pembangunan permukiman dan perumahan, konsolidasi tanah, kaveling tanah matang dan peningkatan kualitas permukiman, pembangunan perumahan dan pemanfaatannya serta pembongkaran rumah dan perumahan, pengawasan dan kelembagaan. Selain aspek administrative terdapat pula aspek hukum keperdataan seperti hak dan kewajiban pemilik rumah, pemanfaatan rumah, rumah sebagai jaminan hutang yang pada dasarnya juga dapat diberlakukan untuk rumah susun.

Oleh karena itu pengaturan aspek perumahan dan permukiman dan rumah susun tersebut di atas dalam satu undang-undang adalah merupakan hal yang sangat tepat. Dengan kata lain, penyatuan kedua aturan tersebut akan semakin meningkatkan keharmonisan dan sinkronisasi pengaturannya yang pada akhirnya kebijakan-kebijakan dalam mengimplementasikan aturan perumahan dan permukiman yang mencakup rumah susun dapat dilakukan dengan lebih baik.








BAB V

MATERI MUATAN




A. Ketentuan Umum

Ketentuan Umum berisi pengertian atau definisi, singkatan atau akronim, dan hal-hal lain yang bersifat umum, yang berlaku bagi pasal-pasal di dalam RUU Perumahan dan Permukiman. Adapun beberapa definisi yang digunakan adalah:

1.    Perumahan adalah kelompok rumah yang terdiri dari rumah tunggal, rumah deret, dan/atau rumah susun sebagai bagian dari kawasan permukiman baik di perkotaan maupun di perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana lingkungan, sarana lingkungan, dan utilitas umum.

2.    Permukiman adalah bagian dari kawasan budi daya yang fungsi utamanya sebagai tempat tinggal, yang meliputi kawasan yang didominasi oleh tempat hunian dan berbagai kawasan, yang masing-masing didominasi oleh tempat kegiatan manusia yang terorganisir dalam berbagai bentuk kegiatan, baik pada tingkat lokal, regional ataupun nasional, yang berupa kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan yang dilengkapi dengan prasarana lingkungan, sarana lingkungan, dan utilitas umum.

3.    Penyelenggaraan perumahan dan permukiman adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan pembangunan, pemanfaatan, pengendalian, dan pemeliharaan dalam kaitannya dengan pengembangan kelembagaan, peranserta masyarakat, serta pembiayaan secara terkoordinasi dan terpadu.

4.    Rumah adalah bangunan yang mempunyai atap dinding atau kayu, serta lantai yang berfungsi sebagai tempat hunian dan sarana pembinaan keluarga, atau campuran antara tempat hunian, tempat





pembinaan keluarga, dan tempat usaha dalam satu kesatuan bangunan gedung.

5.    Rumah Tunggal adalah bangunan rumah satu unit yang berdiri sendiri, baik bertingkat maupun tidak bertingkat, dengan kepemilikan oleh orang perseorang dan badan.

6.    Rumah deret adalah bangunan rumah yang terdiri dari lebih satu unit dalam bentuk berderet dijadikan satu-kesatuan, baik bertingkat maupun tidak bertingkat, dengan kepemilikan oleh perseorangan atau badan.
7.    Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal, merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan/atau digunakan secara terpisah, dengan fungsi utama sebagai tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian-bersama, benda-bersama dan tanah-bersama.
8.    Kawasan perumahan adalah wilayah yang fungsi utamanya untuk perumahan, termasuk sarana, prasarana, dan utilitas umum.

9.    Lingkungan perumahan adalah bagian dari kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran perumahan.
10. Kawasan siap bangun yang selanjutnya disebut KASIBA adalah lahan yang fisiknya telah dipersiapkan untuk pembangunan kawasan perumahan skala besar, terbagi dalam satu lingkungan siap bangun atau lebih yang dilaksanakan secara bertahap dengan lebih dahulu dilengkapi dengan jaringan primer dan sekunder prasarana lingkungan sesuai dengan rencana tata ruang lingkungan yang ditetapkan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

11. Lingkungan siap bangun yang selanjutnya disebut LISIBA adalah lahan yang fisiknya telah dipersiapkan untuk pembangunan lingkungan perumahan dengan batas-batas kaveling yang jelas, merupakan bagian dari kawasan siap bangun, dilengkapi dengan





prasarana,       sarana,       utilitas        umum              lingkungan,                               untuk

penyelenggaraan pembangunan perumahan yang terstruktur sesuai dengan rencana rinci tata ruang kawasan.
12. Kaveling tanah matang adalah lahan yang telah dipersiapkan untuk dibangun perumahan sesuai dengan persyaratan pembakuan dalam penggunaan, penguasaan, pemilikan lahan dan rencana rinci tata ruang kawasan, rencana tata bangunan, dan lingkungan perumahan.

13. Konsolidasi tanah adalah penataan kembali penguasaan, penggunaan, dan pemilikan lahan oleh masyarakat pemilik tanah, melalui usaha bersama untuk menyediakan kaveling tanah matang bagi kawasan dan lingkungan perumahan sesuai dengan rencana tata ruang yang ditetapkan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

14. Prasarana adalah segala sesuatu yang menjadi penunjang utama kawasan atau lingkungan perumahan dan permukiman, yang memenuhi standar tertentu untuk kebutuhan bermukim yang layak, sehat, aman, dan nyaman.

15. Sarana adalah segala sesuatu yang dapat digunakan sebagai alat untuk menunjang kawasan atau lingkungan perumahan dan permukiman.

16. Utilitas umum adalah fasilitas penunjang kawasan atau lingkungan perumahan dan permukiman untuk melaksanakan kegiatan ekonomi dan sosial budaya.

17. Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan untuk penyelenggaraan perumahan dan permukiman yang berasal dari APBN, APBD, lembaga pembiayaan, dan/atau masyarakat secara swadaya, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan dana atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.





18. Setiap orang adalah orang perseorangan dan/atau badan.

19. Pemerintah pusat selanjutnya disebut pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
20. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, dan/atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

21. Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang perumahan dan permukiman.


B.       Asas dan Tujuan

1.   Asas

Asas dimaksudkan agar proses pelaksanaan Undang-undang dalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman dilakukan dengan memegang asas-asas atau prinsip sebagaimana yang dimaksud atau yang terkandung dalam asas-asas tersebut. Beberapa asas yang menjadi dasar dari pengaturan Rancangan Undang-undang Perumahan dan Permukiman adalah:
a. Asas keadilan dan pemerataan, adalah asas yang memberikan landasan agar hasil-hasil pembangunan perumahan dan pemukiman dapat dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat.

b. Asas kemanfaatan, keterjangkauan, dan kemudahan adalah asas yang memberikan landasan agar penyelenggaraan perumahan dan permukiman mencapai hasil pembangunan, mendorong terciptanya iklim yang kondusif dari pemerintah dan setiap warga Negara Indonesia serta keluarganya, dan dapat memenuhi kebutuhan dasar perumahan.

c.   Asas kemandirian dan kemitraan, adalah memberi landasan agar penyelenggaraan perumahan bertumpu pada prakarsa, swadaya, peran masyarakat untuk turut serta mengupayakan





pengadaan dan pemeliharaan terhadap aspek-aspek perumahan sehingga mampu membangkitkan kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri, dan agar golongan masyarakat yang kuat membantu golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah.

d. Asas keserasian, keseimbangan, kesehatan, kelestarian, dan keberlanjutan, adalah kewajiban adanya keserasian dan keseimbangan kepentingan-kepentingan dalam pemanfaatan perumahan, untuk mencegah timbulnya penyakit, kesenjangan sosial dan perumahan, dengan selalu menerapkan persyaratan pengendalian dampak penting terhadap lingkungan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan, bagi peningkatan kesejahteraan, baik generasi sekarang maupun generasi yang akan datang.


2. Tujuan

Tujuan pembangunan perumahan dan permukiman dalam jangka panjang ditujukan agar setiap keluarga menempati dan memiliki suatu rumah yang layak serta dapat menjamin ketentraman hidup. Perumahan dan permukiman haruslah memberikan ciri kehidupan sesuai dengan karakteristik masyarakatnya. Perumahan dan permukiman mempunyai fungsi sosial, ekonomi dan lingkungan, diselenggarakan dan diwujudkan secara seimbang. Berkenaan dengan pengaturan perumahan dan permukiman, melalui pendistribusian tempat hunian secara adil dan merata.

Pengaturan perumahan dan permukiman bertujuan:

A.        memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman;

B.        menjamin terwujudnya rumah yang layak huni dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat, serasi, aman, teratur, terpadu, terencana, dan berkelanjutan;






C.        mendukung pertumbuhan wilayah dan penyebaran penduduk yang rasional melalui pertumbuhan kawasan perumahan dan lingkungan perumahan;

D.        meningkatkan daya guna dan hasil guna sumber daya alam bagi pembangunan perumahan dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan;

E.        memberdayakan para pemangku kepentingan bidang pembangunan perumahan dan permukiman; dan

F.        menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan bidang-bidang lainnya.


C.   Perumahan

Perencanaan pembangunan perumahan harus dilaksanakan dengan memperhatikan aspek teknis, administratif, tata ruang, dan ekologis, serta wajib melakukan pemantauan dan pengelolaan lingkungan, untuk mewujudkan rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur. Persyaratan teknis berkaitan dengan keselamatan dan kenyamanan bangunan, dan keandalan sarana serta prasarana lingkungannya. Persyaratan administratif berkaitan dengan pemberian izin usaha, izin lokasi, dan mendirikan bangunan serta pemberian hak atas tanah.

Persyaratan tata ruang berkaitan dengan tata ruang wilayah perkotaan dan rencana tata ruang wilayah perdesaan yang menyeluruh dan terpadu, ditetapkan oleh pemerintah daerah dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait serta rencana, program, dan prioritas pembangunan perumahan. Persyaratan ekologis berkaitan dengan keserasian dan keseimbangan, baik antara lingkungan buatan dengan lingkungan alam, maupun dengan lingkungan sosial budaya, termasuk nilai-nilai budaya bangsa yang perlu dilestarikan.
Membangun   perumahan   adalah   termasuk   membangun                                baru,

memugar,          memperluas          rumah          atau          perumahan,                                dengan







mempertimbangkan faktor-faktor setempat mengenai keadaan fisik, ekonomi, sosial budaya serta kerterjangkauan masyarakat, baik didaerah perkotaan maupun di daerah perdesaan. Pembangunan perumahan dilakukan oleh pemilik hak atas tanah atau oleh bukan pemilik hak atas tanah berdasarkan persetujuan dari pemilik hak atas tanah dengan suatu perjanjian tertulis agar mencegah hal-hal yang memungkinkan dikuasai atau digunakannya tanah oleh bukan pemilik hak atas tanah tanpa batas waktu.

Perjanjian tertulis antara pemilik tanah dan bukan pemilik yang akan dilakukan pembangunan di atas tanah tersebut, harus memuat ketentuan mengenai :

1.   Hak dan kewajiban pihak yang membangun rumah dan pihak yang memiliki hak atas tanah; dan
2.   Jangka pemanfaatan tanah dan penguasaan rumah oleh pihak yang membangun rumah atau yang dikuasakannya.


D.      Permukiman

Tujuan utama pengaturan penyelenggaraan permukiman adalah untuk mewujudkan kawasan permukiman yang teratur, serasi, seimbang, sehat, aman dan lestari sebagai wadah kehidupan dan penghidupan yang tertib, lancar, sehat. Permukiman yang teratur adalah permukiman yang memiliki struktur dan pola pemanfaatan ruang yang teratur yang memudahkan penentuan posisi dan mencari alamat serta memudahkan pekerjaan pemeliharaan dan perawatan kawasan permukiman. Permukiman yang serasi adalah permukiman yang tata letak berbagai kegiatan didalamnya sedemikian rupa sehingga dampak negatif antar kegiatan diupayakan sekecil mungkin dan dampak positifnya sebesar mungkin serta memiliki tampilan fisik yang serasi. Permukiman yang seimbang adalah permukiman yang antara berbagai kawasan peruntukkan pemanfaatan ruangnya terdapat keseimbangan dan sesuai dengan kebutuhan dan kegiatan masyarakat.





Permukiman yang lestari adalah permukiman yang terpelihara kelestarian fungsinya. Permukiman yang sehat adalah permukiman yang bebas dari hal-hal yang dapat menjadi sumber penyebaran berbagai penyakit seperti sampah yang berserakan, saluran air yang tidak berfungsi, serta tidak memiliki cukup ruang terbuka untuk sirkulasi udara dan penerangan alami. Permukiman yang aman adalah permukiman yang aman terhadap kemungkinan terjadinya kecelakaan dan bencana. Seperti dapat terhindar dari banjir, bangunan tahan gempa dan tidak berada didaerah yang rawan longsor serta dapat membatasi menjalarnya kebakaran. Kehidupan yang tertib maksudnya kehidupan dimana masyarakatnya berprilaku tertib.

Tujuan lain dari penyelenggaraan permukiman adalah untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup, yang merupakan upaya memadukan lingkungan hidup ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Untuk mencapai tujuan tersebut penyelenggaraan permukiman diarahkan pada sasaran sebagai berikut :

a.      Penyediaan rencana umum tata ruang wilayah dan program pemanfaatan ruang wilayah permukiman;

b.      Penyediaan tanah siap bangun untuk pembangunan berbagai kawasan peruntukan dalam kawasan permukiman sesuai dengan kondisi dan potensi pengembangannya;

c.       Penyediaan jaringan primer dan sekunder jalan (jalan primer serta jalan arteri dan kolektor sekunder) sebagai jalan masuk untuk alat-alat berat dan bahan bangunan yang diperlukan untuk pembangunan kawasan peruntukan;

d.      Penyediaan saluran primer dan sekunder pembuangan air hujan dan air limbah keperairan umum (sungai, danau, atau laut) dan air limbah ke tempat pengolahannya; dan







e.   Penyediaan tempat pembuangan akhir dan pengolahan sampah.


1.   Jenis – Jenis Permukiman

Berdasarkan berbagai kriteria, permukiman dapat dikelompokkan dalam beberapa jenis sebagai berikut :

1)      Jenis permukiman berdasarkan kegiatan utama para penghuninya, yang terdiri dari :

a.   Permukiman perdesaan, yang kegiatan utama penduduknya di bidang pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam;

b.   Permukiman perkotaan, yang kegiatan utama penduduknya di bidang bukan pertanian, seperti perdagangan, industri, perkantoran dan jasa; dan

c.   Permukiman khusus, yang kegiatan utama penduduknya mendukung kegiatan bidang khusus, seperti pertahanan, cagar budaya dan kawasan berikat yang merupakan bagian dari kawasan perdesaan atau kawasan perkotaan;

2)        Jenis   Permukiman   berdasarkan   besarnya   atau   jumlah

penduduknya, yang dapat dibedakan dalam :

a. Permukiman kecil dengan jumlah penduduk kurang dari 50.000 orang;

b. Permukiman sedang dengan jumlah penduduk mulai dari 50.000 orang sampai 200.000 orang;

c. Permukiman menengah dengan jumlah penduduk mulai dari 200.000 sampai 500.000 orang;

d. Permukiman besar dengan jumlah penduduk mulai dari 500.000 sampai 1.000.000 orang;dan

e. Permukiman metropolitan dengan jumlah penduduk 1.000.000 orang atau lebih.







3)      Jenis permukiman berdasarkan keadaannya yang mencakup : a. Permukiman baru, yaitu permukiman yang dibangun baru

atau permukiman lama yang diperluas sehingga menjadi jauh lebih besar dari permukiman yang ada sebelumnya; dan

b. Permukiman lama, yaitu permukiman yang sudah ada dan masih ada.


4)   Jenis permukiman berdasarkan fungsinya dalam pengembangan wilayah yang mencakup:

a. Permukiman yang berfungsi sebagai pusat pengembangan wilayah nasional, yang terdiri dari perkotaan yang potensial untuk pengembangan berbagai macam industri dan dengan pemusatan pekerja yang besar;

b. Permukiman yang berfungsi sebagai pusat pengembangan antar daerah, yang terdiri dari kota-kota pelabuhan sebagai bandar pengumpul atau bandar utama;

c. Permukiman yang berfungsi sebagai pusat pengembangan daerah, yang terdiri dari perkotaan yang berfungsi sebagai pendukung hinterlandnya dan dapat menjadi tempat pengolahan hasil pertanian; dan
d. Permukiman yang berfungsi sebagai pusat pelayanan lokal, yang terdiri dari perkotaan yang melayani berbagai kebutuhan penduduk wilayah yang dekat di sekitarnya.


2. Tipe – Tipe Permukiman

Berdasarkan jenis-jenis permukiman tersebut diatas kita dapat mengelompokkan lagi permukiman dalam berbagai tipe sebagai berikut:

1.  Permukiman perkotaan baru sedang;

2.  Permukiman perkotaan baru kecil;

3.  Permukiman perdesaan baru (kecil);






4.  Permukiman perkotaan lama metropolitan;

5.  Permukiman perkotaan lama besar;

6.  Permukiman perkotaan lama menengah;

7.  Permukiman perkotaan lama sedang;

8.  Permukiman perkotaan lama kecil; dan

9.  Permukiman perdesaan lama (kecil).


E.       Pembangunan Perumahan dan Permukiman di Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangun yang Berdiri Sendiri.
Pemenuhan kebutuhan perumahan dan permukiman dalam jangka

pendek, menengah dan jangka panjang diwujudkan melalui pembangunan kawasan perumahan skala besar di kawasan siap bangun dan lingkungan siap bangun berdiri sendiri, dilaksanakan secara terencana, terpadu dan terkoordinasi. Perencanaan Pembangunan kawasan perumahan dalam skala besar ditentukan untuk menciptakan kawasan perumahan yang tersusun atas satuan-satuan lingkungan permukiman dan menyerasikan secara terpadu serta meningkatkan kualitas lingkungan perumahan yang telah ada didalam dan disekitarnya. Rencana pembangunan kawasan dilaksanakan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.

Pembangunan kawasan perumahan skala besar dilaksanakan secara terpadu dan terkoordinasi dengan program pembangunan daerah melalui penyelenggaraan kawasan siap bangun dan penyelenggaraan lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri. Pelepasan hak atas tanah pada suatu wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan siap bangun, hanya dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan pemilik tanah yang bersangkutan. Begitu pula pelepasan hak atas tanah yang diperuntukkan bagi pembangunan Lingkungan Siap Bangun yang berdiri sendiri, yang bukan hasil konsolidasi tanah. Pelepasan hak atas tanah di wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan Siap bangun yang belum berwujud kavling tanah matang, dapat dilakukan oleh badan, perorang dan/atau badan usaha yang melakukan pembebasan mengajukan dapat mengajukan






permohonan hak kepada negara sesuai hak atas tanah yang dapat dimiliki.

Penyelenggara kawasan siap bangun dapat dilakukan oleh badan usaha swasta maupun badan usaha yang dibentuk oleh pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah dibidang perumahan dan permukiman. Pembangunan perumahan dikawasan siap bangun atau di lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri, hanya boleh dilakukan oleh badan usaha, perorangan dapat menyelaraskan pembangunan perumahan di kawasan siap bangun dan lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri harus membentuk badan usaha dibidang perumahan atau melalui konsolidasi tanah.

Dalam membangun lingkungan siap bangun, badan usaha wajib: mengikuti persyaratan teknis, ekologis, dan administratif; melakukan pematangan tanah, penataan penggunaan tanah; penataan pengelolaan tanah dalam rangka penyediaan kavling tanah matang; terlebih dahulu membangun jaringan prasarana lingkungan sebelum kegiatan pembangunan rumah, memelihara dan mengelola sampai dengan pengesahan dan penyerahan kepada pemerintah daerah; mengkoordinasikan penyelenggaraan utilitas umum; membantu masyarakat pemilik tanah yang tidak menghendaki pelepasan hak atas tanah di dalam atau disekitarnya dalam melakukan konsolidasi tanah; melakukan penghijauan lingkungan; menyediakan tanah untuk sarana lingkungan dan membangun rumah.

Badan usaha yang akan mengelola kawasan siap bangunan yang berdiri sendiri, dilakukan melalui pelelangan umum atau terbatas. Pembangunan lingkungan siap bangun yang dilakukan masyarakat pemilik tanah melalui konsolidasi tanah, harus memperhatikan persyaratan teknis, ekologis dan administratif dilakukan secara bertahap meliputi kegiatan: pematangan tanah; penataan penggunaan penguasaan dan pemilikan tanah; penyediaan prasarana lingkungan; penghijauan lingkungan; penyediaan tanah untuk prasarana lingkungan.





Kavling tanah matang terdiri dari: ukuran kecil, sedang, menengah dan besar. Badan usaha dibidang pembangunan perumahan dan permukiman yang membangun lingkungan siap bangun dilarang menjual kavling tanah matang ukuran menengah dan ukuran besar tanpa rumah. Selanjutnya berdasarkan kebutuhan setempat, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan tentang persyaratan dan kewajiban badan usaha dalam membangun lingkungan siap bangun dapat menjual kavling tanah matang ukuran kecil dan sedang tanpa rumah. Kavling tanah ukuran kecil, sedang, menengah, besar hasil konsolidasi tanah milik masyarakat dapat diperjualbelikan tanpa rumah.

Pembangunan perumahan diselenggarakan berdasarkan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota yang menyeluruh dan terpadu, ditetapkan oleh pemerintah daerah dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait serta rencana, program dan prioritas pembangunan perumahan. Penyediaan tanah untuk pembangunan perumahan dapat diselenggarakan dengan: penggunaan tanah yang langsung dikuasai oleh negara, dan pelepasan hak atas tanah yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pemerintah daerah kabupaten/kota menetapkan satu bagian atau lebih dari kawasan permukiman menurut rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota yang telah memenuhi persyaratan sebagai kawasan siap bangun. Persyaratan kawasan siap bangun sekurang-kurangnya meliputi: rencana rinci tata ruang, data mengenai tanah meliputi perolehan tanah, luas, batas dan pemilikan hak atas tanah, jaringan primer dan sekunder, prasarana lingkungan, serta kegiatan pematangan tanah dan pembangunan perumahan.


F.    Hak Keperdataan

Penghunian rumah dapat dilakukan oleh pemilik rumah atau bukan pemilik rumah dengan ijin penghunian dari pemilik rumah. Penghunian rumah oleh bukan pemilik rumah dapat dilakukan dengan cara: sewa





menyewa, pinjam pakai dan sewa beli, dilakukan dengan perjanjian tertulis. Warga Negara asing yang berkedudukan di Indonesia dapat memiliki tanah sebagai tempat hunian dengan hak atas tanah tertentu.


Dalam klausul pengaturan pengadaan tanah adalah:

1.   Pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan perumahan dan permukiman oleh Pemerintah atau Pemerintah daerah sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. Yang dimaksud

pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan perumahan dan permukiman bertujuan dalam rangka pencadangan tanah untuk untuk penyediaan kavling tanah matang dengan penerapan subsidi silang bagi masyarkat yang berpenghasilan rendah, juga ditujukan sebagai modal untuk cadangan tanah negara secara berkelanjutan. Pengadaaan lahan dilakukan dengan memberikan ganti rugi kepada pemilik lahan, yang dilakukan berdasarkan kesepakatan.

2.   Pengadaan tanah dilakukan dengan cara:

a.   pelepasan atau penyerahan hak atas tanah;

Yang dimaksud pelepasan atau penyerahan hak atas tanah untuk tanah yang dikuasai oleh Negara atau Instansi/Lembaga Pusat dan Daerah, BUMN dan BUMD.

b.         konsolidasi tanah oleh pemilik tanah;

Yang dimaksud konsolidasi tanah oleh pemilik tanah adalah dalam rangka penataan kembali peruntukan dan fungsi keserasian tata lingkungan perumahan dan adanya kepastian hak kepemilikan atas tanah. Kegiatan tersebut dapat dilakukan antar pemilik hak atas tanah dan/atau difasilitasi oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

c.       pelepasan hak atas tanah oleh pemilik tanah yang dilakukan sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan.







Yang dimaksud konsolidasi tanah oleh pemilik tanah adalah dalam rangka penataan kembali peruntukan dan fungsi keserasian tata lingkungan perumahan dan adanya kepastian hak kepemilikan atas tanah. Kegiatan tersebut dapat dilakukan antar pemilik hak atas tanah dan/atau difasilitasi oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

d.   Pelepasan  atau  penyerahan  hak  atas  tanah  dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah.

e.      Pelepasan hak atas tanah oleh pemilik tanah terhadap tanah yang telah ditetapkan sebagai lokasi pelaksanaan pembangunan perumahan dan permukiman berdasarkan surat keputusan penetapan lokasi yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota atau Gubernur, maka bagi siapa yang ingin melakukan pembelian tanah diatas tanah tersebut, terlebih dahulu harus mendapat persetujuan tertulis Bupati/Walikota atau Gubernur sesuai dengan kewenangannya.


G.      Pembiayaan

Pembiayaan bagi pembangunan perumahan dan permukiman perlu memperhatikan kemungkinan-kemungkinan pengembangan sistem pembiayaan perumahan nasional secara makro dan mikro. Titik tekan pembiayaan diarahkan pada pengurangan subsidi pemerintah kecuali untuk pengadaan perumahan bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah. Adapun pembiayaan lembaga pembiayaan nasional perumahan dapat bergerak di pasar primer perumahan dengan menggali dan memanfaakan sumber-sumber pendanaan perumahan tingkat nasional melalui mobilisasi dana perumahan. Sehingga mampu menyediakan pembiayaan perumahan untuk masyarakat yang tidak berakses ke perbankan, melalui kredit mikro, dana bergulir dan Non mortgage loan.

Menjadikan harga rumah terjangkau secara mikro dapat dilakukan melalui tiga cara: Pertama, pendekatan dari sudut pengadaan dengan





melakukan peningkatan efisiensi melalui rasionalisasi dalam segala aspek. Kedua pendekatan dengan melakukan peningkatan efisiensi melalui pengulangan dan ketiga pendekatan inkonvensional dengan pelibatan masyarakat dalam proses pengadaan rumah. Ketiga macam pendekatan dikonsepsikan dalam konteks pembangunan perumahan secara masal dalam rangka kebijaksanaan pemerintah, dimana penekanan biaya akhirnya dan dinikmati oleh penghuni rumah sebagai end-user (Hasan poerbo,1999).

Untuk memberikan bantuan dan/atau kemudahan kepada masyarakat dalam membangun rumah sendiri atau memiliki rumah atau satuan rumah susun, pemerintah/ pemerintah daerah melakukan upaya pemupukan dana. Bantuan dan/atau kemudahan berupa kredit bersuku bunga rendah, subsidi, hibah, keringanan dibidang perpajakan, pembangunan prasarana oleh Pemerintah Daerah dan usaha-usaha lain, yang dapat mengakibatkan harga rumah menjadi lebih rendah. maka upaya pengembangan Sistem National Housing Fund perlu dipikirkan.


H.       Kelembagaan

Aspek kelembagaan lebih dikosentrasikan pada pemantapan kelembagaan perumahan dan permukiman, baik ditingkat birokrasi maupun masyarakat, dan perlu dibangun komunikasi yang efektif diantara kedua lembaga tersebut. pemerintah seyogyanya membentuk suatu lembaga yang mengkhususkan diri dalam bidang perumahan dan permukiman bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah atau tidak memiliki akses keuangan untuk memiliki rumah. Status lembaga ini dapat berbentuk departemen atau non departemen dibawah presiden yang khusus menangani masalah perumahan dan permukiman. Untuk itu, masalah kelembagaan ini perlu menyebutkan dengan tegas kedudukan, fungsi, dan tugasnya. Tugasnya antara lain melakukan penyusunan kebijakan, penyediaan fungsi pendukung, koordinasi, pemantauan dan pelaksanaan program perumahan.






Pengembangan kelembagaan perumahan dan permukiman yang terdesentralisasi ditingkat daerah dengan tidak didominasi oleh unsur pemerintah, namun tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi, serta mampu memberikan informasi dan mengkoordinasikan semua stakeholders. Pemerintah Daerah berkewajiban membuat kebijakan yang diarahkan untuk mengendalikan harga jual rumah atau harga sewa rumah yang terjangkau oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah atau tidak memiliki akses keuangan untuk memiliki rumah.

Pemerintah berkewajiban membuat kebijakan untuk menjamin ketersediaan perumahan dan permukiman bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah atau tidak memiliki akses keuangan memiliki rumah dengan menyediakan anggaran khusus dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Setidak-tidaknya pemerintah melakukan usaha - usaha, memperluas insentif untuk masuk ke pasar perumahan, bagi mereka yang berpenghasilan rendah atau tidak tetap, melalui penegakan baku mutu rumah, penyediaan informasi untuk konsumen berpenghasilan tetap.

Dalam hal rumah susun hunian yang dibangun di atas tanah yang sebelumnya merupakan daerah permukiman yang kumuh, maka kepada masyarakat penghuni semula diberikan prioritas untuk menghuni rumah susun tersebut. Penyediaan tanah untuk pembangunan perumahan dan permukiman diselenggarakan dengan, penggunaan tanah yang langsung dikuasai oleh negara: konsolidasi tanah oleh pemilik tanah yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang- undangan.

Kewenangan Pemerintah Pusat:

1.          Perumusan kebijakan perencanaan dan pengembangan Perumahan dan Permukiman dengan menetapakan tujuan dan sasaran jangka panjang (multi year);

2.          Perumusan kebijakan pengawasan dan pengendalian pembangunan Perumahan dan Permukiman;






3.       Penyusunan peraturan perUndang-undangan bidang Perumahan dan permukiman;

4.          Pembinaan meliputi pengaturan menetapkan pedoman dan standar teknik, pemberdayaan, penyelenggaraan, bimbingan teknis, sosialisasi serta pelatihan standar teknis;

5.          Pengawasan dengan melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap penerapan dan penegakan peraturan perUndang-undangan bidang Perumahan dan Permukiman;

6.          Mengatur dan menyenggarakan koordinasi penyelenggaraan Perumahan dan permukiman tingkat nasional;

7.          Mengembangkan dan memantau program bantuan perumahan nasional, menyiapkan arahan dan persyaratan bagi pemerintah lokal, menetapkan sasaran system alokasi, memetapkan criteria pemerioritasan, dan prosedur penguciran dana;

8.          Mendirikan suatu kerangka pendanaan pembangunan perumahan dan memastikan ketersediaan dana didalam anggaran pemerintah pusat, dan mencari dukungan pendanaan pada lembaga Internasional, selanjutnya mengalokasikan dana tersebut keberbagai Pemda dan Lembaga Keuangan agar program nasional dapat terlaksana dengan baik dan benar;

9.          Mempromosikan reformasi pendanaan perumahan, dan sektor pertahanan dan infrastruktur, agar tercapai pasar

perumahan yang efisien dan adil;

10.   Mengembangkan arahan untuk membakukan lembaga perumahan di dalam pemerintah daerah, dalam perencanaan dan pemberian izin untuk memfasilitasi penyediaan perumahan; dan
11.       Penyusunan bank data perumahan nasional dan mengembangkan system informasi perumahan nasional.





Selanjutnya menganalisa dan menyebarkan data perumahan di tingkat nasional dan provinsi.

Pemerintah Daerah melaksanakan kebijakan penyediaan perumahan dan permukiman bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah atau tidak memiliki akses keuangan untuk memiliki rumah dengan menyediakan anggaran khusus dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Terbangunnya lembaga-lembaga penyelenggara perumahan dan permukiman yang dapat menerapkan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good corporate governnance), ditingkat local, wilayah dan

pusat. Dengan begitu, pemerintah hadir sebagai fasilitator kepada masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan perumahan dan

permukiman dalam memenuhi kebutuhannya akan hunian yang layak dan terjangkau, serta lingkungan permukiman yang berkelanjutan.


1.   Mengkoordinasikan dan mengintegrasikan program perumahan dan penyediaan infrastruktur lingkungan;

2.      Menyelenggarakan pelatihan bagi pemerintah kota dan kabupaten dalam menghadapi masalah pengelolaan yang berhubungan dengan perumahan dan infrastruktur lingkungan perumahan;

3.      Menyediakan atau mengkoordinasikan sumber pendanaan untuk program perumahan yang relevan;

4.      Menilai proposal yang diterima oleh pemerintah kota dan kabupaten untuk program bantuan perumahan nasional, dan memantau kinerja dalam pelaksanaannya;

5.      Memfasilitasi LSM yang berperan dalam menggalang kegitan disektor perumahan;

6.      Mengatur penyelenggaraan Permukiman dan Perumahan Lintas Kabupaten/Kota;








7.      Menetapkan pedoman dan standar teknis pemberdayaan kabupaten/kota dalam penyelenggaraan Permukiman dan Perumahan;

8.      Menetapkan standar penyelenggaraan Permukiman dan Perumahan lintas kabupaten atau kota;
9.      Menetapkan rencana induk pembangunan Permukiman dan Perumahan tingkat Provinsi;
10.   Penyediaan bantuan dan dukungan penerapan hasil penelitian dan pengembangan teknologi dibidang Perumahan dan Permukiman;

11.   Koordinasi dibidang Perumahan dan Permukiman; dan

12.   Publikasi  dan  penyebaran  informasi  tentang  perumahan,

mengadakan riset dalam bidang teknologi bangunan.

Kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota adalah :

1.          Menetapkan rencana induk pembangunan Perumahan dan Permukiman ditingkat Kabupaten/Kota;
2.          Menyelenggarakan Perumahan dan Permukiman dalam satu

Kabupaten/Kota yang bersangkutan;


3.       Menetapkan suatu lingkungan permukiman sebagai permukiman kumuh yang tidak layak huni. Pemerintah Daerah kabupaten/kota bersama-sama masyarakat

mengupayakan langkah-langkah pelaksanaan program peremajaan lingkungan kumuh, untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;

4.          Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota wajib melakukan pendataan rumah untuk keperluan pembinaan tertib pembangunan dan pemanfaatan. Tata cara pendataan rumah di atur dengan peraturan daerah atau keputusan bupati atau walikota dengan memperhatikan pedoman yang ditetapkan oleh presiden. Fungsi pendataan selain dalam






rangka pengembangan kebijakan juga dugunakan data sertifikasi rumah;

5.       Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota berwewenang menetapkan dan melaksanakan pembongkaran rumah dan perumahan dalam hal : pembangunan dan perumahan tidak memenuhi syarat teknis, ekologis dan administratif ; rumahan dan perumahan kumuh yang tak layak huni, baik yang dibangun di atas tanah milik sendiri ataupun tanah milik pihak lain; dalam hal rumah dan perumahan tidak dimanfaatkan oleh pemiliknya sesuai dengan ketentuan perUndang-undangan yang berlaku; rumah dan perumahan yang dibangun dengan melakukan penyerobotan hak atas tanah;


6.          Pemberian bantuan, bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat dalam membangun rumah meliputi penelitian dan pengkajian aspek teknis dan administratif;

7.          Mengendalikan harga sewa rumah yang mendapat fasilitas dari pemerintah dan pemerintah daerah;

8.          Pengelolaan Kawasan Siap Bangun;

9.          Penunjukkan badan pengelolaan kawasan siap bangun;

10.       Menerima laporan hak atas tanah dalam kawasan siap bangun;
11.       Mengendalian proses pengadaan tanah;

12.       Melakukan koordinasi bidang Perumahan, rumah susun dan permukiman;

13.       Memberi bantuan dalam pemanfaatan tanah negara untuk pembangunan perumahan, rumah susun dan permukiman;
14.       Penataan ruang;

15.       Pengaturan, pengawasan terhadap pembangunan rumah serta melaksanakan pengawasan atas fungsi dan manfaat







rumah serta melaksanakan pengawasan atas fungsi dan manfaat rumah; dan

16.       Pemberian kemudahan, bagi golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah untuk memenuhi rumah susun, baik melalui pemilikan maupun secara sewa.


I.      Peran Masyarakat

Peran masyarakat tetap menjadi penting khususnya dalam pengadaan perumahan dan permukiman, dapat dilakukan melalui pengembangan masyarakat (community development). Peran masyarakat dimaksud dapat dilakukan secara perseorangan atau dalam bentuk usaha bersama. Melalui pengembangan masyarakat diharapkan dapat diwujudkan keswadayaan masyarakat yang mampu memenuhi kebutuhan perumahan yang layak dan terjangkau secara mandiri sebagai salah satu upaya pemenuhan kebutuhan dasar manusia dalam rangka pengembangan jati diri, dan mendorong terwujudnya kualitas permukiman yang sehat, aman, harmonis dan berkelanjutan, baik diperkotaan maupun diperdesaan. Keswadayaan masyarakat dapat diartikan sebagai kemitraan dengan pelaku kunci lainnya dari kalangan dunia usaha dan pemerintah.
Penyelenggaraan perumahan yang dilakukan oleh masyarakat akan lebih optimal, apabila lembaga yang dibentuk oleh masyarakat perumahan itu sendiri bersifat independent, mandiri, professional dan nirlaba untuk mengurus dan memperjuangkan kepentingan para pelaku di bidang penyelenggaraan perumahan sekaligus sebagai mitra pemerintah dan dalam melakukan pembinaan terhadap para pelaku penyelenggaraan pembangunan perumahan. Untuk mengoptimalkan peran lembaga

tersebut, maka perlu diberi ruang yang cukup dalam bentuk kewenangan-kewenangan publik tertentu berdasarkan undang-undang.









J.   Pembinaan dan  Pengawasan

Pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengadaan perumahan, rumah susun dan permukiman dalam bentuk, pengaturan, pemberdayaan dan pengawasan yang efektif dalam rangka menumbuhkembangkan terciptanya iklim yang kondusif, penghargaan dan sanksi yang tepat, serta pengembangan system insentif, maupun pengembangan produk- produk hukum yang responsif terhadap dinamika pembangunan dan kemajuan masyarakat, dunia usaha dan pemerintah.
Pembangunan perumahan dan permukiman diselenggarakan berdasarkan rencana tata ruang kabupaten/kota dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait dengan rencana, program, dan prioritas pembangunan perumahan dan permukiman. Kewenangan otonomi diberikan kepada pemerintah kabupaten/kota didasarkan asas desentralisasi melalui pembagian kewenangan tugas dan fungsi antar pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pergeseran kewenangan tersebut sebagai kunsekuensi dari pelaksanaan undang-undang otonomi daerah.

Penyelenggaraan perumahan dan permukiman meliputi kegiatan perencanaan, penetapan standard dan pedoman, pelaksanaan pembangunan, pemanfaatan, pengelolaan, pembinaan dan pengawasan. Penyelenggaraan perumahan dan permukiman berdasarkan pada prinsip koordinasi dan keterpaduan, dengan mengurangi wewenang dan tanggung jawab instansi – instansi pemerintah atau pemerintah daerah yang bersangkutan.


K.   Penyelesaian Sengketa.

Penyelesaian sengketa dibidang perumahan dan permukiman diselesaikan melalui penyelesaian sengketa alternative atau dikenal dengan istilah “alternative dispute resolusion” (penyelesaian diluar pengadilan). Pemerintah Daerah membentuk Badan Penyelesaian





Sengketa Alternatif dibidang perumahan dan permukiman. Apabila tidak tercapai kata sepakat dalam penyelesaian sengketa alternative diselesaikan melalui arbitrase atau pengadilan.


L.   Ketentuan Pidana.

Perlu dikenakan sanksi terhadap mereka yang melakukan pembangunan rumah tidak memperhatikan persyaratan teknis, ekologis dan administratif, serta tidak melakukan pemantauan dan pengelolaan lingkungan berdasarkan rencana pemantauan dan pengelolaan lingkungan. Demikian juga, sanksi terhadap mereka yang melakukan pembangunan lingkungan siap bangun yang tidak memperhatikan persyaratan teknis, ekologis dan administratif serta tidak melakukan pemantauan dan pengelolaan lingkungan, tidak melakukan pematangan tanah, penataan penggunaan tanah dan penataan kepemilikan tanah dalam rangka penyediaan kavling tanah matang; membangun jaringan prasarana lingkungan mendahului kegiatan membangun rumah, memelihara, dan mengelolanya sampai dengan pengesahan dan penyerahannya kepada pemerintah daerah; mengkoordinasikan pelenggaraan penyediaan utilitas umum; membantu masyarakat pemilik tanah yang berkeinginan melepaskan tanah hak atas tanah di dalam atau di sekitarnya dalam melakukan konsolidasi tanah; melakukan penghijauan lingkungan; menyediakan tanah untuk sarana lingkungan dan membangun rumah.

Perlu dikenakan sanksi kepada badan usaha di bidang pembangunan perumahan yang membangun lingkungan siap bangun yang menjual kavling tanah matang tanpa rumah. Perlu dikenakan sanksi kepada mereka yang melakukan penjualan tanpa memberitahukan secara tertulis kepada pihak- pihak yang berkepentingan dan diumumkan dalam dua surat kabar yang beredar didaerah yang bersangkutan, tanpa ada yang menyatakan keberatan. Selanjutnya pemberian sanksi kepada mereka yang melakukan penjualan satuan rumah susun untuk dihuni





sebelum  memperoleh  izin  kelayakan  untuk  dihuni  oleh  instansi  yang

berwewenang.    Sanksi           tersebut   berupa    sanksi    pidana                                      maupun

administratif dengan ketentuan kedua sanksi tersebut dapat saling mendukung dan dirumuskan secara integrative. Adapun sanksi pidana dan administratif tersebut dikenakan pada setiap pemilik rumah dan atau pemanfaatan rumah yang melakukan pembangunan, pemanfaatan dan pengelolaan tidak memenuhi kewajiban atau persyaratan yang telah ditentukan dalam rancangan undang-undang ini.

Sanksi    administratif    dapat            berupa    peringatan                     tertulis,

penghentian sementara pelaksanaan pembangunan rumah, penghentian sementara pemanfaatan rumah, pencabutan izin mendirikan bangunan rumah, pembongkaran bangunan rumah. Pengenaan sanksi denda sesuai dengan jenis dan tingkat pelanggaran. Penerapan ketentuan pidana pada dasarnya tidak menghilangkan kewajiban pelaku pelanggaran atau tindak pidana untuk tetap memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Jika kewajiban tersebut tidak dipenuhi oleh suatu korperasi di bidang pembangunan perumahan dan permukiman, maka izin usaha korporasi tersebut dapat dicabut.


M. Ketentuan Peralihan

Ketentuan ini memuat penyesuaian terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah ada pada saat peraturan perundang-undangan mulai berlaku, agar peraturan perundang-undangan tersebut dapat berlaku dan tidak menimbulkan permasalahan hukum dikemudian hari.


N.        Ketentuan Penutup.

Ketentuan ini memuat mengenai penunjukan organ atau alat kelengkapan yang melaksanakan peraturan perundang-undangan, nama singkat, status peraturan perundang-undangan yang sudah ada, dan saat mulai berlakunya peraturan perundang-undangan beserta alternatifnya.





Disamping itu juga mengatur mengenai jangka waktu pembentukan peraturan pelaksana seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, dan Peraturan Daerah untuk menjalankan Undang-Undang mengenai Perumahan dan Permukiman, sehingga pada akhirnya dapat berguna untuk memperlancar pelaksanaan Undang-Undang tersebut.























































BAB VI

PENUTUP






A.     Kesimpulan

Dalam praktiknya, keberlakuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman kurang memenuhi tujuan dari

pembentukkannya,    yaitu             untuk    peningkatan    dan                                                 pemerataan

kesejahteraan rakyat serta mewujudkan perumahan dan permukiman yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur, disamping juga belum adanya ketentuan mengenai tugas dan kewenangan Pemerintah Daerah dalam penyelenggara perumahan dan permukiman.

Untuk itu perlu kiranya diadakan perubahan atau penggantian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992, sehingga untuk menjawab permasalahan tersebut disusunlah perubahan UU tersebut yang terlebih dahulu dirumuskan dalam suatu naskah akademis, yang di dalamnya berisikan materi muatan RUU, yang meliputi antara lain mengenai asas dan tujuan, perencanaan pembangunan perumahan dan permukiman yang di dalamnya mencakup jenis dan tipe, hak keperdataan dalam perumahan, pembiayaan, kelembagaan, peran masyarakat, pembinaan dan pengawasan, penyelesaian sengketa, dan ketentuan pidana. Selain itu penyusunan Naskah Akademis ini berangkat dari kesadaran adanya perubahan paradigma dan semangat otonomi daerah yang mengharuskan adanya perubahan dan perbaikan pengaturan penyelenggaraan dibidang Perumahan dan Permukiman.


  
B.       Saran

1.  Perlu perubahan dan penyempurnaan pengaturan penyelenggaraan dibidang Perumahan dan Permukiman, agar tujuan dari pada pengaturan itu sendiri yaitu peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat serta mewujudkan perumahan dan permukiman yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur dapat segera terwujud.
2.  Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Perumahan dan Permukiman ini, perlu disosialisasikan untuk mendapat tanggapan dan masukan dari masyarakat guna penyempurnaan yang sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat serta pihak-pihak lainnya yang terkait, sehingga dapat berhasil guna dan berdaya guna.

Total comment

Author

FSAproject